Kerusakan lingkungan belum menjadi dasar pengambilan kebijakan untuk mengantisipasi kemunculan virus-virus baru. Wabah Covid-19 seharusnya menjadi peringatan akan erat nya keterkaitan antara kerusakan lingkungan dengan wabah penyakit berjangkit .

Oleh May Rahmadi

Dunia memperingati Hari Bumi pada tanggal 22 April dengan cara berbeda tahun ini. Jika biasanya perayaan ditandai dengan pelbagai aksi, kali ini tak begitu. Bumi, juga segala makhluk, sedang rehat.

Virus Corona penyebab pandemi Covid-19, pada saat liputan ini diterbitkan, telah menginfeksi lebih dari 2,5 juta orang, dan merenggut lebih dari 177 ribu nyawa di seluruh dunia. Wabah ini lekas menjalar dari satu wilayah ke yang lainnya, meluas ke negara hingga melintasi benua. Virus ini mengubah segala-galanya.

Perkara kemunculan penyakit baru ini, sesungguhnya, berkaitan dengan banyak faktor. Sejumlah penelitian menyebutkan ada sumbangan mulai dari aktivitas pembangunan tak ramah lingkungan hingga populasi yang meningkat.

Singkatnya, pelbagai wabah yang terjadi menurut akademisi dan ilmuwan, memiliki kaitan erat dengan tatanan keanekaragaman hayati. Termasuk untuk kasus Covid-19 ini. Ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono menjelaskan, bagaimanapun perputaran siklus pada alam melatari kemunculan virus baru.

“Emerging diseases atau new emerging diseases adalah penyakit yang timbul pada manusia pada dua dekade terakhir. Jadi, ini adalah new emerging disease (penyakit baru). Itu banyak penyebabnya, karena perubahan lingkungan–suhu meningkat karena kan climate change, lalu perubahan perilaku dari manusia–makan segala macam, lalu traveling ke mana saja,” kata Tri Yunis kepada Ekuatorial.com, Sabtu (18/4).

Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengatakan, tak bisa ditampik bahwa kemunculan virus baru menandakan adanya pergeseran pada alam. Mulai dari perubahan lingkungan, perubahan rantai makanan, perubahan perilaku, pola konsumsi, hingga berujung ke perubahan host juga agen pembawa virus.

Ketika semua berubah, kondisi ini akan mendorong makhluk hidup—hingga yang paling kecil sekalipun—untuk turut bermutasi. “Kalau ada makhluk hidup kecil bermutasi, kan kira-kira, ada perubahan alam pasti di situ. Kan perubahan rantai makanan itu, kalau rantai makanannya berubah, ya, kemudian pelaku-pelakunya juga akan berubah, begitu teorinya,” jelas dia.

Kasus virus corona jenis baru ini pertama kali muncul di Wuhan, China di penghujung Desember 2019. Beberapa peneliti menduga kuat virus ini berasal dari salah satu pasar di wilayah tersebut yang menjual pelbagai jenis hewan.

Tri Yunis menduga, pintu lain penyebaran virus dan mutasi itu juga bisa melalui trading atau perdagangan. “Kemungkinan besar ini karena hewan dikasih makanan lain, kemudian tumbuh virus lain kemudian manusia memakan hewan. Jadi bisa menginfeksi manusia. Lalu trading atau perdagangan ini juga bisa menyebar ke manusia. Bisa juga dari sektor pertanian, rekayasa genetik,” kata dia.

Sementara ahli kebijakan lingkungan yang juga akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodiharjo berpendapat, munculnya SARS-CoV-2 ini terjadi seperti virus lainnya. Menurut dia, hilangnya jasa alam berupa keanekaragaman hayati akan mengakibatkan ketidakseimbangan populasi.

Terputusnya rantai alam dan rusaknya habitat akibat eksploitasi, mendorong hewan liar mendekati populasi manusia. Dengan begitu bisa meningkatkan kemungkinan virus zoonosi seperti SARS-CoV-2 melakukan lompatan lintas spesies dan manusia sebagai inang.

“Jadi hampir mirip dengan prinsip-prinsip seperti itu yang terjadi di alam—kalau ular atau elang diburu maka tikus akan meledak karena tikus makanan elang dan ular. Hanya, tentu lebih luas karena cakupan hubungan antara hayati–baik tumbuhan dengan hewan–dengan virus dan lanskap itu sebenarnya sangat unik,” kata Guru Besar Kehutanan IPB tersebut kepada Ekuatorial.com, Minggu (19/4).

Penyakit zoonosis merupakan infeksi yang ditularkan hewan ke manusia. Kondisi ini bisa berlanjut pada wabah penyakit berbahaya dan menular. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 75 persen penyakit baru yang ditemukan bersifat zoonotik.

