Praktik pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, menjadi sorotan dan kritik publik. Ekosistem pulau kecil terancam rusak.

Pulau Gag, yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, kembali menjadi sorotan publik setelah pemerintah hanya mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi di wilayah tersebut. Satu perusahaan, PT Gag Nikel—anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk—masih diizinkan beroperasi di lahan seluas 13.136 hektar.
Keputusan ini menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), karena dinilai bertentangan dengan prinsip perlindungan ekosistem pulau kecil dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI, aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. “Operasi pertambangan tidak hanya menghancurkan ekosistem darat tetapi juga mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi sumber ekonomi dan pangan bagi masyarakat setempat,” demikian siaran pers WALHI, diakses Rabu, 11 Juni 2025.
WALHI menyatakan, aktivitas tambang di pulau kecil seharusnya tidak diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diperbarui dengan UU Nomor 1 Tahun 2014. Dalam regulasi tersebut, kegiatan pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag termasuk dalam kategori kegiatan yang dilarang karena daya dukung lingkungannya yang terbatas.
Preseden hukum juga memperkuat larangan tersebut. Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil adalah bentuk kegiatan yang menimbulkan ancaman sangat berbahaya dan berdampak serius, dengan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.
Maikel Peuki, Direktur WALHI Papua, menyatakan bahwa jika aktivitas tambang terus berlanjut, pembongkaran gunung dan penggalian lubang tambang akan semakin masif. “Masyarakat adat Papua pemilik Hak Ulayat akan dipaksa mengungsi ke tanah besar. Anak cucu generasi selanjutnya akan kehilangan identitas, kampung halaman, budaya lokal dan keindahan kekayaan alam Papua,” tegasnya.
Kerusakan ekosistem dan ancaman terhadap sumber pangan laut
Pulau Gag merupakan bagian dari Kepulauan Raja Ampat, kawasan yang diakui secara internasional sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Menurut studi McKenna et al. (2002) yang dikutip oleh Baharinawati W. Hastanti dan R. Gatot Nugroho Triantoro—peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manokwari—wilayah laut Raja Ampat menyimpan 64% kekayaan terumbu karang dunia dan termasuk dalam usulan UNESCO sebagai warisan dunia.
Namun, aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan dengan metode pembuangan tailing ke laut (Submarine Tailings Disposal/STD) dikhawatirkan dapat memusnahkan biota laut. Limbah tailing diketahui mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti merkuri dan sianida, yang mencemari laut dan mengancam keselamatan manusia yang mengonsumsi ikan tercemar (MinergyNews, 2001; JATAM, 2006).
Warga yang tinggal di sekitar Pulau Gag, sebagaimana disampaikan WALHI, melaporkan berkurangnya jumlah ikan di wilayah pesisir yang sebelumnya dikenal sebagai “sarang ikan.” Wilayah tersebut kini berubah menjadi area bongkar muat material tambang. Debu dari aktivitas pertambangan juga menimbulkan gangguan pernapasan dan kekhawatiran terhadap penyakit kulit akibat pencemaran air laut.
Keberadaan Pulau Gag sebagai bagian dari Suaka Margasatwa Laut (berdasarkan SK Menhut No. 81/Kpts-II/1993) dan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan seharusnya menjadikan wilayah ini bebas dari eksplorasi dan eksploitasi tambang. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Profil Pulau Gag, antara tradisi, sejarah, dan ketimpangan
Pulau Gag memiliki luas 7.727 hektarE dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah, yakni 0,08 orang per hektar. Berdasarkan data tahun 2009 dari penelitian Baharinawati dan Gatot Nugroho, jumlah penduduk Kampung Gambir mencapai 633 jiwa dalam 133 kepala keluarga. Komposisi gender menunjukkan jumlah pria (345 orang) lebih banyak daripada wanita (288 orang).
Masyarakat Pulau Gag memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, dengan 46,29% hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar dan 25,12% tidak bersekolah. Keterbatasan akses pendidikan menjadi faktor utama, karena tidak tersedia jenjang pendidikan menengah di pulau tersebut.
Secara ekonomi, masyarakat setempat menggantungkan hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pegawai, dengan kegiatan sampingan seperti berkebun, meramu sagu, membuat kopra, dan berdagang. Ketergantungan pada hasil laut membuat mereka sangat rentan terhadap dampak kerusakan ekosistem laut.
Pulau Gag memiliki sejarah yang panjang. Menurut mitologi masyarakat setempat, nama Gag berasal dari kata dalam Bahasa Weda yang berarti “teripang,” merujuk pada banyaknya teripang di perairan pulau tersebut. Penduduk pertama berasal dari Pulau Gebe dan awalnya datang untuk berkebun. Pemukiman di Kampung Gambir mulai berkembang pada tahun 1963 setelah kedatangan pasukan Trikora dan pendatang yang bekerja di sektor pertambangan.
Sejak era kolonial Belanda, potensi tambang nikel di pulau ini sudah dieksplorasi. Setelah nasionalisasi perusahaan pada 1972, perusahaan dalam negeri melanjutkan kegiatan tambang.