Tiga puluh tahun lebih tergerus abrasi, kenaikan air laut menggiring garis pantainya pada tragedi.

Noda tinta membekas di saku rompinya. Tapi, sebelum keluar rumah untuk berkeliling, Lurah Bedono, Mualipin, tak pernah lupa mengenakan rompi bernoda itu, sebagai pelapis seragam dinasnya. Adanya rompi bukan tanpa makna. Di baliknya ada pesan yang bisa diserap.

Siang itu, kami berdiri di ujung jembatan rusak yang memutus akses Balai Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, dengan dua dusunnya di timur laut. Ketika itulah rompi bernoda menunjukkan fungsi. “Di mana harus tanda tangan?”

BEDONOPDF1

Mualipin berbicara dengan seseorang yang turun dari motor, yang lantas menyodori seberkas map transparan. Isinya, surat pengantar. Sejurus kemudian, lurah pesisir itu merogoh stempel bergagang merah dari kantong rompi. Tangan kanannya hati-hati melekatkan cap kelurahan, setelah telapak kiri mendudukkan sebaik mungkin lembar surat ke atas boncengan sepeda motor yang rata.

Voila! Dalam sekejap, tuntaslah administrasi yang dulunya hanya berlangsung di balai desa. Sepanjang siang pengujung Oktober itu, tiga kali saya menyaksikan adegan Mualipin dicegat di tengah jalan untuk urusan sejenis.

Ia jelas punya cara mempermulus alur birokrasi di Desa Bedono. Yakni dengan keliling memboyong stempel. Tapi, buat apa? Berikut kisahnya.

Wilayah Desa Bedono memiliki luas sekitar 552 hektare. Sebenarnya, dulu lebih dari 750 hektare. Namun, karena erosi menggeser bibir pantai sampai lebih dari 1 kilometer ke daratan, sepertiga kawasan itu sekarang dihapuskan dari pajak karena pijakannya ditenggelamkan air laut.

“Termasuk jalan sejajar pantai dari Dusun Morosari (lokasi balai desa) sampai Dusun Timbulsloko. Jalan itu habis terbelah sepanjang 2 kilometer oleh rob,” urai Sekretaris Desa Bedono, Aslor.

BEDONOPDF2

Pak Carik, demikian ia akrab disapa, pada hari lain membonceng saya untuk menelusuri sisa jalan beton di Dusun Morosari yang ditinggikan sekitar 2 meter. Ia mematikan mesin motor tepat di pinggiran jembatan putus.

Saya tertegun beberapa detik menatap derasnya aliran air payau ke celah yang disebut Pak Carik, jembatan. Jembatan itu kini ibarat tanggul sungai yang jebol.

Jalan sejajar pantai ini dulunya memang tanggul. Dibangun memanjang. Ini adalah akses pintas yang hanya memakan waktu 10 menit bagi warga Dusun Mondoliko dan Dusun Bedono ke jalur pantura Jawa melewati balai desa. Tanggul ini juga berfungsi sebagai penghalau air asin supaya tidak menyebar ke petak-petak sawah di belakangnya.

Tapi, tanggul itu akhirnya hancur didera gelombang. Konstruksinya terlalu kerdil untuk mengalahkan gulungan air laut dan laju kenaikan permukaan air di pantura Jawa. Saat genangan di tanggul belum sehebat sekarang, anak-anak usia SD harus digendong orang tua mereka untuk berangkat sekolah.

Sekarang, genangan permanen pada beberapa titik sudah setinggi 1 meter saat surut. Warga Dusun Mondoliko dan Dusun Bedono yang sehari-hari melintas pun kehilangan jalan pintas. Sementara anak-anak pindah sekolah ke desa lain. “Repotnya kalau warga sana mau surat-menyurat ke balai desa. Mereka muter 3 kilometer sampai jalan raya pantura, lalu menempuh 7 kilometer lagi ke sini,” kata Pak Carik.

BEDONOPDF3

Setiap jengkal sawah yang sudah diubah menjadi tambak juga tidak selamat. Semua tanggul tambak tenggelam, bandeng yang dibudidayakan juga habis. Beberapa mulai memasang waring untuk mengakali situasi. Persoalan pun berpindah pada perawatan. Sebab, jaring hitam yang membatasi ikan keluar dari tambak itu wajib dikontrol seharian. “Jaring nyilak sedikit, ikannya hilang. Kalau dimakan kepiting, jaringnya juga bolong,” kata Pak Carik, mengerutkan dahi.

