Posted in

DANA MITIGASI BISA BANTU ATASI KRISIS PANGAN

thumbnailJakarta – Program pendanaan oleh pemerintah Norwegia sebesar US $ 1 milyar untuk pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from forest Deforestation and Degradation/REDD) di Indonesia, sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi perubahan iklim global, diharapkan dapat juga membantu mengatasi krisis pangan yang melanda Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sudah semestinya memiliki strategi yang tepat dalam menggunakan dana mitigasi tersebut.

“Sebenarnya dana mitigasi memang lebih diarahkan kepada perbaikan kondisi hutan. Namun, pemerintah sebenarnya juga dapat mengkombinasikan penggunaan dana mitigasi itu agar tidak hanya dialokasikan untuk kebutuhan hutan dalam bentuk kayu saja, tetapi juga untuk kebutuhan hutan pangan,” ujar Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS), Tejo Wahyu Jatmiko, usai Konferensi Pers “Jelang Hari Pangan Sedunia: Catatan Kritis atas Kebijakan Pangan Nasional”, di Jakarta, Kamis (14/10/2010).

Sebagai contoh, sambungnya, di antara hutan-hutan kayu yang terkait dengan program mitigasi itu dapat juga ditanami tanaman sukun, tanaman sagu, atau sumber-sumber pangan lainnya. Meskipun memang tidak terlalu besar, namun upaya ini dapat membantu untuk mengatasi masalah pangan, terutama untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Persoalannya kini adalah apakah hal itu dapat disepakati oleh pemerintah Norwegia sebagai negara pendonor dari program tersebut.

Kerja sama bilateral antara Indonesia dan Norwegia dalam mengurangi laju emisi ini sudah diresmikan melalui penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia, di Oslo, Norwegia, pada bulan Mei yang lalu. Moratorium itu akan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2011, dengan jangka waktu dua tahun. Pada bulan Agustus yang lalu, program itu telah disepakati untuk memasuki kontribusi pendanaan tahap pertama sebesar US $ 30 juta.

Menurut Tejo, para petani kecil sama sekali belum mengetahui soal dana itu, sebab inisiatif sosialisasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah masih kecil. Hal itu perlu kita ingatkan dan kita dorong supaya dana tersebut dapat ditujukan kepada para petani kecil, baik dalam bentuk asuransi maupun subsidi. Selain itu, sudah semestinya dibuat sebuah desain agar program pendanaan itu masuk dalam perencanaan pembangunan yang mendukung program ketahanan pangan nasional.

Sementara itu, data dari Dewan Ketahanan Pangan pada tahun 2009 menyebutkan bahwa sebanyak 36 juta penduduk Indonesia berada dalam status rawan pangan, dan sekitar 5,11 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini berada pada kondisi sangat rawan pangan. Krisis pangan tersebut diperparah dengan terjadinya fenomena perubahan iklim akhir-akhir ini yang juga menyulitkan produksi pangan, misalnya adalah terjadinya fenomena hujan yang terus-menerus.

“Baru-baru ini, kejadian di Kupang, Nusa Tenggara Timur, mungkin dapat dijadikan sebagai contoh. Pada bulan-bulan ini, petani di sana biasanya belum mulai menanam. Namun karena hujan terjadi terus-menerus, mereka dipaksa untuk melakukan penanaman. Seharusnya pemerintah membangun sistem informasi yang baik, sehingga para petani dapat memanfaatkan fenomena cuaca ini dengan lebih baik,” tambah Tejo.

Selain terjadinya fenomena perubahan iklim, produksi pangan di Indonesia juga dipersulit dengan kebijakan pangan yang diterapkan oleh pemerintah sendiri. Pemerintah justru lebih memilih untuk menerapkan kebijakan pangan yang hanya melihat aspek produksi saja dan berpihak kepada para pemodal asing serta para pemodal besar. Keberpihakan ini membawa dampak nyata terhadap pengabaian, tidak adanya perlindungan, dan tidak adanya pemenuhan kebutuhan bagi para produsen kecil.

Ketidakberpihakan pemerintah ini juga diungkapkan oleh Kepala Departemen Adaptasi, Sawit Watch, Achmad Surambo, Kamis (14/10/2010), pada kesempatan yang sama. Menurutnya, selama ini kebijakan pemerintah dalam mendukung bidang pertanian dan perkebunan di Indonesia belum maksimal. Subsidi pemerintah pun masih sering tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada pertanian di sekitar industri kelapa sawit.

“Dukungan besar terhadap industri sawit, tidak diterima oleh petani padi yang berada di sekitar perkebunan sawit. Saluran irigasi yang rusak, dibiarkan tanpa perbaikan hingga bertahun-tahun. Akhirnya petani pangan ini menyerah, dan tidak lagi mengupayakan pangan, seperti yang terjadi di Labuan Batu, Sumatera Utara atau di Kabupaten Batanghari, Jambi,” sambungnya.

Faktanya, kebijakan pangan yang dimiliki Indonesia selama ini, yakni Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP), yang dibuat 5 tahun sekali sejak tahun 2004, dinilai lemah dalam implementasinya karena sama sekali tidak mengikat, kerena misalnya tidak dijadikan sebagai Keputusan Presiden (KEPPRES). Hal ini menjadi pemicu terjadinya penerapan kebijakan yang tidak berpihak kepada para produsen kecil di pedesaan.

Menjelang peringatan hari pangan sedunia yang jatuh 16 Oktober mendatang, sudah seharusnya kebijakan pangan segera dikembalikan agar berpihak kepada kesejahteraan para produsen kecil, tidak hanya mengejar besaran angka produksi saja. Apalagi tercatat ada sekitar 19,2 juta orang berstatus rentan kelaparan yang tinggal di wilayah pedesaan. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.