Hutan Sipora Mentawai bukan sekadar kumpulan pohon; mereka adalah rumah bagi primata endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia.

Angin laut berhembus kencang di perairan Karang Jamuang, pintu gerbang menuju salah satu pusat industri tersibuk di Jawa Timur. Di sini, di antara lalu lalang kapal kargo raksasa dan tanker minyak, sebuah tongkang bernama Kencana Sanjaya tampak menyolok. Bukan karena ukurannya yang masif, melainkan karena muatannya yang menggunung. Ribuan batang kayu bulat (log) berdiameter besar, kulitnya yang kasar masih menyisakan aroma tanah basah dari hutan hujan tropis yang jauh. Kayu-kayu ini, yang sebagian besar adalah jenis Meranti dan kayu rimba campuran, tampak seperti monumen bisu dari sebuah tragedi ekologis yang terjadi ribuan kilometer di barat, tepatnya di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai.

Pada Sabtu pagi, 11 Oktober 2025, ketenangan awak kapal Tugboat (TB) Jenebora I yang menarik tongkang tersebut pecah. Deru mesin kapal patroli membelah ombak, mendekat dengan manuver taktis. Di atas geladak kapal patroli, tim gabungan dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), Kementerian Kehutanan, dan aparat penegak hukum lainnya bersiap melakukan penyergapan. Ini bukanlah pemeriksaan rutin biasa. Ini adalah kulminasi dari operasi intelijen yang telah berjalan selama berminggu-minggu, melacak pergerakan “emas hijau” yang diduga dicuri dari jantung hutan Mentawai.

Saat petugas menaiki tongkang, mereka dihadapkan pada pemandangan yang menyesakkan bagi siapa saja yang memahami nilai sebuah hutan. Tumpukan kayu itu, yang volumenya tercatat mencapai 4.610 meter kubik, mewakili ribuan pohon yang telah ditebang, ekosistem yang terkoyak, dan habitat satwa yang musnah. Jika dibentangkan, kayu-kayu ini setara dengan muatan ratusan truk tronton, sebuah konvoi kehancuran yang berlayar melintasi Samudra Hindia hingga ke Laut Jawa.

Direktur Penanganan Kejahatan Kehutanan Kementerian Kehutanan, Rudianto Saragih Napitu, yang memimpin operasi ini dari sisi teknis kehutanan, menggambarkan situasi tersebut sebagai “kejahatan luar biasa”. Di dermaga Pelabuhan Gresik, di bawah sorotan lampu sorot media dan pengawalan ketat aparat bersenjata, Rudianto menegaskan bahwa operasi ini adalah pesan keras negara kepada para mafia kayu.

“Praktik ini diyakini telah merugikan negara hingga Rp240 miliar,” ungkap Rudianto dengan nada berat, merujuk pada valuasi ekonomi dari kayu yang disita serta kerusakan ekologis yang tak ternilai harganya. Namun, angka fantastis ini hanyalah puncak gunung es dari sebuah jaringan kompleks yang melibatkan manipulasi dokumen, perambahan hutan, dan pencucian uang yang sistematis.

Sipora, Jantung Mentawai yang Terluka

Untuk memahami besarnya dampak kejahatan ini, kita harus terlebih dahulu melihat ke tempat kejadian perkara (TKP): Pulau Sipora. Terletak di tengah gugusan Kepulauan Mentawai, diapit oleh Siberut di utara dan Pagai di selatan, Sipora adalah pusat administratif Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di sinilah Tuapejat, ibu kota kabupaten, berdiri. Namun, di balik status administratifnya, Sipora adalah permata ekologis.

Hutan hujan tropis di Sipora memiliki karakteristik unik. Sebagai pulau yang terisolasi dari daratan utama Sumatera selama jutaan tahun, Mentawai memiliki tingkat endemisme yang sangat tinggi. Hutan-hutan di sini bukan sekadar kumpulan pohon; mereka adalah rumah bagi primata endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Struktur hutan Sipora yang berbukit-bukit dengan kelerengan curam menjadikan keberadaan tutupan hutan sangat vital untuk menjaga stabilitas tanah dan tata air.

