Di pengungsian, perempuan korban bencana adalah manajer logistik dadakan, pelindung anak, sekaligus penjaga keamanan keluarga
Di bawah tenda pengungsian yang didirikan seadanya, riuh rendah suara anak-anak memecah keheningan. Mereka berlarian, tertawa, dan bermain, seolah banjir bandang yang meluluhlantakkan kampung halaman mereka seminggu lalu hanyalah mimpi buruk yang sudah berlalu. Pemandangan itu sekilas menenangkan, menyiratkan ketangguhan di tengah bencana.
Namun, hanya berjarak beberapa meter dari keriangan itu, sebuah kontras yang tajam terpampang nyata. Para perempuan—ibu, nenek, dan kakak perempuan—duduk berimpitan di sisi tenda. Wajah mereka tidak memancarkan kepolosan yang sama. Gurat kekhawatiran dan kesedihan mendalam tercetak jelas, menggantikan rasa aman yang dulu mereka miliki di dalam rumah yang kini mungkin telah rata dengan tanah atau hanyut terbawa arus.
Ketimpangan emosional ini langsung tertangkap oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, saat kakinya melangkah masuk ke lokasi bencana. Di tengah upaya pemulihan, pandangannya tidak hanya tertuju pada fisik bangunan yang rusak, tetapi pada jiwa-jiwa yang terguncang di dalamnya.
“Saya melihat justru yang trauma yang perlu pendekatan berkelanjutan adalah kaum perempuan karena dia melihat rumahnya hanyut, kemudian bagaimana masa depannya,” ujar Arifah, menyoroti beban berat yang seringkali tak kasat mata.
Bagi Arifah, senyum anak-anak bukanlah tanda bahwa mereka baik-baik saja sepenuhnya. Ada luka yang tersembunyi di balik tawa mereka, sebuah bom waktu psikologis yang jika diabaikan, akan meledak di masa depan. “Kita lihat anak-anak kelihatannya mereka tidak trauma karena mereka bermain. Tapi itu punya kesan mendalam yang akan dibawa sampai nanti dewasa,” ungkapnya.
Beban ganda di pundak perempuan
Di lokasi pengungsian, perempuan seringkali menjadi pilar penyangga yang tak boleh runtuh. Mereka adalah manajer logistik dadakan, pelindung anak-anak, sekaligus penjaga keamanan keluarga, sambil harus mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Realitas di lapangan memperlihatkan betapa perempuan menanggung beban berlapis di tengah krisis.
Sebuah penelitian dari Universitas PGRI Madiun (2021) mengonfirmasi fenomena ini, menyebutkan bahwa perempuan menghadapi kerentanan yang jauh lebih tinggi selama bencana akibat beban domestik dan peran sosial yang melekat padanya. Meski kajian lain menunjukkan perempuan memiliki kapasitas adaptasi yang kuat, hal itu tidak serta-merta menghapus fakta bahwa pundak mereka memikul beban yang jauh lebih berat dibanding yang terlihat.
Luka batin ini tidak akan sembuh seiring surutnya air banjir. Psikolog dari Universitas Paramadina, M. Iqbal, mengingatkan bahwa dampak psikologis pascabencana adalah ancaman nyata yang bisa bertahan lama. Mulai dari Acute Stress Reaction, gangguan kecemasan, hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
“Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30–50 persen penyintas bencana besar dapat mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama,” jelas Iqbal seperti dilansir Suara
Observasi di lapangan pun menceritakan kisah pilu yang serupa. Banyak penyintas, terutama perempuan, menunjukkan gejala trauma yang nyata: sulit tidur, dihantui mimpi buruk, hingga ketakutan berlebih setiap kali mendengar suara hujan atau gemuruh guntur. Beberapa mulai menarik diri dari interaksi sosial, kehilangan minat beraktivitas, bahkan menunjukkan tanda-tanda depresi.
Tantangan medan dan pengabaian tak sengaja
Di wilayah Sumatera yang terdampak, penderitaan ini diperparah oleh kondisi geografis dan logistik yang menantang. Akses jalan yang rusak dan lokasi pengungsian yang jauh dari kata ideal membuat bantuan seringkali terlambat datang. Dalam situasi serba sulit ini, perempuan kerap menjadi kelompok terakhir yang mendapatkan layanan pemulihan secara utuh. Waktu dan energi mereka habis tersita untuk memastikan keluarga tetap makan dan bertahan hidup, menyisakan sedikit ruang untuk memulihkan diri mereka sendiri.
Di balik senyum tegar yang mereka paksakan di hadapan anak-anak, para perempuan Sumatera ini menanggung beban sunyi yang amat berat—sebuah jeritan minta tolong yang semestinya didengar lebih dulu, bukan dilayani paling akhir.
- Solusi berkelanjutan, membangun sekolah dari sampah plastik
- Beban sunyi yang dipikul perempuan korban bencana di Sumatera
- Lingkaran setan pengelolaan lingkungan di Indonesia
- FEB UGM dan Unismuh Makassar perkuat gerakan kampus hijau lewat pengelolaan sampah
- Dashboard “Searibu” kenalkan data pasang surut dan cuaca untuk wisata Kepulauan Seribu
- Tambang minyak ilegal menghantui Hutan Harapan
