Menurut kajian GeRAK Aceh, kata Fernan, dari 134 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah terlanjur diberikan oleh bupati, untuk tahun berikutnya wajib dilakukan review terlebih dahulu.

LEMBAGA Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai selama ini Gubernur Aceh tidak tegas dalam melakukan moratorium tambang. GeRAK melihat Gubernur Aceh hanya membuat pencitraan tanpa adanya langkah nyata.

“Kami sangat mendukung upaya Pemerintah Aceh untuk melakukan moratorium tambang. Namun tentu harus ditegaskan juga urgensinya untuk perbaikan tatakelola pertambangan yang lebih baik. Kalau moratorium tidak diikuti dengan implementasi kebijakan yang terukur, maka publik hanya menganggap itu kebijakan pencitraan saja dan hanya sebatas janji yang orentasinya hanya untuk gagahan semata,” Kata Kadiv Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan, di Banda Aceh, Selasa 18 November 2014.

Menurut kajian GeRAK Aceh, kata Fernan, dari 134 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah terlanjur diberikan oleh bupati, untuk tahun berikutnya wajib dilakukan review terlebih dahulu.

Dari jumlah tersebut hanya 36 Perusahaan saja yang sudah mengantongi Clean & Clear dari Kementrian ESDM. Clean & Clear ini merupakan suatu standar dari Pemerintah untuk memastikan IUP sudah benar-benar tertib administrasi dan aturan.

“Pemerintah Aceh harus segera memastikan apakah seluruh izin tersebut sudah memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan oleh perundangan. Contoh saja beberapa IUP yang telah dikeluarkan oleh Bupati dan mendapatkan izin prinsip dari Gubernur sebagaimana Qanun Aceh No.12 Tahun 2002. Setelah itu diberikan, seharusnya Gubernur tidak boleh lepas tangan. Kalau memang dilepaskan tanpa ada kontrol yang baik, maka IUP tersebut bisa disalah gunakan oleh pengusaha tambang,” kata Fernan.

Selama ini, GeRAK Aceh mensinyalir banyak “ruang abu-abu “ dalam setiap tahapan pemberian izin yang berpotensi korupsi. Tahapan dimaksud mulai dari pemberian izin Eksplorasi maupun eksploitasi yang syarat dengan potensi suap dan gratifikasi.

“Bagaimana syarat dokumen lingkungan diberikan. Selama ini penempatan Dana jaminan reklamasi dan Pasca tambang. Selanjutnya juga pada tahapan pelaksanaan, apakah IUP yang diberikan sudah sesuai dengan pelaksanaan dilapangan. Selama ini publik sendiri kurang mengetahui apa sebenarnya yang ditambang dan apakah jumlah hasil produksi yang telah di jual benar-benar sesuai dengan fakta di lapangan,” ujar Fernan.

Moratorium, tambah Fernan, menjadi keharusan setelah ditetapkannya Kepmen ESDM No.1095 K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Sumatera yang diterbitkan tanggal 26 Februari 2014. Artinya pemerintah Provinsi/ Kabupaten harus melakukan upaya pelelangan terhadap Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral logam atau Batubara yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan sebelum memberikan IUP.

Hal lainnya yang harus dilakukan adalah bagaimana Pemerintah Provinsi/ Kabupaten harus mengkaji terhadap IUP Operasi Produksi dalam melakukan kegiatan reklamasi dan kegiatan pasca tambang. Dimana keberadaan Dana Jaminan tersebut yang seharusnya ditempatkan di rekening bersama. Pemerintah Daerah harus memastikan hal ini benar-benar dilakukan sebagai wujud pembangunan yang seimbang dengan memperhatikan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.

“Selama ini, menurut kajian GeRAK Aceh, adanya beberapa perusahaan yang masuk dalam hutan lindung, ada sebanyak 666 ribu hektar konsesi tambang yang masuk dalam hutan lindung, dan 31,3 ribu hektar masuk ke dalam wilayah hutan konservasi. Data tersebut kami dapatkan dari Dirjen Planologi Kehutanan Kementiran Kehutanan,” katanya.

Untuk itu, GeRAK mendesak Gubernur Aceh untuk segera mengeluarkan Peraturan tentang moratorium tambang sebagaiamana yang telah disampaikan kepada publik, keharusan moratorium seiring dengan upaya KPK tahun 2015 melakukan agenda Koordinasi dan Suvervisi Minerba di Aceh.

Selain itu, Gubernur Aceh harus segera menindak tegas terhadap izin IUP yang tidak memenuhi kaidah perundangan yang berlaku dan berani untuk mencabut IUP yang terbukti melanggar aturan hukum yang mengatur terkait tata kelola tambang di Indonesia.

“Pemerintah Aceh harus berani dalam melakukan tata kelola pertambangan yang lebih baik, karena ini sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat, kalau memang tidak dilakukan, bisa-bisa ini akan menjadi bencana untuk masyarakat,” ujar Fernan. Murdani Abdullah.

Berita ini telah dimuat di Atjehpost anggota sindikasi Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.