Namun, statusnya sebagai pusat pemerintahan juga menjadikan Sipora sebagai sasaran empuk eksploitasi. Pembangunan infrastruktur jalan dan perluasan pemukiman seringkali menjadi pintu masuk bagi aktivitas penebangan liar yang lebih masif. Hutan yang dulunya rapat kini mulai terfragmentasi, menciptakan akses bagi alat-alat berat untuk masuk lebih jauh ke pedalaman, ke area yang seharusnya tak tersentuh.

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menemukan adanya dugaan ilegal logging di Pulau Sipora. Pada tanggal 22 September 2025, Tim PKH melakukan observasi dan penyelidikan di lapangan Desa Betumonga, Kecamatan Sipora Utara.

Investigasi mendalam yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan mengungkap bahwa pusat aktivitas ilegal PT BRN berada di dua lokasi strategis: Desa Tuapejat di Kecamatan Sipora Utara dan Desa Betumonga di Kecamatan Sipora Selatan. Kedua desa ini memiliki akses ke laut, memudahkan logistik pengangkutan kayu dari hutan ke pantai (logpond).

Di Tuapejat, yang ironisnya merupakan pusat pemerintahan, aktivitas penebangan justru berlangsung di “halaman belakang” otoritas lokal. Citra satelit resolusi tinggi yang dianalisis oleh tim Gakkum (Penegakan Hukum) memperlihatkan pola pembukaan lahan yang agresif.

“PT BRN diduga melakukan pembalakan liar terorganisir dari tahun 2022 hingga 2025 di Desa Tuapejat dan Betumonga,” jelas Rudianto Saragih Napitu. Rentang waktu tiga tahun ini menunjukkan bahwa operasi tersebut bukanlah insiden sesaat, melainkan sebuah usaha sistematis yang berjalan di bawah radar—atau mungkin dengan pembiaran—selama bertahun-tahun.

Analisis spasial menunjukkan bahwa kerusakan tidak hanya terjadi di area yang mungkin diklaim sebagai lahan masyarakat, tetapi menusuk jauh ke dalam kawasan hutan negara. Tim penyidik menemukan bukti fisik berupa jalan sarad—jalur tanah yang dibuka paksa di tengah hutan untuk menarik kayu—sepanjang dan seluas 7,79 hektare yang berada di dalam zona hutan produksi. Sementara itu, area penebangan utama teridentifikasi seluas 589,56 hektare, sebuah luasan yang masif, setara dengan hampir 600 lapangan sepak bola standar internasional.

Kamuflase di Balik Legalitas

Kejahatan kehutanan di era modern jarang dilakukan dengan cara primitif seperti sekadar menebang dan lari. Para pelaku kini bermain di ranah administratif, memanfaatkan celah regulasi yang rumit di Indonesia. Berdasarkan temuan penyidik, PT BRN diduga menggunakan modus yang canggih untuk “mencuci” kayu ilegal mereka.

Modus utamanya adalah manipulasi asal-usul kayu. Dalam sistem tata usaha kayu di Indonesia, setiap batang kayu yang keluar dari hutan harus disertai dokumen legalitas, seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Dokumen ini seharusnya menjadi jaminan bahwa kayu tersebut berasal dari area yang memiliki izin penebangan yang sah.

“Operasi tersebut melibatkan penebangan kayu di luar wilayah yang diizinkan, merambah zona hutan, dan memalsukan Sertifikat Legalitas Hasil Hutan (SKSHH) untuk melegitimasi kayu tersebut,” papar Rudianto.

