Kemiskinan akibat minimnya tingkat pendidikan di masyarakat pesisir menjadi penyebab utama tingginya perburuan Ikan Hiu di Indonesia. Food and Agriculture Organization (FAO) menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara penghasil produksi sirip hiu terbesar didunia.

Buton Selatan, SULAWESI TENGGARA. La Baire (60) masih ingat betul saat pertama kali berburu hiu hingga di perbatasan perairan Indonesia-Australia pada tahun 1982 silam. Di usianya yang ke-22 tahun kala itu, ia sudah menjadi Anak Buah Kapal (ABK) penangkap hiu di Desa Bahari, yang kerap disebut desa-desa pemburu hiu di Kecamatan Sampolawa.

“Kalau di sini sudah berkurang jumlah hiu, dulu banyak yang tangkap” kenang La Baire, pada awal Juli 2020 sambil menunjuk ke arah selatan di perarian laut Buton Selatan, Sulawesi Tenggara yang berbatasan langsung dengan Laut Flores.

Dalam satu hari, Saya pernah tangkap seratus ekor lebih pakai rawai. Keuntungan ikan hiu lebih banyak dari pada menangkap ikan lain

La Baire

La Baire terkekeh kecil dengan tatapan sinis memandang laut lepas, mengenang saat pertama kali menggunakan rawai atau long line, alat tangkap ikan yang sering digunakan untuk menangkap hiu.

Rawai terdiri dari rangkaian tali utama yang panjang dan terbuat dari bahan nilon yang kuat. Pada jarak tertentu di sepanjang tali utama terdapat cabang-cabang pendek dengan ukuran diameter lebih kecil dari tali utama. Di ujung tali cabang pendek itulah pancing berumpan di ikat untuk menangkap hiu.

Para pemburu hiu menggunakan dua jenis rawai, yaitu rawai hiu dasar dan rawai hiu hanyut. Rawai dasar terdiri dari banyak mata pancing yang pengoperasiannya dilakukan di dasar perairan dengan keadalaman antara 50-100 meter.

Kalau rawai hanyut khusus ditujukan menangkap berbagai jenis hiu yang habitatnya di perairan lepas atau samudera. Umumnya pemburu hiu menggunakan rawai hanyut yang dalam pengoperasiannya rawai dilarang menggunakan pelampung.

Rawai seperti magnet yang mampu menarik pelajar-pelajar remaja laki-laki meninggalkan sekolah, beralih menjadi nelayan penangkap hiu meniru jejak pendahulu mereka.

Ardhan (43) contohnya. Ia hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang kini telah menafkahi satu istri dan tiga anak, dan mampu membangun rumah semi permanen dari hasil bekerja sebagai ABK penangkap hiu.

“Disini rata-rata SMP sudah turun kelaut, teman-teman dengar dapat uang puluhan juta” ungkapnya.

Sementara Rahman (48) seorang laki-laki yang putus sekolah usia remaja dan sejak tahun 1992 berburu hiu, kini telah mendulang sukses dan memiliki kapal tangkap jenis ikan campuran berkapasitas 6 Gross Ton (GT). Ia juga sekaligus menjadi kapten kapal tersebut.

Rahman menjelaskan sekali operasional kapal menelan biaya puluhan juta rupiah. Sekali melarung, rawai dibentang sepanjang tujuh mil yang terdiri dari 225 mata pancing nomor dua. Hiu menjadi prioritas tangkapan selain jenis-jenis ikan lainnya.

“Paling sedikit tangkapan hiu sebanyak lima belas ekor dalam satu malam. Kalau pagi ditarik dengan rata-rata dua puluh lima sampai delapan puluh ekor” hitungnya.

Sirip hiu diambil untuk memenuhi kebutuhan ekspor bahan makanan di mancanegara, khususnya Tiongkok dengan harga pasaran mencapai ratusan juta rupiah. Untuk pasaran lokal, harga bervariatif sesuai berat dan ukuran sirip, antara Rp 200 ribu rupiah hingga Rp 1 juta lebih per kilogram. Kemudian dagingnya dijual bebas di sejumlah pelabuhan persinggahan di berbagai daerah timur Indonesia. Sementara minyak hewani yang diperoleh dari penjemuran organ hati hiu juga turut dijual untuk pengobatan.

