Posted in

TATA BATAS HUTAN TAK JELAS, RIBUAN DESA KENA GETAHNYA

thumbnailGara-gara tata batas wilayah kehutanan di Indonesia yang belum juga jelas di peta nasional, ribuan desa tumpang tindih wilayahnya dengan kawasan hutan milik Kementerian Kehutanan (Kemhut).

Senggigi– Tata batas hukum kehutanan di Indonesia yang masih belum jelas membuat hanya 14 juta hektar hutan yang selesai dipetakan secara hukum atau hanya 10,5 persen dari total luas wilayah kehutanan nasional. Akibatnya, sekitar 19.240 desa di 32 provinsi di Indonesia mengalami konflik akibat tumpang tindih kawasan desa dengan wilayah kehutanan. Kemhut mengakui masalah ini dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030.

”Kawasan hutan yang belum ditatabatas seringkali menimbulkan konflik masyarakat setempat dengan pemerintah dan pihak lain yang mendapatkan hak dari pemerintah,” kata Hedar Laudjeng dari Dewan Kehutanan Nasional Bagian Masyarakat dalam Pembukaan Konferensi Internasional Tenurial Hutan, Tata Pemerintahan dan Tata Wirausaha Kehutahan (11/7), Senggigi, Lombok. Konferensi tersebut akan berlangsung hingga 15 Juli 2011.

Kawasan hutan yang belum ditatabatas membuat masalah saat pemerintah memberikan hak atau akses pengolaan wilayah tersebut ke pihak lain yang biasanya adalah swasta.Konflik muncul karena seringkali wilayah yang diberikan haknya ke pihak lain merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat atau bahkan hutan adat secara turun-temurun.

Ani Rohan Ketua Masyarakat Adat Dayak Kapuas Kalimantan Tengah mewakili salah satu masyarakat adat yang jadi korban tumpang tindih kawasan tersebut di Kapuas, Kalimantan Tengah.

”Semua orang yakin bahwa Hutan Nasional Kapuas baik adanya, tapi kami miris karena banyak hak-hak kami yang dirampas perusahaan sehingga apa yang dikatakan sebagai hutan adat itu hampir tidak ada,” kata Ani, yang hadir dalam konferensi ini sebagai peserta.

Hedar menyatakan tumpang tindih kawasan hukum ini sebenarnya dapat diatasi setelah amandemen UUD 1945 menambahkan satu bab khusus tentang hak asasi manusia. Demikian, semua perundangan harus menghormati hak asasi manusia termasuk hak masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan.

”Saat ini, hukum di Indonesia berada dalam masa transisi dari sistem hukum yang otoriter menuju sistem hukum yang populis. Kita berharap, akan lahir perundang-undangan di bidang kehutanan yang menghormati keberadaan masyarakat setempat,” kata Hedar.

Dewan Kehutanan Nasional saat ini menyusun Naskah Akademik Revisi UU No 5 tahun 1990 dan merekomendasikan revisi UU No 41 tahun 199 tentang kehutanan, agar hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat serta kepemilikan lahan mereka diakui secara legal.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.