Penyelidikan mengungkap bahwa PT BRN diduga melakukan penebangan di dalam kawasan hutan negara yang dilarang, namun dalam dokumennya, kayu-kayu tersebut dicatat seolah-olah berasal dari Areal Penggunaan Lain (APL) atau lahan masyarakat yang memiliki izin pemanfaatan kayu. Pola ini ditemukan berulang di beberapa lokasi Persetujuan Hak Atas Tanah (PHAT) atas nama perorangan, seperti lokasi Rusmin I, Rusmin II, dan Rusmin III di Tuapejat. Dengan cara ini, kayu curian dari hutan lindung atau hutan produksi “disulap” menjadi kayu legal dari kebun masyarakat, lengkap dengan dokumen yang tampak sah di mata petugas awam.

Operasi Senyap “Jaring Laba-Laba”

Pengungkapan kasus ini tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil kerja keras dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), sebuah unit ad-hoc yang dibentuk untuk merespons maraknya kejahatan lingkungan yang semakin canggih. Satgas ini menggabungkan kewenangan administratif Kementerian Kehutanan dengan kekuatan koersif TNI dan kemampuan penyidikan Polri serta Kejaksaan.

Pada awal Oktober 2025, radar intelijen mulai menangkap sinyal mencurigakan dari Mentawai. Laporan masyarakat dan pantauan satelit menunjukkan aktivitas penebangan yang tidak wajar di Sipora. Tim gabungan bergerak cepat.

Pada tanggal 4 Oktober 2025, tim pendahulu yang terdiri dari Satgas PKH Garuda dan pejabat Kementerian Kehutanan mendarat di Sipora. Mereka melakukan operasi senyap, menyegel area operasional di Unit Manajemen Hutan Sipora (HPT) yang diduga menjadi basis operasi PT BRN. Di sana, mereka mengamankan fasilitas produksi dan alat berat yang menjadi alat kejahatan. Namun, target utama—muatan kayu yang bernilai miliaran rupiah—sudah bergerak.

Informasi intelijen menyebutkan bahwa sebuah tugboat dan tongkang telah meninggalkan perairan Mentawai, membawa ribuan meter kubik kayu menuju Jawa. Ini memicu operasi pengejaran laut. Rute pelayaran dari Mentawai ke Jawa Timur adalah perjalanan panjang yang berbahaya, melintasi perairan barat Sumatera yang ganas, menembus Selat Sunda, dan menyusuri Laut Jawa.

Tim penindak memantau pergerakan TB Jenebora I yang menarik tongkang Kencana Sanjaya. Mereka membiarkan kapal tersebut memasuki “zona tangkap” yang aman dan strategis. Pilihan jatuh pada perairan Karang Jamuang, Gresik. Lokasi ini strategis karena merupakan titik masuk ke pelabuhan tujuan, dan berada dalam yurisdiksi yang kuat untuk melakukan penindakan.

Pada tanggal 11 Oktober 2025, saat kapal memasuki perairan Gresik, perangkap ditutup. Kapal patroli mengapit TB Jenebora I. Petugas bersenjata lengkap menaiki kapal, memeriksa dokumen, dan mencocokkannya dengan muatan fisik. Ketidaksesuaian dokumen langsung terlihat. Dokumen SKSHH yang dibawa awak kapal diduga palsu atau tidak sesuai dengan fisik kayu yang diangkut.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho saat cek barang bukti perkara hasil illegal loging bersama Direktur D Kajagung RI, Kajati Jatim, Satgas Garuda , Direktur Penindakan serta Kasi Korwas PPNS Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Timur di Pelabuhan PT Gresik Jasatama (Foto :Faiz/Gresiksatu.com)

Tiga hari setelah penyitaan, pada Selasa, 14 Oktober 2025, sebuah konferensi pers digelar langsung di lokasi kejadian, Dermaga 2 Jasatama Gresik. Hadirnya para petinggi penegak hukum menunjukkan keseriusan negara.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus), Febrie Adriansyah, hadir langsung bersama Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen TNI Richard Taruli H Tampubolon, Kabareskrim Polri Komjen Syahar Diantono, dan Komandan Satgas PKH Garuda Mayjen TNI Dody Triwinarto.