Dalam 30 tahun terakhir, mayoritas nelayan tangkap di Desa Bahari I, Bahari II, Bahari III di Kecamatan Sampolawa, Buton Selatan, Sulawesi Tenggara mempraktekan perburuan hiu hingga di perairan laut Flores, Papua, dan Kalimantan. Sebanyak hampir 200 kapal kecil berasal dari ketiga desa tersebut menjadi sarana tangkap hiu.

Aparatur Desa Bahari

“Kalau disini mayoritas menangkap hiu” kata Tasman (31), Kepala Desa Bahari III.

Tasman memperkirakan sekitar sembilan puluh sembilan persen (99%) lebih kaum pria bekerja jadi ABK menangkap hiu. Uang dari pekerjaan itu digunakan untuk menafkahi dan menyekolahkan anak-anak.

Masalah yang kompleks

WWF memperkirakan dari ratusan spesies hiu yang ada di Indonesia, 30 persen dianggap terancam atau hampir punah, sebagaimana dikutip dalam ABC news pada Juni 2019 lalu .

Status hiu terdaftar sebagai spesies yang rentan. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.5 Tahun 2018, dari 117 jenis hiu yang berada di perairan Indonesia hanya hiu paus (Rhyncodon typus) yang berstatus ‘dilindungi penuh’ (tidak boleh ditangkap sama sekali untuk tujuan apapun). Empat jenis hiu lainnya, yaitu hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dan tiga jenis hiu martil (Spyhrna lewini, Sphyrna zygaena, dan Sphyrna mokarran) dapat ditangkap tapi tidak boleh diekspor.

Sedangkan ada delapan jenis hiu yang masuk dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi Internasional Perdagangan Satwa Liar, yang artinya pemanfaatan untuk perdagangan luar negerinya diperbolehkan, namun dengan aturan ketat.

Sebelumnya pemerintah juga telah memperhatikan kesejahteraan masyarakat dalam mata rantai bisnis ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permen) No. 447 tahun 2003, ungkap Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indra Exploitasia Semiawan.

Peraturan tersebut masih memperbolehkan penangkapan satwa liar dengan batasan batasan tertentu seperti jumlah, ukuran, bobot, umur dan sebagainya serta yang jumlahnya bergantung kepada tingkat populasinya.

Melalui Permen tersebut, selain pemerintah dan asosiasi, para eksportir dan pelaku usaha skala besar di hilir diharpakan dapat memperhatikan kesejahteraan pelaku-pelaku usaha kecil yang menjadi mata rantai bisnis di tingkat hulu. Perhatian itu penting agar pelaku usaha kecil tetap melangsungkan usahanya secara sehat dan lestari berdasarkan kaidah-kaidah konservasi.

“Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar termasuk jenis hiu berdasar pada prinsip kehati-hatian, agar tidak terjadi degradasi populasi di alam” kata Indra.

Ia menjelaskan jika saat ini sedang dalam proses transisi pelimpahan kewenangan Management Authority CITES untuk jenis-jenis ikan dari KLHK ke Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Untuk pengelolaan hiu yang berkelanjutan, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Hiu dan Pari 2016-2020. Dalam dokumen RAN, berdasarkan data yang dirilis Food and Agriculture Organisation (FAO), Indonesia masuk dalam lima negara penghasil produksi hiu terbesar di dunia.

Dalam RAN, masyarakat nelayan yang terlibat menangkap hiu hanya dibagi dalam strata berdasarkan pengguna perahu/kapal berukuran kecil dan kapal armada berukuran besar yang penanganannya memerlukan pengaturan berbeda antara nelayan skala kecil dan nelayan skala besar, sehingga kebijakan tentang perikanan hiu ini tidak memberikan dampak yang besar kepada masyarakat nelayan kecil.

