Pemerintah melonggarkan kebijakan PSBB. Sementara, ada permasalahan data yang seharusnya menjadi perhatian sebelum dan sumber informasi utama sebelum pengambilan keputusan dilakukan.

Oleh May Rahmadi

JAKARTA. Pemerintah Indonesia perlu memperbaiki pencatatan data yang terkait kasus Covid-19. Hal ini penting untuk dijadikan landasan dalam mengambil kebijakan penanganan pandemi virus Corona.

Kebijakan pemerintah sejauh ini dinilai tidak didasarkan pada data-data yang teruji secara ilmiah dan transparan.

Padahal, Perarturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, mensyaratkan perlunya bukti ilmiah untuk menilai keberhasilan pelaksanaan PSBB dalam menurunkan jumlah kasus baru, sebelum memutuskan pelonggaran.

Namun Kepala Gugus Tugas Penangan Covid-19 Doni Monardo baru saja mengumumkan bahwa pemerintah mengizinkan orang di bawah 45 tahun yang bekerja di sektor esensial untuk beraktivitas seperti biasa. Dalihnya, untuk menghindari penambahan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Sektor esensial yang dimaksud pemerintah adalah kesehatan, pangan, energi, komunikasi dan teknologi, logistic, perhotelan, konstruksi, industri, pelayanan dasar obyek vital, serta kebutuhan sehari-hari.

Sementara, data menunjukkan kasus Covid-19 di Indonesia belum bisa dianggap ringan. Hal ini pun menimbulkan kekhawatiran publik. Banyak pihak menilai, kebijakan itu bakal meningkatkan risiko keselamatan masyarakat.

Menurut Doktor Epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman, pemerintah seharusnya mengevaluasi PSBB untuk kemudian mengambil kebijakan lanjutan berdasarkan data valid. Terutama angka reproduksi kasus (Ro) sebelum dan sesudah intervensi.

“Intervensi dianggap berhasil jika nilai Ro semakin menurun setelah intervensi hingga mendekati nol, yang artinya tidak lagi terjadi penularan,” katanya Dicky melalui keterangan pers, Senin (11/5).

Ro adalah angka reproduksi kasus yang mengindikasikan kasus baru yang muncul akibat tertular dari satu orang yang positif terinfeksi di sebuah populasi.

Koalisi Warga untuk LaporCovid19, sebuah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19, melakukan kajian data yang dikumpulkan dari pemerintah dan laporan warga. Hasil kajian itu menemukan adanya kendala membangun dasar data Covid-19 yang baik.

Perwakilan Koalisi, Irma Hidayana menjelaskan, kendala tersebut antara lain terjadinya sumbatan (bottleneck) dalam pemeriksaan dan pelaporan hasil Covid-19 dan tidak lengkapnya data laporan kematian.

 

Terkait pemeriksaan dengan menggunakan tes molekuler (PCR), pemerintah belum mampu mencapai target 10 ribu tes per hari.

“Hingga saat ini, Indonesia masih memiliki kapasitas tes per populasi sangat rendah, bahkan termasuk paling rendah di Asia,” kata Irma.

Pada saat liputan ini diterbitkan, data worldometers memperlihatkan Indonesia baru melakukan pemeriksaan 604 orang per sejuta penduduk. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan Filipina yang sebanyak 1.658 orang per sejuta, Malaysia yang sudah memeriksa 8.395 orang per sejuta, atau Korea Selatan sebanyak 13.281 orang per sejuta.

Data yang dianalisis peneliti Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, menunjukkan orang yang diperiksa dengan pemeriksaan molekuler rata-rata masih di bawah 5.000 orang per hari. Padahal, pemeriksaan ini merupakan kunci penting untuk penanganan selanjutnya, utamanya dalam penapisan atau memisahkan yang sakit dari yang sehat sehingga tidak memicu penularan baru.

“Selain itu, pemeriksaan yang cepat dan akurat juga akan mempercepat penanganan pasien,” kata Iqbal.

Selain rendahnya tes PCR, kendala pada data disebabkan pula oleh faktor lamanya proses. Prosedur pemeriksaan di Indonesia, hingga keluarnya hasil tes masih sangat lama. Kondisi ini menyebabkan kurvae pidemiologi di Indonesia yang didasarkan pada pelaporan kasus harian oleh pemerinah akan menghadapi masalah akurasi dan keterlambatan.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Epidemiolog Universitas Padjajaran Bandung, Pandji Fortuna Hadisoemarto, waktu rata-rata pengambilan sampel hingga keluar hasil tes dilaporkan mencapai 7-10 hari di Jakarta dan Jawa Barat.

Sementara itu data yang diperoleh Laporcovid19, ada kasus di Jember, dimana pengambilan sampel hingga keluarnya hasil tes memakan waktu 17 hari.

“Selain itu, sulitnya mendapat pemeriksaan juga masih dilaporkan masyarakat yang sudah memiliki gejala,” kata Panji. “Kita harus mendorong sistem agar delay-nya berkurang.”

Kematian ODP dan PDP tak diumumkan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memutakhirkan panduan penghitungan korban meninggal akibat Covid-19 pada 11 April 2020.

Dalam panduan tersebut, mereka yang dinyatakan meninggal sebagai korban Covid-19 adalah mereka yang sakit dengan gejala atau diduga mengidap Covid-19, hingga mereka yang tidak terbukti penyebab kematiannya tidak terkait Covid-19.

Namun, pemerintah hanya mengumumkan korban Covid-19 di Indonesia hanya yang sudah terkonfirmasi dari tes molekuler.

Karena itu, perwakilan Koalisi Warga untuk LaporCovid19 menilai, data kematian di Indonesia bisa dianggap sebagai underreported.

Menurut Irma, keterbatasan dan keterlambatan tes telah menyebabkan banyak orang yang meninggal sebelum diperiksa atau sebelum keluar hasil tes molekulernya.

Data yang dikumpulkannya dari tujuh provinsi menunjukkan jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal, lebih banyak dibandingkan yang meninggal dengan status terkonfirmasi positif Covid-19.

Tujuh provinsi itu adalah Banten, DIY, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

“Angka kematian yang disampaikan pemerintah itu mungkin tidak mencerminkan kematian yang sesungguhnya. Anjuran WHO itu mesti mencatat semua kematian yang diduga meninggal karena Covid-19,” jelas Irma.

Menurut Iqbal, pemerintah perlu segera memperbaiki dan menyelesaikan masalah terkait data Covid-19. Dia mengatakan, pengambilan kebijakan sudah sepatutnya mengacu pada data yang benar, kurva yang benar, dan cara baca yang benar.

Selain memperbaiki sistem pendataan, dia juga meminta pemerintah membuat sistem penyediaan data yang terintegrasi dengan data daerah secara real-time.

Iqbal melanjutkan, dengan teknologi yang dimiliki pemerintah, semestinya data real-time bisa disediakan.

“Badan Pusat Statistik saja bisa bikin sensus online,” kata Iqbal. “Kalau BPS bisa bikin sistem itu, harusnya untuk Covid-19 juga bisa menggunakan sistem itu.”

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.