Kini, jumlah tambak yang hilang di Desa Bedono, walau pajaknya belum dihapuskan, banyak sekali. Menurut catatan Pak Carik, lebih dari separuh luas kawasan itu yang dulunya sawah sudah menjadi tambak. Luas permukiman bahkan 50-75 hektare saja. “Total, ada 300-an hektare tambak yang sekarang jadi laut. Di timur memang ada tambak rusak yang dikasih waring, tapi kondisinya tidak terawat. Tambak bagus tidak ada, wong rumah saja tenggelam semua.”

Senik dan Tambaksari Karam

SELEWAT siang, langit Bedono bertabur burung kuntul. Burung-burung air itu menukik ke atas koloni bakau yang condong ke laut. Ketika pertama kali melihatnya, saya bergegas membidik dengan kamera. Saat itulah Pak Carik bergumam bahwa tempat pendaratan kuntul yang saya pelototi dulunya adalah Dusun Senik.

Senik tenggelam pada 2007. Menyusul tenggelamnya Dusun Tambaksari antara 1999-2000. Dua dusun yang lebur dengan laut, dari total tujuh dusun yang dimiliki Bedono, merelokasi warga ke desa lain, masih di kecamatan yang sama.

Hingga tahun ini, masih ada lima kepala keluarga dari total 67 kepala keluarga yang bertahan menghuni Dusun Tambaksari. Sementara tujuh kepala keluarga dari total 208 kepala keluarga yang bersikeras menetap di Dusun Senik kini tinggal dalam rumah panggung yang dibangun Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Untuk mencapai Senik, kami berperahu ke luar muara Kali Sayung. Melintas di antara kuntul-kuntul yang berpanas ria, mematuki permukaan air dan setelah beberapa kali mencoba akhirnya paruh mereka berhasil mencomot ikan kecil.

Saya juga melihat paralon-paralon menancap di lautan. Puing dari struktur pemecah gelombang yang rontok. Sementara di timur laut, makam keramat milik Mbah Mudzakir seperti terapung di tengah laut.

Perahu menikung di depan makam, menjauh dari laut, lantas menerobos ke kerapatan bakau. Kami tersesat. Di rimba bakau itu, badan perahu bergelut dengan akar-akar yang malang melintang. Jalur sulit ini baru terurai setelah perahu beberapa kali berputar.

Akhirnya perahu tiba di bekas sungai dan jalan beton Dusun Senik. Tiang-tiang listrik berdiri miring di tengah genangan. Perahu pun menghanyut ke tengah sisa permukiman yang lebih mirip reruntuhan Romawi. Di dusun yang tenggelam ini, kami bertemu Maulani, 45.

BEDONOPDF4

Bermukim ala Bedono

“PAK Lurah, mohon izin. Saya mau kerja sunatan, jadi ingin bendung jembatan,” ungkap Maulani. Buruh serabutan berpenghasilan Rp20 ribu per hari itu menyambut kedatangan Mualipin. Sementara beberapa pasang mata mengintai kami dari balik ventilasi.

“Rumah gaya apa ini?” saya bertanya. Yang menyahut adalah Pasijah, 40, istri Maulani. Kepalanya melongok keluar pintu. Pipinya tirus. “Ya, beginilah!” katanya, tertawa. Pasijah dan dua anaknya sepanjang siang duduk dalam gelap di atas semacam fondasi panggung, separuh tinggi rumah. Sementara Maulani hari itu tampak sibuk menggaruk kepala, memikirkan cara membendung jembatan jebol di muka rumahnya.

Keduanya telah menyebar undangan kepada famili sekitar kabupaten. Putra mereka Khoirun, 12, akan disunat. Berbarengan dengan itu, putra pertamanya, Ikhwanudin, 22, yang bekerja sebagai nelayan, akan menikah.

Dalam bayangan Maulani, jika ia membendung jembatan putus dengan bambu, paling tidak tamu bisa menyeberang ke rumah. Keluarga ini satu dari tujuh keluarga di Desa Senik yang tidak ikut relokasi. Karena asetnya tenggelam, lurah sudah membebaskan beban pajak mereka.

