Hutan gambut Rawa Tripa, Aceh, salah satu ”harta karun” provinsi itu, di ambang kehancuran. Penyidik gabungan dari Jakarta terus menelisik pelanggaran-pelanggaran yang berujung pada perusakan hutan itu.

Di tengah hamparan batang dan ranting pohon yang telah menjadi arang, Basuki Wasis kembali meminta salah satu anggota stafnya menancapkan pipa. Bless, pipa pertama sepanjang satu meter ambles. Pipa kedua dan pipa ketiga, yang dipasang secara bersambung, juga melesak tanpa hambatan. Tinggal pipa keempat yang tertahan, menyisakan 40 sentimeter di atas permukaan tanah.

Setelah mengambil sampel tanah pada mata bor, Basuki membuat catatan di buku sakunya: ketebalan gambut di bekas hutan rawa itu sekitar 3,6 meter. ”Ini bukti pelanggaran larangan menanam di lahan gambut,” ujar peneliti dari Laboratorium Pengaruh Hutan Bagian Ekologi Hutan Institut Pertanian Bogor itu kepada Tempo, yang ikut dalam pengeboran, Kamis dua pekan lalu.

Hari itu Basuki dan kawan-kawan mengebor enam titik di lahan gambut di Desa Aloe Bateung Bruek, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Di lahan yang kini dikuasai PT Kallista Alam itu, mereka juga mengambil sampel pohon yang terbakar, arang, dan abu. ”Untuk bukti menuntut Kallista di pengadilan,” kata Bayu Hardjanto, penyidik dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Ini untuk kesekian kalinya tim penyidik dari Jakarta ”terbang” ke Rawa Tripa. Pada kedatangan pertama, 4 Mei lalu, tim penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung pun turut bergabung. Setelah media nasional dan internasional gencar memberitakan penghancuran ribuan hektare hutan gambut Rawa Tripa, tim penyidik gabungan dari Jakarta bolak-balik ke sana. Mereka bekerja langsung di bawah pantauan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Hutan gambut Rawa Tripa kini di ambang kehancuran. Pada awal 1980-an, hutan gambut di sisi barat daya pantai Aceh itu luasnya tak kurang dari 62 ribu hektare. Sekarang luasnya tak lebih dari 17 ribu hektare. Itu pun terus tergerus. Soalnya, sejumlah perusahaan tak henti-henti membakar hutan itu untuk disulap menjadi kebun sawit.

Irwandi Yusuf.

Saat lahan gambut Rawa Tripa kian merana, pada 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf malah menerbitkan izin usaha perkebunan seluas 1.605 hektare untuk PT Kallista Alam. PT Kallista merupakan salah satu perusahaan yang paling aktif menggarap kawasan Rawa Tripa setelah Aceh memasuki masa damai pada 2005.

Padahal, beberapa bulan sebelum Irwandi meneken izin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011, yang kemudian dikenal sebagai ”Inpres Moratorium”. Lewat instruksi tertanggal 20 Mei 2011 itu, Presiden meminta semua menteri dan lembaga terkait menghentikan sementara pemberian izin pembukaan lahan hutan gambut.

Nah, menurut Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto, kawasan gambut Rawa Tripa pun telah dimasukkan kembali ke peta moratorium. ”Status Rawa Tripa sudah ditetapkan tidak bisa dikonversi,” kata Kuntoro, yang juga mantan Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias.

Langkah Irwandi menerabas moratorium membuat heran banyak kalangan. Soalnya, sebelumnya dia dikenal sebagai sosok ”hijau” alias prolingkungan. Pada 2010, misalnya, Irwandi pernah mendapat penghargaan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup karena dedikasinya terhadap pelestarian lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjuk kasus Rawa Tripa sebagai potret yang mewakili berbagai kasus perusakan hutan di Indonesia. ”Ada kolusi pejabat dan pengusaha untuk mengklaim lahan masyarakat dan mengabaikan dampak lingkungan,” kata Direktur Walhi Aceh T.M. Zulfikar.

Pada 23 November 2011, Walhi menggugat izin usaha perkebunan yang dikeluarkan Irwandi untuk Kallista. Tapi hakim pada April lalu menolak gugatan tersebut. Hakim beralasan kedua belah pihak belum berupaya menempuh penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Para aktivis lingkungan juga menuding polisi dan Tentara Nasional Indonesia berada di belakang Kallista. Menurut Halim Gurning, Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari di Nagan Raya, kantor dan lahan Kallista selama ini dijaga polisi dan tentara. Mereka melarang warga dan para aktivis memasuki lahan PT Kallista. ”Komandan mereka mengancam kami dan anak buahnya mengintai kantor kami,” kata Halim.