Febrie Adriansyah, dengan latar belakang kapal tongkang yang disita, memberikan pernyataan yang tajam dan emosional. Ia menyoroti bahwa kerugian negara tidak bisa hanya dihitung dari nilai kayu.

“Kayu-kayu ini berasal dari kawasan hutan yang semestinya dilindungi. Pembalakan liar seperti ini sangat merugikan negara, baik dari sisi ekonomi maupun kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” tegas Febrie. Suaranya bergema di dermaga yang bising oleh angin laut.

Ia melanjutkan dengan menekankan aspek keberlanjutan yang sering diabaikan para pelaku kejahatan. “Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keberlangsungan ekosistem yang rusak akibat pembalakan liar. Butuh waktu puluhan tahun untuk memulihkan hutan yang sudah dibabat ini,” tambahnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa kejahatan PT BRN bukan sekadar pencurian aset, melainkan perusakan masa depan.

Dampak Lingkungan dan Kemanusiaan

Angka Rp 240 miliar yang dirilis pemerintah sebagai estimasi kerugian negara memicu perdebatan tentang bagaimana kita menghargai alam. Bagaimana angka ini didapat?

Tim ahli Kementerian Kehutanan menggunakan metode valuasi ekonomi sumber daya alam yang komprehensif. Pertama, nilai kayu itu sendiri. Dengan volume 4.610 meter kubik yang disita saat ini, ditambah dengan estimasi tiga pengiriman sebelumnya yang lolos ke Surabaya (total sekitar 11.629,33 meter kubik), nilai kayu komersialnya saja sudah mencapai puluhan miliar rupiah. Kayu Meranti, yang mendominasi muatan, adalah komoditas premium di pasar kayu lapis dan furnitur.

Namun, komponen terbesar dari kerugian tersebut adalah biaya pemulihan lingkungan. Deforestasi seluas hampir 600 hektare di Sipora berarti hilangnya fungsi penyerapan karbon, hilangnya habitat satwa, dan yang paling krusial, rusaknya tata air. Biaya untuk merestorasi hutan tropis primer yang kompleks tidaklah murah. Menanam kembali pohon mungkin mudah, tetapi mengembalikan ekosistem yang utuh butuh waktu ratusan tahun.

“Potensi kerugian negara… diperkirakan mencapai Rp240 miliar, mencakup nilai kayu yang sudah ditebang (sekitar Rp42 miliar) dan kerusakan ekosistem serta lingkungan yang diakibatkannya,” rinci Rudianto.

Di balik angka-angka statistik tersebut, ada wajah-wajah nyata warga Sipora yang menderita. Di Desa Saureinu, misalnya, dampak deforestasi bukan lagi teori, tapi realitas sehari-hari yang menakutkan. Hutan yang gundul di hulu sungai telah menghilangkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan.

Alpian, Sekretaris Desa Saureinu, menceritakan bagaimana desanya kini menjadi langganan banjir. “Kalau hujan deras setengah hari saja, banjir pasti datang,” ujarnya dengan nada pasrah namun marah. Pernyataan ini menggambarkan betapa rapuhnya ketahanan lingkungan Sipora saat ini. Hutan yang dulu menjadi spons raksasa kini telah hilang, membiarkan air bah meluncur bebas menghantam pemukiman.

Di Tuapejat, pusat pemerintahan kabupaten, ironi lain terjadi: krisis air bersih di pulau yang curah hujannya tinggi. Penebangan hutan telah merusak daerah tangkapan air (catchment area), menyebabkan mata air mengering atau menjadi keruh bercampur lumpur.