Kini KKP melalui Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut tengah menyusun RAN Konservasi Hiu dan Pari periode 2020-2024, yang merupakan bagian dari mandat International Plan of Action (IPOA) yang dikeluarkan FAO pada tahun 1999.

Dalam situs resmi KKP pada April lalu, RAN periode berikutnya akan mengakomodir beberapa hal diantaranya pengelolaan database terintegrasi secara internasional yang bisa diakses bersama, perbaikan tata kelola untuk penangkapan dan peredaran, isu hiu hidup, isu keterlusuran dari mulai penangkapan sampai perdagangan, dan isu sosial ekonomi.

Beberapa strategi akan dilakukan untuk mewujudkan gagasan dalam RAN tersebut antara lain perlindungan habitat daerah nursery ikan hiu pari di dalam kawasan maupun di luar kawasan konservasi.

Adapun mengenai tingkat ancaman hiu dan pari yang tidak sengaja tertangkap (by-catch) dengan mitigasi melalui alat tangkap yang ramah atau sesuai ukuran akan dikurangi. Populasi hiu dan pari juga akan didata dan diukur menggunakan metode yang bisa digunakan di dalam kawasan maupun di luar kawasan konservasi.

Kemiskinan karena budaya dan struktur sosial

Namun, regulasi itu masih dianggap belum efektif menyelamatkan hiu dari perburuan besar-besaran.

Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, Tamar Mustari, memandang pemerintah memerlukan serangkaian tindakan nyata berbasis sosial ekonomi untuk memutus mata rantai perburuan hiu.

Menurutnya, secara umum masyarakat pesisir itu miskin yang disebabkan dua hal yaitu kultural dan struktural yang membuat masyarakat nelayan tangkap tidak punya pilihan, terpaksa melanjutkan kebiasaan menangkap hiu.

“Ya ini kan persoalan kultur dan memang sifat-budaya di masyarakat pesisir miskin karena alasan dari latar belakang aspek pendidikan” analisa Tamar, pada Juli lalu.

Tamar melanjutkan, minimnya pendidikan menyebabkan mereka tidak punya kemampuan mengelola keuangan. Budaya pesisir cenderung tidak mengenal saving yang dalam pengelolaan pendapatan keuangan, setidaknya sebanyak tiga puluh persen (30%) dari total pendapatan ditabung untuk digunakan saat menghadapi musim-musim paceklik.

Budaya hidup yang konsumtif juga menjadi salah satu faktor penyebab para nelayan pesisir miskin. Ia mencontohkan; jika hari ini nelayan dapat satu juta, uang dipakai bersenang-senang dan istrahat untuk satu-dua hari, setelah itu turun melaut lagi.

“Jalan satu-satunya, pendidikan itu perlu untuk generasinya, sekolah formal maupun sekolah non-formal” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Buton tahun 2020, untuk kelompok umur 16-18 tahun di Buton Selatan kurang dari separuh penduduk atau tepatnya 49 persen yang sedang bersekolah. Semakin tinggi kelompok umurnya, semakin kecil angka partisipasi sekolahnya. Beberapa anak (terutama anak laki-laki) putus sekolah untuk bekerja agar membantu kebutuhan ekonomi keluarga.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Buton Selatan pada tahun 2019 masih terbilang cukup rendah dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten di sekitarnya, dimana Kabupaten Buton Selatan menempati peringkat ke enam belas atau posisi dua terbawah dari tujuh belas Kabupaten-Kota di Sulawesi Tenggara.

Hasil pemetaan Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Kabupaten Buton Selatan mendapati umumnya para nelayan melakukan penangkapan hiu di perairan laut Aru, laut Papua, laut Flores yang berbatasan dengan Australia dan sebagian kecil ke laut Kalimantan.

DPK Buton Selatan juga mencatat baru sekitar 40 persen nelayan yang telah mengelola Sumber Daya Alam (SDA) di sekitar wilayah masing-masing. Dari angka itu, hanya 10 persen yang menggunakan teknologi, seperti menggunakan mesin dalam proses menangkap ikan, sementara 30 persen masih menggunakan cara-cara tradisional.