Menurut sumber Tempo, ”jejak” aparat itu masih tercium saat tim penyidik gabungan datang ke Rawa Tripa pada Mei lalu. Waktu itu, tiga bilik pos penjagaan berdiri tegak di sana. Anggota Brigade Mobil menempati bilik kiri, TNI di bilik tengah, dan Kepolisian Resor Nagan Raya di bilik kanan. Pada bagian depan ketiga bilik terdapat papan nama bertulisan ”Pos TNI-Polisi”. Selain menemukan pos jaga, waktu itu tim penyidik menemukan mobil dinas tentara. Tapi, sewaktu Tempo mengunjungi Rawa Tripa dua pekan lalu, atribut polisi dan tentara itu sudah dibersihkan.

Di depan pimpinan Unit Kerja Presiden, tim penyidik telah memaparkan lima jenis pelanggaran yang terjadi di Rawa Tripa. Penyidik menyatakan menemukan fakta PT Kallista Alam membuka lahan sebelum memperoleh izin usaha perkebunan dari Gubernur Irwandi. Perbuatan itu disebut telah melanggar Undang-Undang Perkebunan. Kepada penyidik, anggota staf bagian legal Kallista Alam pernah mengakui perusahaannya mulai membuka lahan di Rawa Tripa pada 2009. Setahun kemudian, mereka mulai menanam bibit sawit. Pengakuan serupa disampaikan petugas lapangan Kallista kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat asal Aceh, Farhan Hamid, yang meninjau lokasi pada Mei lalu.

Pelanggaran berikutnya, menurut penyidik, PT Kallista membuka lahan dengan cara membakar. Menurut seorang penyidik, pembersihan lahan dengan pembakaran lebih murah. Dengan cara membakar lahan, perusahaan hanya mengeluarkan dana paling banyak Rp 2 juta per hektare lahan. Sebaliknya, jika membuka lahan sesuai dengan aturan, biayanya mencapai Rp 60 juta per hektare. Meski murah, membakar lahan melanggar Undang-Undang Perkebunan dan Undang-Undang Lingkungan Hidup. Menurut tim penyidik, area perkebunan PT Kallista seluas 1.605 hektare juga berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser, yang ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Pembukaan lahan di kawasan itu juga melanggar Undang-Undang Penataan Ruang.

Pemeriksaan lapangan juga membuktikan izin usaha PT Kallista tak memenuhi syarat. Soalnya, izin perkebunan keluar di lahan gambut yang ketebalannya rata-rata tiga meter lebih. Soal ini, penyidik gabungan menduga telah terjadi pemalsuan dokumen perizinan.

Meski pelanggarannya cukup terangbenderang, tersangka dalam kasus perusakan hutan itu belum diumumkan penyidik. Menurut Deputi VI Kementerian Lingkungan Hidup Soedarjono, sejauh ini penyidik baru memeriksa sejumlah saksi. ”Mereka dari dinas kehutanan, manajer kebun, dan warga yang menyaksikan pembakaran lahan,” katanya.

Salah seorang pemimpin proyek Kallista, Alvis, mengatakan perusahaannya telah menempuh semua prosedur yang berlaku untuk memperoleh izin pembukaan lahan di Rawa Tripa. Soal terus menciutnya lahan gambut di Rawa Tripa, dia meminta tak hanya PT Kallista yang disorot. ”Di sini banyak perusahaan lain yang beroperasi,” ujar Alvis.

Irwandi memang belum diperiksa. Setelah gagal menjadi gubernur lagi dalam pemilihan April lalu, dia kini lebih sering berada di Malaysia. Sebelum bertolak ke negeri jiran, kepada sejumlah media, Irwandi mengaku pernah berkali-kali menolak permohonan izin Kallista. Alasannya, dia tahu lahan yang diminta Kallista berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Irwandi meneken izin setelah mendapat rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk Bupati Nagan Raya, Dinas Kehutanan, dan Kepolisian Daerah Aceh.

Karena itu, dari sisi hukum, Irwandi yakin izin untuk PT Kallista tak bermasalah. Hanya, ”Secara pribadi, saya lebih suka bila izin itu dicabut lagi,” kata bekas petinggi Gerakan Aceh Merdeka itu seperti dikutip mingguan Modus Aceh edisi 10 Juni lalu. ”Soalnya, waktu itu saya melawan hati nurani sendiri.”

Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Gatot Subiyaktoro menilai izin yang diteken Irwandi mengandung sejumlah kejanggalan. Misalnya, Gubernur mengeluarkan izin atas dasar izin prinsip yang dikeluarkan Bupati Nagan Raya pada 5 Februari 2008. Padahal masa berlaku izin prinsip itu berakhir pada 5 Februari 2011. ”Izin yang telah mati kok dijadikan dasar?” kata Gatot, yang datang ke Aceh dua pekan lalu. UNTUNG WIDYANTO (ACEH), YOGITA MEHER, JAJANG JAMALUDIN (JAKARTA)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.