Posted in

INDONESIA HARUS HINDARI HUTANG UNTUK REDD+

thumbnailJakarta – Presentasi yang disampaikan oleh tim Task Force REDD+ (Reducing Emission from forest Deforestation and Degradation) Indonesia dalam side event UN REDD pada Konferensi Para Pihak mengenai Perubahan Iklim ke-16 (COP UNFFCC) di Cancun Meksiko, ternyata menuai berbagai kontroversi. Salah satu pemicunya adalah keinginan Indonesia untuk memperoleh dukungan pendanaan dari institusi-institusi global, baik dalam bentuk hutang, hibah, maupun pasar. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif, yakni semakin menumpuknya hutang luar negeri Indonesia.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Berry Nahdian Forqan, Kamis (9/12/2010), mengungkapkan bahwa keterlibatan dukungan pendanaan dari berbagai institusi global dalam pelaksanaan proyek REDD+ di Indonesia disinyalir akan semakin menambah hutang Indonesia kepada pihak luar negeri. “Bisa dibayangkan beban hutang Indonesia akan bertambah apabila proyek REDD di Indonesia didanai oleh Bank Dunia atau lembaga penghutang lainnya,” tegasnya.

Sementara mengenai presentasi yang disampaikan, Berry menambahkan tim Task Force REDD+ sama sekali tidak menyampaikan persoalan mendasar dalam tata kelola hutan di Indonesia. Padahal nyatanya, masih banyak persoalan dalam tata kelola hutan di Indonesia, seperti konflik karena tidak adanya pengakuan atas hak dan ruang kelola masyarakat adat atau masyarakat lokal atas sumber daya hutan, serta besarnya otoritas yang diberikan pemerintah kepada korporasi.

Selain itu, sambungnya, ada juga masalah tumpang tindih peruntukan kawasan, perizinan, dan belum adanya tata batas yang jelas. Di samping itu, persoalan lain yang mencuat adalah tingginya jurang pemisah antara produksi dan permintaan dari negara industri akan kayu olahan, CPO, dan hasil tambang yang memicu praktek deforestasi berkelanjutan, serta lemahnya penegakan hukum dan merajalelanya mafia hukum di sektor kehutanan.

Dalam presentasi tersebut, selain mengharapkan dukungan pendanaan dari institusi global, tim Task Force REDD+ Indonesia ternyata juga sangat mengharapkan dukungan dari PBB dalam pelaksanaan proyek REDD+, terutama UN REDD. Dengan berbagai dukungan yang ada, Indonesia yakin akan dapat mengimplementasikan REDD+ dengan baik, karena sudah punya pengalaman dalam mengatasi masalah yang sulit pada saat tsunami di Aceh. Terlebih karena tantangan dan hambatan pelaksanaan REDD+ tidak berbeda jauh dengan penanganan Tsunami di Aceh.

Terkait dengan proyek REDD+, Indonesia sendiri memang tengah terlibat dalam sebuah moratorium dengan pemerintah Norwegia untuk mengurangi emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia yang akan dimulai pada tahun 2011. Dana sebesar US $ 1 milyar yang disiapkan oleh pemerintah Norwegia pun sudah mulai dikucurkan secara bertahap. Dalam pelaksanaannya nanti, proyek REDD+ di Indonesia itu akan dikoordinasikan dibawah satu institusi, yakni Task Force REDD+ (Satuan Tugas REDD+).

Indonesia Jadi Fasilitator

Terlepas dari presentasi yang disampaikan oleh tim Task Force REDD+, Delegasi RI (Delri) tetap harus berperan aktif dalam konferensi perubahan iklim yang tinggal menyisakan proses negosiasi dalam beberapa hari lagi, yakni hingga Jumat (10/12/2010) mendatang. Terlebih setelah Indonesia mendapatkan kepercayaan sebagai fasilitator pencarian titik temu antara negara-negara kunci dalam konferensi tersebut. Penunjukan ini terutama dikarenakan adanya kekhawatiran bahwa proses negosiasi akan “jalan di tempat”.

“Harus disyukuri bersama, bahwa Presiden COP-16 telah memberi kepercayaan kepada Indonesia, bersama beberapa menteri strategis negara-negara lain, untuk menjadi fasilitator negosiasi dalam pencarian titik temu antara negara-negara kunci. Tindakan ini dilakukan karena dirasakan oleh Presiden COP ada kecenderungan kuat negosiasi COP akan macet,” pungkas Ketua Delri, Rachmat Witoelar,  Selasa (7/12/2010).

Presiden COP UNFCCC ke-16, Patricia Espinosa, secara eksplisit memang meminta bantuan para fasilitator – termasuk Indonesia di dalamnya – untuk memfasilitasi kemajuan negosiasi dalam beberapa isu mengenai mitigasi dan MRV (Measurement, Reporting, and Verification). Sementara itu, isu-isu lainnya yang masih dalam perdebatan, yakni pendanaan dengan negosiasi soal pendanaan jalur cepat (Fast-track Financing), pembiayaan jangka panjang dan pembentukan badan pendanaan baru (A New Fund) di bawah mekanisme UNFCCC. Selain itu, visi bersama (Shared Vision) juga menjadi topik yang banyak didiskusikan.

Sementara mengenai mitigasi perubahan iklim, lebih banyak dibicarakan soal diferensiasi dan ruang lingkup komitmen mitigasi negara maju, serta aksi mitigasi negara berkembang sebagaimana termaktub dalam Bali Action Plan (BAP). Beberapa negara berkembang juga menyuarakan pendapat mereka soal definisi kerentanan (Vulnerability) dalam BAP yang masih belum mewadahi segenap kemungkinan kerentanan iklim yang ada. Khusus dalam hal ini, Delri mendukung penuh posisi bahwa semua negara pada hakikatnya rentan dalam menghadapi perubahan iklim. “Relevansi hal ini mudah terlihat dalam situasi domestik kita akhir-akhir ini yang berulang kali dilanda peristiwa cuaca ekstrim seperti tsunami dan banjir,” tutup Rachmat. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.