Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan rancangan revisi aturan cantrang dalam upaya melegalkan cantrang, meskipun laporan Badan Pusat Statistik tahun 2019 menjelaskan penggunaan cantrang akan mengakibatkan hancurnya sumber daya ikan, kerusakan lingkungan, serta konflik horizontal.

 Oleh May Rahmadi

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Trian Yunanda dalam penjelasan tertulisnya terkait kontroversi wacana revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 mengatakan revisi tersebut bahkan lebih membatasi penggunaan cantrang dan bukan malah melegalisasi penggunaanya di seluruh perairan Indonesia.

Trian menjelaskan, pembahasan revisi Permen KKP Nomor 71 tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia di antaranya menyinggung pengoperasian cantrang di Jalur 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 atau Laut Jawa, atau di perairan yang lebih dari 12 mil diukur dari permukaan air laut pada saat surut terendah.

“Dan kapal di atas 30 GT hanya boleh beroperasi di Jalur 3. Jadi tidak ada wacana cantrang kemudian akan dioperasikan di WPP lainnya. Mereka hanya beroperasi di daerah, yang saat ini pun cantrang tersebut sudah eksis,” kata Trian kepada Ekuatorial melalui pesan tertulis, Selasa (7/7).

Permen KKP No. 17 Tahun 2016 mengatur tiga jalur penangkapan ikan. Jalur 1A, meliputi perairan pantai sampai dengan dua mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. Jalur 1B, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut.

Sedangkan Jalur 2, meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan 1 sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. Lalu, Jalur 3, meliputi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan 2, lebih dari 12 mil dari permukaan laut.

Sebelumnya, wacana pelegalan kembali cantrang dan tujuh alat tangkap lainnya muncul dalam konsultasi publik yang digelar KKP pada Selasa (9/6). Menteri KKP Edhy Prabowo disebutkan berencana merevisi aturan yang melarang cantrang bikinan menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti.

Aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.

Cantrang, saat ini hanya boleh beroperasi di WPP 712 atau perairan Laut Jawa dengan rentang 4 hingga 12 mil. Aturan itu diputuskan Menteri Susi Pudjiastuti pada 2018.

Trian mengatakan, wacana peraturan baru mengenai cantrang bertujuan untuk tata kelola perikanan yang benar dan bertanggungjawab. “Agar cantrang yang masih beroperasi sejak awal 2018 itu, dapat dikendalikan dengan ketat dan sesuai aturan perundangannya,” katanya. “Maka mereka harus diberikan izin penangkapan yang tepat, bukan dengan Surat Keterangan Melaut yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundangan.”

Pada rancangan revisi Permen KP No. 71 tahun 2016, Trian mengklaim, cantrang diusulkan sebagai Alat Penangkap Ikan (API) yang boleh beroperasi dengan pengaturan ketat. Rancangan ketentuan baru meliputi:

  1. Konstruksi cantrang harus sesuai dengan standar Alat Tangkap Ramah Lingkungan (SNI), yaitu, pengaturan panjang tali selambar, tidak menggunakan pemberat tambahan dan mata jaring pada bagian kantong harus di atas 2 inci;
  2. Hanya beroperasi di WPP-NRI 712 (Laut Jawa) di Jalur III (> 12 mil laut). Dilarang beroperasi di area perairan konservasi;
  3. Pengoperasian di WPP-NRI 711 adalah di ZEE Laut Natuna Utara untuk ikut memanfaatkan hak berdaulat Indonesia di ZEE tersebut, dan ikut membantu pengawasan dengan cara melaporkan kepada pengawas bila ada kapal asing;
  4. Tidak ada penambahan unit kapal baru, dan diatur jumlahnya sesuai ketersediaan stok Sumber Daya Ikan;
  5. Wajib menggunakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring System) untuk pengawasan kapal-kapal tersebut;
  6. Wajib menyampaikan laporan data hasil tangkapan secara elektronik, dan kapalnya bersedia ditempatkan Petugas Observer KKP.

Dengan demikian, Trian menyampaikan, tidak ada pelonggaran aturan cantrang.

“Justru dengan pengaturan aspek legal yang tepat kita dapat memastikan hak mereka terpenuhi dan kewajibannya bisa kita monitor dan evaluasi bersama, antara lain bisa dengan pemantauan melalui VMS dan menempatkan Petugas Observer KKP di atas kapal mereka,” katanya.

Trian berharap, tidak ada lagi polemik di lapangan dan di masyarakat mengenai aturan cantrang. Nantinya, bila revisi aturan tersebut sudah ditetapkan, KKP akan menerbitkan nilai produktivitas yang sesuai dengan pengoperasian cantrang.

Dinilai nekat

Tetapi menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, rencana Menteri KKP Edhy Prabowo merevisi aturan tersebut adalah sebuah sikap nekat. Pasalnya, rencana mengubah aturan tersebut dinilai mempertaruhkan masa depan sumber daya perikanan Indonesia.

Susan memandang revisi tersebut akan melegalkan cantrang, sebuah langkah yang hanya akan menguntungkan para pengusaha dan merugikan nelayan. Karena itu, Susan memandang, langkah Edhy sangat berbahaya.

“Pada saat yang sama, nasib nelayan tradisional dan nelayan skala kecil yang jumlahnya di atas 90 persen dari pelaku perikanan nasional, akan kehilangan hasil tangkapan ikan karena telah dieksploitasi oleh cantrang,” kata Susan kepada Ekuatorial, Jumat (3/7).

Susan menjelaskan, laporan Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik dan KKP, menyebutkan bahwa cantrang memiliki tiga dampak buruk. Pertama, menangkap sumber daya perikanan secara tidak selektif.