Pinda Tangkas, seorang warga Desa Tuapejat, harus berjuang mendapatkan air bersih yang layak. Air PAM yang seharusnya menjadi layanan dasar seringkali tidak bisa diandalkan. Pinda terpaksa membangun sistem penampungan air hujan sendiri dengan biaya jutaan rupiah, sebuah kemewahan yang tidak mampu dijangkau oleh semua warga.

“Krisis air di Sipora merupakan dampak penebangan hutan yang telah berlangsung lama,” keluh Pinda seperti dilansir interes.ID.

Dampak ekonomi mikro pun terasa. Usaha tradisional warga seperti budidaya “toek” (cacing kayu yang bisa dimakan) terancam. Air sungai yang keruh membuat toek tidak berkembang baik dan berwarna cokelat, sehingga tidak laku dijual. Banjir bandang yang sering terjadi juga menghanyutkan kayu-kayu rendaman tempat toek hidup, menghancurkan mata pencaharian warga dalam sekejap.

Konteks geografis Mentawai yang berada di zona “Megathrust” menambah urgensi perlindungan hutan. Kepulauan ini berada di garis depan zona subduksi lempeng tektonik yang berpotensi memicu gempa besar dan tsunami. Hutan pantai (mangrove) dan hutan dataran rendah berfungsi sebagai benteng alami (bio-shield) yang dapat memecah energi gelombang tsunami dan menahan tanah dari longsor saat gempa terjadi.

Dengan membabat hutan Sipora, PT BRN dan para pelaku ilegal logging lainnya secara efektif melucuti pertahanan alami pulau tersebut. Mereka membiarkan ribuan nyawa warga Mentawai lebih rentan terhadap bencana geologis yang bisa terjadi kapan saja. Ini adalah kejahatan kemanusiaan dalam bentuk perusakan lingkungan.

Pembelaan dan Kompleksitas Hukum

Di tengah badai tuduhan, PT Berkah Rimba Nusantara (BRN) berusaha melakukan pembelaan. Melalui perwakilan hukumnya, perusahaan ini menolak keras label “mafia kayu” atau “pembalakan liar”. Mereka membangun narasi bahwa operasi mereka adalah sah dan legal.

Dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari video klarifikasi, pihak PT BRN menegaskan bahwa kayu-kayu tersebut diambil dari lahan yang sah. “Kayu ini berasal dari Areal Penggunaan Lain (APL) milik masyarakat hukum adat Kaum Tailu, bukan dari kawasan hutan lindung,” klaim mereka.

Argumen mereka bertumpu pada dokumen “alas hak” yang mereka miliki dari masyarakat adat. Mereka mengklaim telah mendapatkan izin dan klarifikasi status lahan dari instansi terkait. Lebih jauh, mereka menggunakan argumen pajak sebagai bukti legalitas.

“Kami taat pajak. Buktinya, untuk tongkang yang disita itu, kami sudah menyetor pajak ke negara sebesar Rp1,2 miliar,” ujar perwakilan perusahaan. Logika mereka: jika kayu itu ilegal, mengapa sistem negara menerima pembayaran pajak mereka? Mengapa sistem SIPUH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) menerbitkan dokumen angkut?.

Pembelaan PT BRN menyoroti celah klasik dalam tata kelola kehutanan Indonesia: tumpang tindih klaim lahan dan kelemahan sistem administrasi online. Sistem SIPUH seringkali bersifat self-assessment, di mana perusahaan memasukkan data sendiri. Jika tidak ada verifikasi lapangan yang ketat (post-audit), sistem ini bisa dimanipulasi. Kayu yang ditebang di hutan lindung (ilegal) bisa didaftarkan seolah-olah berasal dari kebun masyarakat (legal) hanya dengan memasukkan koordinat yang berbeda dalam sistem.

Penyidik Gakkum meyakini inilah yang terjadi. Pembayaran pajak Rp1,2 miliar yang dibanggakan PT BRN dianggap sebagai “biaya pencucian”. Dengan membayar pajak resmi yang nilainya kecil dibandingkan nilai kayu sebenarnya, mereka mendapatkan selembar kertas legalitas yang melindungi muatan senilai puluhan miliar.

