Kabupaten Barito Selatan di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi proyek percontohan pertama Program Pengakuan dan Pembuktian Hak Pihak Ketiga atau PPH. Proyek ini diselenggarakan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang menggandeng Kementrian Kehutanan, BPN dan BIG (Baca: Menggenjot “Supersemar” Kehutanan di Akhir Kabinet.

Pada Februari 2014, tim sosialisasi bertemu warga dua desa, Talio dan Teluk Betung, di Barito Selatan. Langkah ini merupakan tindak lanjut kesepakatan yang diteken Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto dan Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang untuk menata perizinan perkebunan dan kehutanan serta percepatan program PPH di provinsi ini.

“Sejumlah warga Barito Selatan melapor ke kami tentang status hutan adat miliknya dan izin yang diberikan pemerintah kabupaten kepada perusahaan swasta,” kata Giorgio Budi, anggota tim sosialisasi dari UKP4 ketika berbicara dalam diskusi yang diadakan Yayasan Perspektif Baru di Jakarta, Rabu, 27 Agustus 2014.

Mekanisme PPH ini mengacu pada peta skala operasional 1:50.000 yang akan digunakan pada empat wilayah dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Mulai dari penunjukan, penataan batas hutan, pemetaan, hingga penetapan kawasan hutan. Tim memulainya di tingkat desa melalui tahap persiapan, sosialisasi, pemetaan, dan pengajuan klaim oleh masyarakat.

Tahap sosialisasi sudah dimulai di sejumlah daerah di Kabupaten Barito Selatan. Giorgio Budi menjelaskan, pihaknya telah mengkomunikasikan hasil di kabupaten ini kepada organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). “Kami gandeng organisasi ini supaya jelas dalam pemetaannya dan tidak ada kebocoran oleh pihak lain yang mengklaim tanah adat,” ujarnya.

Giorgio menjamin mekanisme PPH berpegang pada prinsip konsistensi, transparansi, serta partisipasi, dan hasilnya final. Sebagai upaya transparansi, katanya, dibentuk tim kecil tata batas terdiri atas 30 orang yang lima di antaranya disertakan masyarakat sipil yang memiliki perhatian soal kehutanan.

Direktur Pengukuhan, Penatagunaan, dan Tenurial Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan, Muhammad Said mengatakan Kementerian Kehutanan, yang memiliki kewenangan mengukuhkan satu kawasan hutan, berpegang pada Undang-Undang Agraria dalam hal pembuktian hak satu kawasan oleh masyarakat.

“Dalam undang-undang ini digunakan cara yang tegas untuk selesaikan masalah keabsahan suatu kawasan.” Bukti-bukti hak kepemilikan hutan adat, kata Said, tidak harus tertulis.

Kesaksian masyarakat dan pemuka adat terhadap satu kawasan hutan adat dapat jadi bukti. Said menjelaskan, pihaknya telah melakukan uji coba program PPH di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah ini dipilih karena tak banyak klaim dari masyarakat adat.

Direktur Eksekutif Epistema Institute, Myrna Safitri menjelaskan, PPH bukan sekadar urusan peta. “Ada juga dimensi keadilan untuk masyarakat,” katanya. Bagaimana pembangunan sosial dijalankan di masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Bagaimana modal sosial warga semakin kuat, ujarnya, sehingga tak dibajak penunggang gelap dari program ini. Di sinilah pentingnya peran media dan kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi program ini. Tim Ekuatorial

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.