Sulit merubah perilaku

Pihak DKP setempat merasa kesulitan untuk merubah perilaku para penangkap hiu beralih menjadi nelayan pengolah SDA laut.

“Karakter nelayan kita ini selalu mau instan. Yang kedua, nanti lihat orang berhasil, baru dia mau coba” ujar Kepala DPK Buton Selatan, La Kali pada akhir Agustus kemarin.

Meski demikian, DKP Buton Selatan terus mengawal nelayan untuk meningkatkan produk, seperti rumpon ikan. Melalui pembagian informasi, nelayan terus menerus diyakinkan bahwa potensi laut Buton Selatan sangat besar untuk memberikan jaminan dan kesejahteraan nelayan di masa mendatang.

“Di laut sini kan memiliki ikan Pelagis besar dan Pelagis kecil. Saya berharap lima tahun kedepan nelayan-nelayan ini berubah. ” tukas La Kali.

Wild Conversation Society Indonesia (WCS), NGO yang bergerak di bidang konservasi melihat soal penangkapan hiu justru lebih komprehensif, dimana ada sistem yang berjalan bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun tentang perikanan hiu, dan bukan hal yang mudah untuk diganti ke hal lain yang bersifat jangka pendek.

Shark and Ray Senior Officer WCS, Benaya Simeon yang akrab disapa Naya menjelaskan ada tiga pelaku utama yang melakukan usaha dibidang nelayan hiu, yaitu pemilik kapal, kapten kapal dan ABK.

“Dari ketiga itu, ABK yang paling mudah untuk berubah (meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan tangkap hiu), seperti yang kami lihat di Nusa Tenggara Barat (NTB)” kata Naya. Sementara pemilik kapal yang melakukan usaha penangkapan hiu sulit untuk beralih karena sudah mengeluarkan uang banyak untuk membiayai operasional kapal.

Nelayan terlanjur tidak punya modal untuk melakukan usaha-usaha lain dan sudah terkotakkan dalam kemiskinan beberapa generasi sehingga tidak ada kesempatan dan tidak punya alternatif lain untuk merubah perekonomian.

“Mentok disitu dan tidak ada jalan keluar” tegas Naya.

Untuk menekan tingginya perburuan hiu perlu dilakukan perubahan dari sisi sosial-budaya dan ekonomi para nelayan. Naya mencontohkan seperti yang telah dilakukan WCS terhadap nelayan penangkap hiu di Nusa Tenggara Barat (NTB). WCS mendukung koperasi-koperasi usaha bahari.

Para ABK difasilitasi untuk dipekerjakan menjadi operator kapal di perusahaan pengembang wisata. Sementara istri mereka didampingi membentuk kelompok pengolahan ikan seperti abon, kerupuk, terasi atau apa saja yang bisa diolah dari SDA disekitar mereka, menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi.

Masalah hiu adalah masalah yang kompleks. Hiu adalah spesies prioritas konservasi tetapi disisi lain Indonesia negara penangkap hiu terbesar di dunia, menjadikan ketergantungan nelayan Indonesia terhadap hiu cukup tinggi.

Pemerintah dinilai sudah sangat berhati-hati menangani persoalan perlindungan hiu, dan masih memerlukan dukungan banyak pihak untuk mengimplemetasikannya dan dikerjakan secara bersama-sama.

“Ini hal yang sensitif, kita semua harus berhati-hati, memerlukan kolaborasi banyak pihak untuk mengimplemetasikannya” tukas Naya.

Hiu sama seperti hewan lainnya memiliki karakter kematian alami, namun yang paling berbahaya adalah jika tingkat kematian terjadi akibat penangkapan dalam jumlah besar melebihi jumlah kematian alaminya.

“Itu akan berpengaruh sama populasinya” tegas Naya.

About the writer

Riza Salman is a freelance journalist and documentary filmmaker who focuses on reporting on environmental, social and cultural issues. He started his career as a television journalist in 2008. In 2018...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.