Melanjuti liputan tentang eksploitasi hutan Pulau Siberut, Febrianti melihat lebih dalam dampak pengalihan fungsi hutan terhadap sumber pendapatan petani yang bergantung pada pinang, cengkeh dan kelapa, serta makanan pokok dan karbohidrat masyarakat Siberut.

Cuaca cerah di awal April membuat warga Desa Saibi Samukop, Siberut Tengah Kepulauan Mentawai bergegas ke ladang mereka untuk memetik cengkeh yang sedang berbunga di atas bukit. Panen cengkeh telah tiba. 

Di bawah cahaya matahari pagi, jalan-jalan di Saibi dipenuhi bunga cengkeh yang dijemur di atas tikar plastik yang dibentangkan. Harga cengkeh sedang bagus, Rp 80 ribu per kilogram untuk cengkeh kering. Hampir setiap rumah menjemur cengkeh di halaman.

Mereka juga siap menunggu pedagang dari Padang yang datang membeli cengkeh. Setiap keluarga seakan berlomba meraup rupiah dari panen raya cengkeh. 

Selain cengkeh, komoditi lainnya yang banyak ditanam warga Saibi adalah pinang, setelah tanaman coklat tidak lagi banyak menghasilkan. Satu keluarga bisa punya satu hingga dua hektar kebun pinang, Satu hektar rata-rata ditanami 100 batang pinang.

“Dari kebun pinang satu hektar ini kalau panen bisa menghasilkan Rp 600 ribu-Rp 700 ribu rupiah per 10 hari, sebulan panen tiga kali, jadi sekitar 1,8 juta-2,1 juta,” kata Natalis Satoko (39 tahun) salah satu warga Saibi yang berkebun pinang. Ia memperkirakan sekitar 500 keluarga di Saibi berladang pinang.

Ia mengatakan dari hasil kebun, pinang, cengkeh, dan kelapa yang dijadikan kopra, warga Saibi mendapat uang untuk kebutuhan hidup, menabung dan membiayai sekolah anak-anaknya.

Sayangnya ladang warga di Desa Saibi Samukop banyak yang masuk ke dalam kawasan konsesi hutan tanaman industri PT Biomass Andalan Energi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 24 Desember 2018 lalu mengeluarkan izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) untuk PT Biomass Andalan Energi seluas 19.876,59 hektar.

Areal ini termasuk sebagian areal kebun cengkeh dan kebun pinang warga di Desa Saibi Samukop, satu dari 5 desa yang terdampak pembukaan hutan tanaman industri.

Saya tidak habis mengerti, apa yang terjadi, ini sumber hidup masyarakat, tanah kami, HTI ini akan membatasi ruang hidup masyarakat.

Natalis Satoko, Desa Saibi

Ia akan menolak jika tanamannya diganti rugi. “Kalau ganti untung saja saya masih rugi, apalagi ganti rugi,” katanya.

Rustam Saguruk (60) tahun petani pinang lainnya juga kebingungan dengan rencana masuknya hutan tanaman industri di ladangnya di Bat Simanipah, Saibi Samukop. Ia baru saja menanam 100 batang bibit pinang untuk ladangnya. Sebelumnya ia juga sudah punya kebun pinang yang sudah dipanen satu kali.

Selain pinang, Rustam juga menanam tanaman lainnya seperti keladi, pisang, untuk kebutuhan sehari-hari. 

“Kalau saya sudah mengolah  ladang saya sejak dulu, apa tanaman ini juga akan diangkat perusahaan, saya tidak punya ladang lagi yang lainnya, bagaimana hidup saya,” kataya. 

Di sebelah kebun pinangnya  masih ada tanahnya yang dibiarkan rimbun oleh banyak pohon yang ia perlukan untuk kebutuhan kayu, membuat rumah atau perahu. Di belakangnya arah ke sungai tumbuh ratusan batang pohon sagu yang subur.