Dulu, Maulani adalah petani palawija yang cukup makmur. Ia punya lahan sawah yang luasnya mencapai 3 hektare. Pria ini lahir di Senik dan sudah menempati rumah tersebut 25 tahun lamanya.

Soal ancaman air laut yang terus bertambah tinggi, ia sadar betul. “Lima tahun terparah! Sawah sama sekali tidak bisa ditanami,” katanya, dalam dialek Jawa yang encer. Sekarang dia mau jadi nelayan saja. Seandainya air laut terus bertambah tinggi, “Mboten nopo-nopo. Mboten, mriki mawon. Pokoke koyo Kalimantanlah. (Tidak soal. Saya di sini saja. Bertahan dengan gaya Kalimantan–hidup terapung seperti di rumah lanting).”

Maulani tidak sendiri. Selama seminggu menyusuri Bedono, saya bertemu keluarga lain yang juga jungkir balik dalam kemiskinan di perkampungan yang telah tenggelam.

Tepat di ujung Dusun Bedono, 2 kilometer dari Dusun Senik, keesokan hari kami bertemu Kasmadi. Alasan ia terperangkap ialah tak ada uang untuk memindahkan tiang-tiang rumah ke lokasi baru.

Empat tahun terakhir, lelaki 65 tahun itu sudah tidak bisa menggarap tambak yang telah berubah jadi lautan. Untuk sambungan hidup, ia mengandalkan kiriman uang dari anaknya, seorang buruh konstruksi yang bekerja di Jakarta. Kasmadi tidak sepandai Maulani dalam hal mengubah kultur hidup dari bertani menjadi masyarakat perairan. Bahkan istrinya, Sukati, 50, tak tahu caranya berenang.

Pukul 03.00 air laut mulai naik. Untuk mengatasinya, sejak 30 tahun lalu dia mempreteli konstruksi rumah bambu dan menaikkannya ke urukan baru. Sudah tiga kali ini dilakukan, paling murah aktivitas itu butuh dana setengah juta rupiah. Dari pengangkatan terakhir, pada 2000, rumahnya sudah berada di atas tanggul irigasi lama, terkamuflase oleh tumbuhan bakau dan terkepung sempurna oleh lautan. Yang tersisa, jalan setapak sempit yang tersambung dengan kawasan permukiman Dusun Bedono.

“Baru kemarin, lesus (angin ribut) menerbangkan seluruh genteng rumah,” tuturnya. Menurut Kasmadi, angin laut yang besar itu sering bertamu beberapa bulan terakhir. “Saya buru-buru lari. Takut kejatuhan genting,” katanya, menggigil mengingat pengalaman itu.

Ia tidak bisa minta tolong tetangga sebab memang tidak ada tetangga. Tidakkah ia kapok? Ya, sangat. Kalau punya uang, Kasmadi bersumpah tidak mau lagi tinggal dekat laut. “Kalau gelombang datang, saya sudah takut sekarang. Tambak garapan saya seluas 4,5 hektare habis dilalap air laut.” Ia sudah ancang-ancang agar keluarganya selamat. Seorang anak perempuannya sudah dititipkan ke rumah saudara.

Aslinya, lelaki yang mengenyam pendidikan dasar di zaman kolonial Belanda hingga zaman penjajahan Jepang ini berasal dari Kota Demak. Ia tergoda akan kemakmuran Bedono karena selama dekade 1970-an kawasan itu menjadi daerah pertanian terbaik, yang berlimpah beras dan palawija. Ketika itu, kemakmuran tanah agraris Jawa masih melekat di kawasan pantai utara Jawa ini.

Sepikiran dengan kakak dan adiknya, Kasmadi memilih jadi petani. Lebih tepatnya, petani tambak bandeng Desa Bedono. “Saking senangnya, kepincut, karena dulu daerah ini makmur bukan main,” katanya, tersenyum memamerkan sisa gigi di gusi tuanya. Ia tidak terpikir sama sekali bakal mengalami kesulitan pangan di hari tuanya.

Sejenak, konsentrasi Kasmadi terpecah. Mendadak, ia mengaku teringat juragan Haji Ali. Bagaimana nasib anak-anaknya sekarang? Dikisahkannya, Haji Ali sebelum meninggal ialah penguasa tambak bandeng paling kaya di wilayah tersebut. Lebih dari 20 hektare kawasan ia kuasai. Namun, baru generasi kedua seluruh hartanya habis. Hamparan tambaknya habis ditenggelamkan lautan. Tidak ada warisan yang bisa dinikmati anak-anaknya.