Lingkungan tak jadi prioritas

Namun sayangnya, Hariadi mengatakan, hingga kini pengaruh jasa alam atau lingkungan ini belum menjadi pertimbangan pengambilan keputusan ataupun kebijakan. Dia menduga hal ini dilatari dampak kerusakan alam yang selama ini tak bisa dipastikan atau tak terlihat nyata. Lain halnya, dengan efek yang terjadi di sektor ekonomi.

“Mislanya, begitu inflasi naik maka dengan segera otoritas akan memperbaiki dalam konteks moneter dan fiskal untuk mengendalikan. Dan kalau dilakukan manfaatnya juga terbukti, itu clear ketika ahli ekonomi menggunakan cara itu maka kemudian beberapa hari inflasi akan turun,” kata Hariadi.

Tapi tidak begitu dengan keanekaragaman hayati dan dampaknya yang kompleks. Antara kerusakan dengan efek yang ditimbulkan pun seringkali tak bisa dipandang linear.

“Misalnya, orang menghancurkan hutan di Papua, itu yang menghancurkan ternyata orang Jakarta, Singapura atau dari daerah lain. Kalau kita lihat dampaknya, tidak dirasakan mereka, tetapi oleh masyarakat lokal (di Papua),” terang dia.

Sekalipun tak jelas waktunya, dampak dari kerusakan keanekaragaman hayati itu sudah pasti ada. Kerugian akibat kerusakan jasa alam atau lingkungan tak bisa sekadar dilihat secara kasat mata.

“Karena walaupun kita tahu misalnya, kalau hutan lindung dihabisin, nanti banjir, lho. Tapi kemudian orang mengatakan, kapan banjirnya? Nggak ada yang tahu. Bisa empat tahun, lima tahun atau 10 tahun lagi, itu nggak ada yang tahu Nah, dari situ sebenarnya problematika lingkungan itu selalu harus selalu diwadahi dalam konteks etika,” katanya.

Menurut Hariadi, itulah sebabnya permasalahan lingkungan tak bisa semata dibawa dalam konteks rasionalitas atau kalkulasi belaka melainkan lebih kepada etika dalam penerapannya. Misalnya, prinsip kehati-hatian dalam penerapan pemanfaatan sumber daya alam.

Kondisi kian pelik karena pemerintah belum memandang kerusakan lingkungan menyangkut keanekaragaman hayati ini sebagai kerugian negara. Berdasarkan penelusuran Hariadi, setidaknya dua peraturan yakni Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara mendefinisikan kerugian negara sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata.

“Jadi kerugian negara dalam konstalasi ini tidak termasuk hilangnya jasa alam yang berupa keanekaragaman hayati. Nah kalau itu terjadi, maka sebenarnya itu nggak memberikan sebuah dorongan bahwa Kehati (keanekaragaman hayati) itu harus dilindungi. Karena negara sendiri mengatakan, itu nggak ada harganya kok,” kata dia.

Padahal, dengan mengutip pelbagai penelitian, dia mengatakan, merosotnya kondisi keanekaragaman hayati kian nyata.
Laporan Daniel Cleary dan Lyndon Devantier dalam ‘Indonesia: Threats to The Country’s Biodiversity’, misalnya, mengatakan hampir 90 persen daratan Indonesia tertutup hutan hujan alami pada tahun 1880. Namun 100 tahun kemudian, di tahun 1980, Indonesia sudah kehilangan 25 persen tutupan hutan. Sedangkan saat ini, lebih dari 50 persen tutupan hutan itu sebagian besar telah terdegradasi.

Kepala Unit Ilmu Konservasi WWF Indonesia Thomas Barano, menilai pola konsumsi berlebihan masyarakat terhadap satwa liar — sebagai bagian keanekaragaman hayati — ikut memberikan andil dalam menimbulkan penyakit zoonotik. Dia memperkirakan jika eksploitasi terus terjadi, tak pelak lagi akan berakibat pada penurunan jenis-jenis satwa yang diperdagangkan.

“Karena laju recovery populasi dan pengambilan (satwa) tidak sebanding,” tutur Thomas Barano kepada Ekuatorial.com pada Selasa (21/2).

“Dari tahun ke tahun, ekspolitasi satwa liar secara ilegal masih terus terjadi dan kondisi ini tentu terus menekan populasi satwa liar di alam. Perubahan yang terjadi, adalah perluasan tata cara berdagang satwa liar dari pasar hewan ke perdagangan lewat gawai,” jelas dia lagi.

Karena itu dia berharap ada peningkatan pengawasan dan kontrol atas praktik perdagangan ilegal satwa liar. Sehingga laju eksploitasi satwa liar pun mampu ditekan.

