Posted in

SI LAZYBONE ITU RAIH RAMON MAGSAYSAY AWARD

thumbnailBerhasil mengembangkan kewirausahaan sosial dan menyebarkan kemandirian, aktivis Yayasan Telapak Indonesia Abrosius Ruwindrijarto meraih Ramon Magsaysay Award tahun 2012. Diakui sejajar pencapaian Gus Dur, Pramoedya, dan Dalai Lama.

SIEJ-Bogor. Senang, merasa luar biasa, sekaligus tidak merasa pantas, itu yang dirasakan Ambrosius Ruwindrijarto yang biasanya dipanggil Ruwi, salah satu penerima Ramon Magsaysay Award tahun 2012.  Tentang Ruwi, panitia penghargaan dari Filipina itu dalam sambutannya menulis, ia dinilai memiliki kegigihan dalam melakukan advokasi pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas sertai inisiatif social enterprise yang melibatkan masyarakat hutan sebagai mitra penuh mereka. Pada 31 Agustus mendatang, Ruwi dijadwalkan menerima penghargaan yang sering dianalogikan sebagai nobelnya Asia itu, di PICC Plenary Hall, CCP Complex, Metro Manila.

“Ini adalah tantangan kedepan bagi saya dan teman-teman”, kata Ruwi kepada SIEJ (27/7), tentang tanggapannya menerima penghargaan ini. Ia mengaku yang tidak tahu menahu seleksi maupun proses pemilihannya, karena itu ia kaget dan tak menyangka penghargaan setinggi itu diberikan kepadanya.

Keterlibatan Ruwi dalam aktivitas lingkungan hidup, dimulai ketika ia masuk sebagai anggota Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (Lawalata-IPB) tahun 1989 bersamaan dengan diterimanya ia sebagai mahasiswa IPB jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan. Agak berbeda dengan kelompok pecinta alam lain, Lawalata fokus kepada konservasi alam, tetapi tetap melakukan pendakian gunung, arung jeram, penelusuran goa dan ketrampilan alam bebas lainnya, sebagai pendukung aktivitas mereka. Dari organisasi ini lahir beberapa aktivis lingkungan nasional seperti mantan Direktur Eksekutif Walhi Emmy Hafild, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan dan aktivis Greenpeace dan penggagas Mulung Ciliwung, Hapsoro.

“Lawalata menjadi inspirasi, organisasi mendidik, dan mimpi bagi saya dan teman-teman”, katanya. Tak lama selepas IPB, bersama lima rekan Lawalata-IPB lainnya, ia merintis Telapak Indonesia tahun 1996. Lembaga ini didirikan di sebuah kos mahasiswa di Jalan Cibanteng No.59 dekat kampus IPB Dramaga, Bogor, kemudian berpindah beberapa kali sebelum akhirnya bermarkas di Kompleks Perumahan Yasmin, Bogor.

Ruwi, yang ketika lulus IPB mengaku cuma bisa meraih indeks prestasi sekedarnya, meyakinkan dirinya untuk nyemplung saja mengembangkan Telapak dibandingkan sibuk cari kerja lain.

Mulanya, Telapak tak punya kegiatan fokus, maklum organisasi ini didirikan untuk tetap merekatkan pertemanan selepas kuliah.  Beberapa tahun kemudian mereka berhasil mengajak Environmental Investigation Agency (EIA), LSM lingkungan asal Inggris untuk menginvestigasi pembalakan liar di kalimantan Tengah.  Gara-gara proyek ini pula, Ruwi pernah mengalami kekerasan fisik dan diancam bunuh oleh preman yang diduga disewa bos pembalak liar di Taman Nasional Tanjung Puting. Ketika itu terjadi, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta campur tangan mengeluarkan Ruwi dan seorang rekannya berkebangsaan Inggris dari Kalimantan. Hasil investigasi Telapak di Kalimantan Tengah dan belakangan di Papua, boleh dianggap batu penjuru organisasi ini untuk mendunia.

Tahun 2006 Telapak memutuskan menggeser fokus kegiatannya, dengan mengembangkan kemandirian petani dan nelayan lewat kewirausahaa sosial. Sebagai salah satu arsitek jalan baru Telapak ini, Ruwi rela tinggal bersama masyarakat nelayan di Singaraja untuk mengembangkan kelembagaan dan meningkatkan kapasitas untuk menjadi eksportir ikan karang. Hasilnya, bukan cuma berhasil mendampingi nelayan tetapi juga membuka pasar ikan karang di Eropa, Amerika dan Australia. Tahun 1999 sampai 2002, Ruwi diangkat sebagai direktur eksekutif Telapak Indonesia.