Erosi dan Perubahan Iklim

Air laut mengeliminasi semua di Bedono. Tetapi, masyarakat sudah terbiasa. Direktur Pesisir dan Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono, sejak singgah di kawasan tersebut, tujuh tahun lalu, sudah bisa meramal datangnya bencana itu. Ia mengatakan kenaikan permukaan air laut akibat meningkatnya suhu global mencapai 1 milimeter per tahun pada dekade ini.

Di Indonesia, lebih khusus lagi Semarang yang secara geologis menyatu dengan Bedono, menurut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional pada 2002, kenaikan muka air laut relatif mencapai 9,27 milimeter per tahun. Relatif, karena kenaikan tersebut selain disebabkan perubahan iklim, juga tumpang tindih dengan problem lain. Di antaranya abrasi dan penurunan tanah akibat pemampatan tanah yang masih labil.

Soal abrasi yang memukul, biang persoalannya adalah area erosi seluas 547,49 hektare di batas Semarang-Demak (lihat grafik). Ini akibat terganggunya keseimbangan transportasi sedimen sejajar pantai atau longshore sediment transport. “Pemicunya reklamasi Pelabuhan Tanjung Mas di Kota Semarang, yang dilakukan tanpa memperhatikan Bedono.”

Bangunan yang menjorok ke laut tersebut telah mengurangi, bahkan menghentikan suplai sedimen bagi pembentukan pantai Bedono dalam siklus dinamisnya. Sebuah analisis risiko pantai Jawa Tengah, disusun peneliti yang tengah diperbantukan untuk KKP tahun lalu itu, memperlihatkan skenario ancaman kepunahan ekosistem buat Bedono. Dengan memakai variabel geomorfologi, erosi, kemiringan pantai, rata-rata tinggi gelombang, dan kisaran pasang surut, resiko tenggelamnya Desa Bedono tertinggi di Jawa Tengah (lihat grafik). “Bahkan tertinggi di seluruh Pantura Jawa,” tegasnya.

Dengan ancaman perubahan iklim saat ini, dampak yang diterima Bedono akan lebih masif. Suhu rata-rata bulanan kawasan ini kenaikannya sekitar 1,4 derajat per 100 tahun. “Kalau suhu panas, terjadi transfer panas dari udara ke air laut. Aliran yang hangat ini berasosiasi dengan ketinggian air laut akibat pemuaian.”

Solusi permanen buat Bedono ialah sabuk mangrove. Sementara solusi utama, menurut Subandono, yaitu membenahi tata ruang dengan menghitung kerentanan terhadap perubahan iklim.

Tata ruang semacam ini masih langka di Indonesia. Meski termasuk negara kepulauan yang paling terdampak oleh kenaikan muka air laut akibat pemanasan global, negara ini masih ketinggalan jauh dalam hal peta kerawanan bencana.

Sejauh apakah sensitivitas pemerintah terhadap keterpurukan sosial ini? Di Kota Semarang, saya bertemu Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Soal Bedono dan lingkaran dampak kenaikan muka air lautnya, ia kepala daerah yang minim solusi. “Kalau sudah begitu jangan tanya sama saya. Masalahnya dari laut, mau magari laut pakai ilmu apa,” jawabnya, dengan nada menyalahkan takdir. Padahal, setengah jam sebelumnya, dia berpanjang lebar mengurai betapa Jawa Tengah sepatutnya menggenjot produktivitas pertanian dan tambak mereka.

Soal Bedono yang terpaksa berkubang, hanya solusi dari naluri primitif yang ia tawarkan. “Tunggu sampai surut, tidak ada masalah.” Bibit menolak mengandai-andai hal yang susah untuk direncanakan. Begitulah, politik telah membuat kehidupan Bedono berubah.

Siapkah Jawa Tengah dengan perubahan iklim? “Ya siap, wong itu kehendak Yang Maha Kuasa. Teknisnya kita memperbaiki irigasi, membuat waduk, kita menyiapkan bibit unggul, kita menyiapkan pupuk. Tapi kalau persoalan kenaikan muka air laut, wah itu jangan tanya sama saya. Tanya sama Tuhan Yang Mahakuasa.” CLARA RONDONUWU

Screen Shot 2014-01-25 at 9.26.21 PM

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.