Bila kebijakan tak segera diperbaiki, dia khawatir skenario terburuk dari merosotnya keanekaragaman hayati akan terus memunculkan penyakit-penyakit baru. “Tentu ini akan meningkatkan peluang penyakit zoonotik baru, karena pola konsumsi manusia yang mengeksploitasi berlebihan, sehingga keseimbangan ekosistem juga terganggu,” kata dia.

Laporan dua tahunan yang dirilis WWF menganalisis faktor ancaman yang paling umum dihadapi 8.500 spesies terancam atau hampir punah. Temuannya, penggerak terbesar hilangnya keanekaragaman hayati adalah eksploitasi berlebihan dan pertanian yang didorong melonjaknya konsumsi manusia.

“Dari semua tanaman, amfibi, reptil, burung dan spesies mamalia yang telah punah sejak 1500 M, 75 persen karena eksploitasi berlebihan atau aktivitas pertanian, atau keduanya,” tulis laporan tersebut.

Dalam beberapa dekade terakhir, menurut laporan tersebut, aktivitas manusia juga berdampak buruk terhadap sumber daya alam sekaligus habitat satwa. Laporan yang disusun WWF ini meyakinkan bahwa segala manfaat dan kehidupan yang didapat masyarakat kini adalah berkat alam. Yang selamanya akan terus dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup dan berkembang.

WWF menyebut, semakin banyak penelitian menunjukkan betapa pentingnya alam bagi manusia dan mahluk lainnya. Nilainya nyaris tak bisa dihitung dan itu mencukupi kebutuhan kesehatan, kebutuhan makanan hingga keamanan semua makhluk hidup.

“Jika diperkirakan secara global, alam menyediakan kebutuhan atau pelayanan sekitar 125 triliun dolar Amerika per tahunnya. Pemerintah, pengusaha dan otoritas di sektor keuangan kini mulai mempertanyakan tentang risiko global kerusakan lingkungan–seperti meningkatkan tekanan pada lahan pertanian, persediaan air, cuaca ekstrem–yang juga memengaruhi kinerja ekonomi, makro negara serta sektor dan pasa keuangan,” laporan tersebut merinci.

Sementara untuk Indonesia, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan terdapat 552 unit kawasan konservasi seluas 27,4 juta hektare. Pada level spesies, mengutip data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2014, terdapat keanekaragaman 1.500 spesies alga, 80 ribu spesies jamur, 595 spesies lumut kerak, 2.197 spesies paku-pakuan dan, 30 ribu sampai 40 ribu spesies tumbuhan berbiji. Sedangkan keragaman fauna diketahui meliputi 8.157 spesies.

Terkait pengelolaan tumbuhan dan satwa liar, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK, Indra Exploitasia mengatakan telah menargetkan peningkatan populasi 25 spesies hingga 10 persen sepanjang lima tahun belakangan.

“Rata-rata peningkatan populasi 25 prioritas spesies satwa terancam punah saat ini sebesar 2,91 persen dari 2015 ke 2016. Sedangkan 2016 ke 2017, meningkat 5,41 persen. Hingga 2018, populasi dari 19 spesies prioritas meningkat lebih 10 persen,” Indra memaparkan kepada Ekuatorial.com pada Selasa (21/4).

Beberapa satwa itu di antaranya Gajah Sumatera, Badak, Siamang, Orangutan dan Elang Jawa. Kondisi keanekaragaman hayati itu tak ditampiknya berkaitan dengan kemunculan virus baru. Hanya saja memang, hubungan keduanya begitu kompleks.

Sebelumnya sejumlah kabar menyebut bahwa satwa liar yang dikonsumsi masyarakat mungkin menjadi salah satu penyebab kemunculan virus SARS-CoV-2.

“Hipotesis itu mungkin ada benarnya, tetapi kemunculan pandemi Covid-19 ini bisa saja merupakan proses yang kompleks. Setidaknya ada 80 persen penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan. Sementara sekitar 75 persen penyakit baru atau penyakit infeksi emerging pada manusia disebabkan mikroba yang berasal dari hewan atau satwa,” terang Indra.

Dia melanjutkan, banyak pendapat yang menyatakan bahwa penyakit baru ini hampir selalu bermula dari perambahan hutan atau kegiatan tak ramah lingkungan yang dilakukan manusia. Perubahan demografi dan ruang hidup–seperti hilangnya barrier hutan yang menjadi pemisah antara manusia dan satwa–berpotensi menjadi penyebab meningkatnya kontak antara manusia dan satwa liar. Boleh jadi, satwa itu mungkin pembawa virus.

