Bagi Rahayu Oktaviani nyanyian Owa Jawa bukan sekadar alunan alam, melainkan panggilan jiwa yang menuntunnya dalam misi penyelamatan.

Di tengah belantara Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Jawa Barat, sebuah nyanyian merdu kerap menggema, memecah keheningan pagi. Itu adalah suara Owa Jawa (Hylobates moloch), primata arboreal yang kini menggantungkan asa terakhirnya pada sisa-sisa kanopi hutan. Bagi Rahayu Oktaviani, atau akrab disapa Ayu, nyanyian itu bukan sekadar alunan alam, melainkan panggilan jiwa yang telah menuntunnya selama lebih dari 17 tahun dalam misi penyelamatan. Di pulau terpadat di dunia, di mana kurang dari 10% hutan asli tersisa, Ayu berjuang memastikan agar gema suara owa tak lenyap ditelan zaman.  

Perjalanan Ayu sebagai penjaga primata ditempa oleh semangat dan ilmu. Berbekal gelar sarjana Konservasi Sumber Daya Hutan dari IPB University dan master Ilmu Ekologi dari Ewha Womans University, Korea Selatan, ia memiliki landasan ilmiah yang kokoh. Namun, inspirasi awalnya berakar dari para perempuan pionir primatologi seperti “The Trimates” dan ahli orangutan Indonesia, Sri Suci Utama. Ayu mengakui, “Itu salah satu juga yang menginspirasi saya, sehingga pada akhirnya saya berpikir, mungkin saya bisa mengikuti jejaknya,”. Titik balik dalam hidupnya terjadi pada 2008, ketika ia pertama kali mendengar langsung nyanyian Owa Jawa di Citalahab, jantung TNGHS.

“Pertama kalinya saya tahu ada satwa primata yang punya suara seindah itu, yang membuat saya diam, tercengang, kaget, karena kok saya enggak tahu apa-apa tentang satwa ini,” kenang Ayu, sebuah momen yang membekas dan mengkristalkan tekadnya. “Dari situ saya rasa, saya punya mimpi bahwa saya harus berupaya membantu upaya pelestarian Owa Jawa ini,” tegasnya.

Kesadaran bahwa data ilmiah saja tak cukup untuk menyelamatkan spesies ini mendorongnya merangkul pendekatan yang lebih holistik. Ayu mempertanyakan, “Mereka cuma tahu ada peneliti yang keluar masuk hutan, tapi apakah kita pernah berbagi dengan mereka? Apakah kita pernah bertanya kepada mereka pengetahuan lokal apa saja sih yang sebenarnya sudah pernah ada tentang satwa ini?”.  

Dari kesadaran inilah lahir Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA) pada tahun 2020, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan Ayu bersama rekan-rekannya. “KIARA bukan cuma mimpi saya sendiri, karena saya menjadi salah satu pendiri, tapi dibalik itu, ini jadi mimpi bersama saya dan teman-teman waktu masih kuliah,” jelas Ayu.

KIARA menjadi wujud nyata dari mimpi bersama untuk melindungi Owa Jawa dan ekosistem hutannya melalui tiga pilar utama: riset ilmiah, pendidikan konservasi, dan keterlibatan masyarakat. Riset jangka panjang KIARA di TNGHS mencakup pemantauan perilaku, ekologi, pakan, hingga ancaman seperti endoparasit dan kasus kematian akibat tersengat listrik. Kepakaran Ayu juga diakui secara internasional dengan perannya sebagai salah satu wakil ketua IUCN SSC Primate Specialist Group – Section on Small Apes.  

Di bidang pendidikan, Ayu meretas batas-batas ilmiah dengan menerbitkan buku cerita anak, seperti “Buku Harian Salwa Si Owa Jawa,”. Program edukasi KIARA menjangkau ratusan siswa dan rumah tangga di sekitar taman nasional. Namun, pilar terkuat KIARA adalah keterlibatan masyarakat. Ayu percaya bahwa konservasi sejati lahir dari rasa memiliki. Ia melatih warga lokal, termasuk para perempuan, menjadi bagian dari tim lapangan dan patroli hutan.

Inisiatif Ambu Halimun, misalnya, memberdayakan 15 perempuan desa dengan keterampilan ecoprint dan literasi keuangan. “Jadi awalnya sebenarnya bukan dari satu kegiatan yang bisa menghasilkan, tapi lebih ke bagaimana memberdayakan para perempuan, para ibu-ibu ini, supaya bisa punya pengetahuan lebih tentang literasi keuangan,” urai Ayu mengenai program Ambu Halimun.  

Upaya pelestarian owa Jawa dihadapkan pada tantangan besar. Fragmentasi habitat akibat alih fungsi lahan menjadi ancaman utama. Ayu mengidentifikasi, “Khusus untuk area yang menjadi sasaran kami di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sejauh ini ancaman yang mungkin bisa teridentifikasi adalah encroachment atau adanya gangguan atau ekspansi,” katanya. Seperti perluasan pemukiman atau perkebunan ke area taman nasional. Diperkirakan sekitar 900 hingga 1.200 individu Owa Jawa mendiami hutan di TNGHS, menjadikan habitat ini sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan.  

Dedikasi Ayu tak luput dari perhatian dunia. Penghargaan bergengsi seperti Whitley Award 2025 atau “Green Oscar” senilai £50,000, Conservationist Award & Kyes Award for Excellence in Outreach dari American Society of Primatologists (2023), dan Women in Conservation Award dari Denver Zoo (2024) menjadi pengakuan atas kerja kerasnya. “Penghargaan ini adalah platform untuk membuat Owa Jawa lebih dikenal, bukan tentang figur pribadi saya. Saya bisa digantikan kapan saja,” ujar Ayu rendah hati. Dana dari Whitley Award akan difokuskan untuk memperkuat upaya konservasi di lima desa kunci di TNGHS.  

Bagi Ayu, masa depan nyanyian hutan Halimun Salak adalah tentang harmoni. Sebuah visi di mana owa Jawa tidak hanya lestari, tetapi menjadi “kisah bersama yang membanggakan dan menjadi identitas” bagi masyarakat lokal yang berdaya sebagai penjaga alamnya. Ia percaya bahwa konservasi adalah kerja kolaborasi yang berakar pada “kepercayaan, kerjasama, dan harapan”.

Nyanyian Owa Jawa, yang pernah begitu memukaunya, kini menjadi seruan bagi kita semua untuk turut menjaga keseimbangan alam yang rapuh, memastikan gema indahnya terus terdengar di rimba nusantara.  

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.