Telapak berkembang sebagai organisasi non pemerintah berbasis anggota individual yang kuat. Mereka juga terus mengembangkan PT Poros Nusantara sebagai sayap bisnisnya. Tahun 2011 lewat sayap inilah, mereka berhasil mengekspor ikan karang dari Singaraja, Bali, ke Amerika Serikat, Australia dan berbagai negara di Eropa, ekspor kumis kucing ke Perancis, mengembangan bisnis Kedai Telapak dan percetakan di bogor.

Prestasi fenomenal lainnya ketika tahun 2003, Telapak bersama masyarakat dan LSM lain mendirikan Koperasi Hutan Jaya Lestari di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara untuk mengelola hutan jati. Koperasi itu akhirnya berhasil mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan berkelanjutan dari Forest Stewardship Council (FSC). Sertifikat FSC ini adalah yang pertama di Asia Tenggara yang diberikan kepada kemitraan LSM dengan Masyarakat dalam pengelolaan hutan. Sukses menata hutan, Telapak juga mengembangkan divisi multi media dan beberapa situs berita lokal.

Tahun 2008 Ruwi dan anggota Telapak lainnya, Silverius Oscar Unggul atau biasa dipanggil Onte, mendapatkan penghargaaan Social Entreprenuer of The Year Award dari lembaga konsultan bisnis prestisius Ernst & Young. Duet mereka kembali berjaya tahun 2010 ketika Skoll Foundation mengundangnya ke Oxford, Inggris untuk diganjar Skoll Award, sebagai penghargaan untuk usaha mereka menggalakkan kewirausahaan sosial.

Ramon Magsaysay Award  yang diraih Ruwi adalah penghargaan yang mendapatkan nama dari mantan Presiden Filipina Ramon Del Feierro Magsaysay, yang dikenal sederhana dan dekat dengan masyarakat miskin. Malang tak dapat ditolak, ia tewas dalam kecelakaan pesawat terbang pada 17 Maret 1957. Untuk menghargai pengabdian Magsaysay,  dibentuklah panitia penghargaan ini tahun 1957 dan mukai diberikan setahun berikutnya untuk individu di kawasan Asia Timur, Tenggara, dan Selatan, dan untuk setiap orang yang tinggal di Asia.

Sampai tahun 2011, sebanyak 290 orang sudah menerimanya, dan apa yang telah diraih Ruwi kini sejajar dengan 21 penerima Ramon Magsaysay Award dari Indonesia. Tercatat tokoh-tokoh besar asal Indonesia pernah menerima hadiah ini, antara lain mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid, sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, tokoh Muhammadiyah Syafii Maarif, tokoh antikorupsi Teten Masduki, aktivis buruh Dita Indah Sari, jurnalis Mochtar Lubis, wirausahawan sosial Tri Mumpuni, dan lain-lain. Pemimpin spritual Tibet Dalai Lama teratat sebagai penerima termuda, pada usia 24 tahun.

Ketika pengumuman Ramon Magsaysay Award datang, Ruwi sedang fokus membangun kemandirian dan komunitas organisasi setempat dalam usaha dan pemanfaatan sumber daya alam dan non alam berkelanjutan di Jogjakarta.

Sekarang, meski deretan penghargaannya makin panjang, suami Cecilia Debbie dan ayah dari Lana Maringi Rejeki ini tetap dengan kesibukannya mendampingi masyarakat petani, nelayan, di berbagai hutan dan pesisir.  Di usianya yang 40 tahun ini, Ruwi mengaku tiap hari tetap santai dan tenang menyantap telur dadar kesukaannya, sembari bersantai dengan buku-buku sastra dan memanjakan telinganya dengan dendang Queen atau Ebiet G. Ade. Kadang-kadang khusyuk dengan laptop dan mengacuhkan hiruk pikuk dunia.

Salah satu koleganya di Telapak, Rita Mustikasari, mengatakan Ruwi sering menyebut dirinya sendiri lazybone, jenis orang yang sesungguhnya bukan pemalas, tetapi suka berkutat pada yang itu-itu saja tanpa ingin membuat perubahan-perubahan besar. Tetapi banyak orang melihat dengan cara lain, karena sekali bergerak, “si pemalas” ini rupanya berhasil mengguncangkan dunia. Meski itu dunia-dunia kecil, terpinggirkan, yang berserakan di sekitarnya.

Cita Ariani, IGG Maha Adi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.