“Selain itu, interaksi manusia dengan satwa liar seperti perburuan liar, konflik satwa dengan manusia dan konsumsi daging satwa liar juga memiliki andil terhadap munculnya penyakit baru,” tambah dia lagi.

Karenanya Indra mengatakan, jaminan terhadap pelestarian keanekaragaman hayati sangat penting. Itu sebabnya, dia mengklaim telah mengintegrasikan keanekaragaman hayati ini dan juga menjadikannya komponen dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi kebijakan juga program dan pembangunan nasional.

“Saat ini KLHK sedang merancang Inpres (Instruksi Presiden) terkait pengarusutamaan keanekaragaman hayati dalam kegiatan pembangunan nasional yang berkelanjutan diberbagai sektor. Karena hingga saat ini, belum ada aturan terkait pembangunan dan penggunaan kawasan di luar kawasan hutan yang mempertimbangkan aspek sebaran satwa dan mengurangi dampak negatif keutuhan ruang geraksatwa,” jelas Indra.

Trend global

Tren kerusakan itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga pada skala dunia. “Riset berjudul How Biodiversity Loss is hurting Our Ability to Combat Pandemic mengatakan dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 90 persen varietas tanaman sudah menghilang. Dan antara 1980 sampai 2013 itu tercatat perkembangan 12.012 jenis wabah yang memakan korban 40 juta kasus individu,” Hariadi memaparkan.

Dengan demikian, sebetulnya, bertolok pada sederet data dan riset tersebut kondisi Indonesia dan dunia telah masuk taraf terancam. Tapi lagi-lagi, pelbagai kebijakan tak memberikan cukup porsi untuk turut mempertimbangkan keanekaragaman hayati.
Itu sebabnya, menurut dia, metode pendekatan konsep pembangunan mesti dibenahi tak hanya memperhatikan aspek tertentu melainkan menyeluruh.

“Untuk Indonesia, itu memang logikanya masih logika kuno–seperti di dua UU yang saya contohkan tadi. Logikanya masih sangat monolitik. Ekonomi adalah ekonomi, akuntansi adalah akuntansi, dan itu tentu benar dalam konstelasi masing-masing. Tidak salah. Tapi ketika kita melihat kondisi aktual sumber daya alam, lalu ada lagi persoalan ketidakadilan dan lainnya, tidak cukup sesuatu itu ditangani dengan monodisiplin, harus transdisiplin,” kata Hariadi.

Pendekatan lintas disiplin yang memandang kesehatan manusia dan alam sekitarnya adalah satu kesatuan, telah muncul sejak awal abad ke-19. Konsep kesatuan ini dikenal sebagai One Health. Tujuannya, menciptakan kesehatan yang optimal bagi manusia, hewan, lingkungan ataupun ekosistem.

Bila perubahan (logika monolitik) tak segera dilakukan, Hariadi khawatir, guncangan akibat kerusakan keanekaragaman hayati tak akan lagi bisa dibendung oleh pemerintah atau pihak manapun karena kapasitas yang tak sebanding.

Hal tersebut juga dikemukakan The Club of Rome—kumpulan ilmuwan, pemerintah hingga pengusaha yang mempublikasikan pelbagai laporan. Salah satu laporannya yang bertajuk A Green Reboot After the Pandemic menyebutkan bahwa pandemi virus corona ini harus bisa menjadi panggilan untuk sadar atau semacam peringatan bahwa penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, ataupun perubahan iklim perlu menjadi bagian dari pemodelan pilihan sistem ekonomi.

“Bayangkan kalau sistem ekonomi masih berjalan seperti sekarang, keanekaragaman hayati tambah rusak, maka kita tidak tahu sebenarnya seberapa besar jenis-jenis Covid yang lain itu bisa bermunculan. Nah oleh karena itu, istilahnya, ini adalah panggilan untuk bangun dan peringatan bahwa pengetahuan mengenai sistem ekonomi itu sudah ketinggalan jaman dan kita harus berpikir ulang,” Hariadi meyakinkan.

Hal ini senada diungkapkan Tri Yunis. Meski merasa bahwa perubahan yang terjadi pada alam adalah sebuah keniscayaan, namun Tri Yunis menilai, tetap perlu ada yang memastikan keanekaragaman hayati terjaga. “Konsepnya, keseimbangan alam hayati memang harus ada yang menjaga begitu. Karena kalau tidak ada yang menjaga nanti kiamat cepat begitu,” kata Tri Yunis lugas.

“Karena begitu ada yang berubah, dan itu perubahan lingkungan besar maka mahkluk hidupnya akan berubah. Baik makhluk hidup kecil, mulai dari virus ataupun bakteri, itu pasti akan berubah. Jadi dari hayati dulu berubah, baru makhluk hidupnya berubah, lalu manusianya berubah,” dia menambahkan. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.