Posted in

DITOLAK, CCS TERUS MELAJU

thumbnailMetode Carbon Capture and Storage, hampir dipastikan akan terus melaju sebagai  salah satu skema offset karbon di bawah Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM). Bagaimana proyek ini di Indonesia?

Sejak konferensi para pihak (COP) ke-16 di Cancun pada 2010 lalu, metode penangkap dan penyimpan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage), telah diputuskan layak menjadi salah satu skema offset karbon dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih (CDM).
Metode CCS merujuk kepada cara menangkap karbon langsung pada sumbernya, yaitu dari sumur-sumur minyak dan menginjeksikannya kembali ke dalam tanah. Dalam bisnis perminyakan metode ini dalam digolongkan ke dalam enhanced oil recovery yaitu metode untuk meningkatkan produksi minyak dengan cara mengangkat cadangan minyak bumi yang tidak dapat diproduksi dengan eksploitasi biasa. Memenuhi sumur-sumur di dalam tanah dengan karbon akan mendorong cadangan yang ada dapat dieksploitasi. Proyek CCS pertama yang dinyatakan secara komersial berhasil berasal dari lapangan Weyburn, Saskatcewhan, Canada, tahun 2000.

Negara eksportir minyak bumi seperti Saudi Arabia dan Norwegia berhasil mendesak para pihak dalam negosiasi perubahan iklim untuk memasukkan CCS sebagai metode offset karbon di dalam CDM. Dalam COP16 di Cancun tahun 2010 lalu, metode inipun berhasil masuk dalam skema CDM.
Mekanisme CDM adalah skema offset karbon kedua terbesar di dunia yang mempunyai basis legal yaitu Protokol Kyoto dan didukung oleh Sekretariat UNFCCC. Sampai pertengahan 2011, sebanyak 948 proyek di 49 negara telah terdaftar sebagai calon penerima kredit karbon dalam CDM. Di Indonesia, per 1 Maret 2011, sebanyak 61 proyek telah terdaftar di CDM Executive Board.

Ternyata, berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Greenpeace International tidak sepakat untuk memasukkan CCS ke dalam CDM, begitu pula Energy Action Coalition. Sebanyak 43 lembaga non-pemerintah telah berkirim surat kepada Konggres Amerika Serikat menyatakan penolakannya. Menurut Greenpeace, alasan utamanya karena CCS belum terbukti secara ilmiah, metode ini menggunakan energi cukup besar, 10-40 persen dari pembangkit yang ada, berisiko tinggi berupa terlepasnya kembali karbon dari tanah ke udara, dan baru akan diterpakan secara penuh paling cepat pada 2030 padahal reduksi emisi global membutuhkan tindakan tidak lebih lama dari 2015. Intinya, laporan False Hopedari Greenpeace itu menyimpulkan CCS tidak layak. Mereka menyuarakan kembali keberatan ini dalam COP17 di Durban lewat demonstrasi dan berbagai buletin

Brazil punya alasan lain untuk menentang. Menurut mereka, pembiayaan CCS akan mengurangi dana perubahan iklim dalam pengembangan energi terbarukan dan perlindungan hutan, yang sangat dibutuhkan negara itu.
Saat ini metode CCS sedang diujicoba pada 35 lapangan minyak dan gas di seluruh Indonesia. Di Indonesia, rencana penerapan CCS pernah diusulkan oleh ExxonMobil Indonesia untuk memproduksi gas dan minyak dari lapangan Block East Natuna (Natuna D-Alpha) di sekitar Kepulauan Natuna, di Laut Cina Selatan, yang minyaknya memiliki kandungan karbon dioksida relatif tinggi. Namun, sampai saat ini lapangan yang kini dikelola konsorsium Pertamina, Petronas, Exxon dan Total EP itu belum memaparkan kembali rencana penerapan CCS dan volume karbon yang diproyeksikan berhasil ditangkap dan disimpan kembali. (IGGM)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.