“Itu sagu punya banyak orang, tumbuh sendiri,” katanya. 

Menjaga sumber makanan pokok

Sagu adalah makanan pokok di Siberut yang sangat penting. Pohon sagu banyak tumbuh subur di rawa-rawa. Tanpa ditanam, tanaman ini bisa berbiak sendiri melalui tunasnya yang memenuhi rawa dan tak ada habisnya.

Tetapi karena pentingnya sagu bagi orang Mentawai, mereka mewajibkan setiap keluarga baru menanam beberapa batang tunas sagu di tempat yang sudah banyak dipanen untuk jaminan hidup bagi anaknya kelak.

Sagu di Siberut juga tumbuh besar dan tinggi. Bisa mencapai 15 meter hanya dalam 8 tahun. Zat-zat makanan yang terbawa aliran tanah yang terus-menerus turun dari bukit-bukit berhutan di sekitarnya memenuhi rawa-rawa dan menjadikannya sumber kesuburan yang tak habis. Dari sebatang sagu sepanjang 15 meter bisa menyediakan makanan selama tiga bulan untuk satu keluarga.

Tepung sagu juga sangat banyak mengandung hidrat arang, 50 persen hidrat arang dan menyediakan 241 kalori per 100 gram. Sagu menjadi sumber protein, meskipun hanya 1,5 persen.

Dari sebatang sagu yang ditebang dan dipotong-potong, satu potongan yang paling muda digunakan untuk membuat batra atau ulat sagu. Batang sagu dibelah, satu sisi batang sagu dibiarkan terbuka dan diganjalkan sebilah kayu agar tawon besar (Rynchoporus ferrungineus) bertelur di celah batang yang mengandung sagu yang perlahan-lahan meragi. 

Selama 7-12 minggu di dalam batang sagu itu sudah berkembang ulat-ulat sagu berwarna putih sebesar jari sepanjang 3-4 cm. Ini sumber protein yang penting dan amat disukai di Siberut.

Untuk makanan pokok, tepung sagu diolah secara sederhana. Tepung sagu diolah menjadi makanan seperti obug atau kapurut. Di Saibi sagu lebih banyak disajikan untuk sarapan pagi hari, juga makanan tambahan siang dan malam  bersamaan dengan nasi dan lauk-pauk lainnya.

Ladang sagu juga akan terdesak hutan tanaman industri karena berada dalam areal konsesi.

HTI itu masuk ke wilayah yang banyak tanaman sagunya  yang menjadi makanan pokok orang Mentawai, padahal sagu itu lumbung ketahanan pangan orang Mentawai dan tidak pernah gagal panen seperti padi. Ladang sagu juga untuk mas kawin dan sangat penting dalam budaya di Mentawai.

Indra Gunawan Sanenek, Yayasan Citra Mandiri Mentawai

Ia mengatakan selain sagu juga ada ladang pisang dan keladi,  kebun cengkeh dan coklat, serta pohon-pohon durian, nangka, duku yang tumbuh di dalam hutan. Belum lagi pohon untuk pembuatan rumah dan sampan, juga tanaman obat yang yang digunakan sikerei (tabib) untuk menyembuhkan. Semua itu sebagian besar berada dalam rencana pencadangan areal HTI.

“Tanah bagi orang Mentawai itu penting, itu harga diri, kalau tidak memiliki tanah berarti tidak memiliki uma (klan – Redaksi), dan tidak punya sejarah keturunan,  tandanya bukan orang Mentawai,” kata Gugun Sanene.

Liputan ini di danai program fellowship yang dilaksanakan atas kerjasama antara Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Conservation International Indonesia dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

About the writer

Febrianti

Febrianti is a journalist who lives in Padang, West Sumatra. Currently, Febrianti is a contributor for Tempo in West Sumatra and the Editor-in-Chief of an online environmental and travel site, Jurnalistravel.Com....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.