Sekitar 60-82 persen hasil tangkapan cantrang, berdasarkan dokumen tersebut, tidak dimanfaatkan sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati. Hasil tangkapan cantrang pada dasarnya adalah jenis ikan dasar (demersal) seperti ikan petek, biji nangka, gulamah, kerapu, sebelah, pari, cucut, gurita, bloso, dan macam-macam udang.

Hal tersebut selain akan memengaruhi penurunan stok sumber daya perikanan tangkap, biota yang dibuang akan mengacaukan data perikanan. Penangkapan ikan secara berlebih akibat cantrang telah terjadi di Pantai Utara Pulau Jawa bahkan sudah menyebar ke perairan lain di Indonesia.

Akibatnya, terjadi penurunan hasil laut seperti udang, rajungan, dan berbagai jenis ikan di Pantura.

Jawa Tengah, yang menjadi basis pengguna cantrang, produksi perikanan lautnya sempat jatuh pada nilai 154.442 ton pada tahun 2007 – sebelum ada aturan pelarangan cantrang, tetapi setelah itu kembali menunjukkan tren pertumbuhan positif dan mencapai level 334.298 ton pada 2016. Pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri KKP Nomor 71 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Lebih lanjut dalam laporan yang sama, kondisi tingkat pemanfaatan sumber daya ikan Laut Jawa dan Samudera Hindia Selatan Jawa, tempat para nelayan pengguna cantrang berpusat, mengindikasikan ikan jenis demersal fully-exploited,atau sepenuhnya sudah tereksploitasi sedangkan udang penaeid sudah dalam keadaan over-exploited, atau sudah terksploitasi secara berlebihan.

Kedua, cantrang adalah alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, karena cara kerjanya menangkap ikan di dasar perairan (demersal) bersifat tidak selektif terhadap hasil tangkapannya. Pengoperasiannya yang mengeruk dasar perairan juga akan mengeruk terumbu karang.

Ikan-ikan yang mencari makan dan berlindung di terumbu karang sangat terancam tertangkap mulut jala cantrang. Ini akan memengaruhi penurunan produksi ikan. Sebab, terumbu karang berperan sebagai tempat ikan memijah (berkembang biak). Nantinya, biota-biota yang belum matang dan bukan target penangkapan akan ikut terseret dalam jaring cantrang.

“Sehingga, kerusakan terumbu karang tersebut bukan hanya merusak ekosistem laut namun juga siklus produktivitas dan habitat biota laut,” tulis laporan BPS tersebut.

Ketiga, dari sisi sosial, cantrang kerap menghadirkan konflik horizontal. Hasil tangkapan ikan yang terjaring oleh cantrang, berpengaruh pada produk tangkapan serta nilai ekonomis tangkapan nelayan yang menggunakan API jenis lain. Contohnya, seperti tahun 2006 terjadi di Kalimantan Timur, kapal cantrang nelayan Bendar dibakar di perairan disana karena pendaratan hasil tangkapan setempat telah merusak harga pasaran ikan.

Konflik serupa terjadi pada Desember 2011. Kala itu, ada  pembakaran lima unit kapal pukat tarik gandeng dua di Perairan Asahan, Sumatra Utara. Kemudian, pada Desember 2012 di Nagan Raya, Aceh, tiga kapal trawl pun dibakar. Lalu pada 2018, tiga kapal nelayan trawl disandera oleh nelayan dari Desa Teluk Bogam, Kalimantan Tengah, yang memasuki wilayahnya.

Menurut Susan, jika KKP melegalkan cantrang di perairan Natuna, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan konflik sosial antara nelayan lokal dengan pengguna cantrang yang didatangkan dari Pulau Jawa. “Persoalan konflik akibat penggunaan cantrang ini harus menjadi perhatian serius KKP,” tegasnya.

Karena itu, Susan menilai, melegalkan cantrang bukan langkah maju dalam hal kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia. Selain itu, langkah ini juga menjadi penanda utama keberpihakan politik KKP yang lebih condong kepada para pengusaha cantrang.

“Kami mendesak KKP untuk tidak melegalkan cantrang dengan cara merevisi Permen KP No. 71 Tahun 2016. Tak ada kebaikan bagi masa depan sumber daya perikanan dan kehidupan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil di Indonesia yang jutaan orang,” katanya.

Dalam laporan Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2019 yang dikeluarkan oleh BPS, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2018, jumlah total nelayan di laut Indonesia di tahun 2017 sebanyak 2,244,610 orang.

Sumber data: Kelautan dan Perikanan 2018, Kementrian Kelautan dan Perikanan yang dirangkum dalam laporan Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2019 oleh Badan Pusat Statistik

Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, berpendapat bahwa rencana KKP menambah wilayah penggunaan cantrang tidak hanya akan berdampak pada ekosistem laut tetapi juga bisa berpengaruh pada perdagangan internasional.

Sebab, isu perdagangan produk perikanan internasional itu sekarang sangat erat dengan isu keberlanjutan, ketelusuran, bebas IUUF (illegal, unreported, unregulated fishing) dan HAM.

“Apabila cantrang dilegalkan kembali, khawatir produk Indonesia di pasar Internasional akan ditolak, karena dianggap menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Artinya secara ekonomi hal ini akan mengancam produk perikanan Indonesia di pasar internasional,” kata dia.

Suhana juga memandang, alasan membolehkan cantrang di Laut Natuna Utara untuk memperkuat kedaulatan adalah hal mengada-ngada. “Untuk menjaga hak berdaulat di ZEE tidak harus dengan cantrang, masih banyak alat tangkap lain yang lebih ramah lingkungan. Jadi jangan dengan dalih menjaga kedaulatan, sumber daya ikan di perairan indonesia menjadi rusak,” katanya. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.