Pemerintah juga membantah klaim bahwa lokasi penebangan adalah APL murni. Verifikasi lapangan dengan GPS geodetik membuktikan bahwa alat berat PT BRN telah melanggar batas, masuk jauh ke dalam kawasan hutan negara yang tidak boleh dikonversi atau ditebang.

Penegakan Hukum “Follow The Money”

Belajar dari kegagalan masa lalu di mana cukong kayu sering lolos dan hanya operator lapangan yang dipenjara, kali ini penegak hukum menggunakan strategi ganda. Selain menggunakan Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan No. 18 Tahun 2013, penyidik juga menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“Selain penegakan hukum pidana kehutanan, kami sedang bersiap untuk menerapkan rezim Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” tegas Rudianto Saragih Napitu. “Hal ini dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak keuntungan ilegal dan memperkuat efek jera bagi pihak-pihak yang paling diuntungkan”.

Pendekatan follow the money ini memungkinkan penyidik untuk melacak aliran dana hasil penjualan kayu. Siapa yang mendanai operasional PT BRN? Kemana uang hasil penjualan kayu sebelumnya mengalir? Apakah ada pejabat yang menerima suap? Dengan TPPU, aset-aset perusahaan dan pemilik modal (beneficial owner) bisa disita untuk negara, memiskinkan para pelaku kejahatan lingkungan.

Saat ini, Direktur PT BRN yang berinisial IM telah ditetapkan sebagai tersangka utama. Ia ditahan untuk kepentingan penyidikan. Tugboat Jenebora I dan Tongkang Kencana Sanjaya beserta muatannya disita sebagai barang bukti dan kini sandar di bawah pengawasan ketat di Gresik.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Kejaksaan Agung terus melengkapi berkas perkara. Mereka tidak hanya membidik pelanggaran administratif, tetapi kejahatan korporasi yang terorganisir. “Siapa saja yang terlibat dalam jaringan ini akan kami ungkap. Penindakan ini menjadi bukti bahwa negara tidak tinggal diam terhadap kejahatan kehutanan,” janji JAM-Pidsus Febrie Adriansyah.

Tabel Ringkasan Fakta & Data Kasus

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai skala kasus ini, berikut adalah ringkasan data yang dihimpun dari laporan resmi otoritas.

Harapan di Tengah Krisis

Kasus penyelundupan kayu Mentawai ke Gresik ini adalah cermin retak dari pengelolaan sumber daya alam kita. Di satu sisi, ia menunjukkan keberhasilan kolaborasi penegak hukum dalam menggagalkan kerugian negara yang lebih besar. Di sisi lain, ia menyingkap fakta pahit bahwa hutan-hutan di pulau terluar masih sangat rentan terhadap jarahan para pemburu rente.

Bagi masyarakat Sipora, penyitaan kayu di Gresik mungkin sedikit melegakan, namun tidak serta merta mengembalikan hutan mereka yang hilang. Pohon-pohon Meranti raksasa yang kini teronggok kaku di pelabuhan Gresik tidak akan pernah kembali tegak di bukit-bukit Tuapejat. Luka di bumi Sipora akan butuh waktu puluhan tahun untuk sembuh.

Namun, ketegasan aparat dalam kasus ini—terutama dengan penggunaan pasal pencucian uang—memberikan secercah harapan. Jika negara konsisten memiskinkan mafia kayu dan bukan hanya menghukum operator lapangan, mungkin, hanya mungkin, hutan-hutan tersisa di Mentawai masih punya kesempatan untuk bertahan. Hingga saat itu tiba, kewaspadaan tidak boleh kendur. Hutan Mentawai adalah benteng terakhir di pantai barat Sumatera; jika ia runtuh, kita semua akan merasakan getarannya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses