Menyelamatkan Gunung Slamet bukan soal menutup lubang tambang, tapi memulihkan martabat hutan sebagai penyangga kehidupan
Gunung Slamet berdiri gagah membelah langit Jawa Tengah, puncaknya yang sering tertutup kabut menjadi pasak bumi bagi lima kabupaten di sekelilingnya. Namun, di balik keagungan “Atap Jawa Tengah” ini, tersimpan cerita kelam yang tak seindah panorama puncaknya. Jika dilihat lebih dekat, lereng-lereng yang seharusnya hijau kini menampakkan luka—tanah merah yang terkelupas, sisa-sisa pengerukan yang ditinggalkan begitu saja.
Berbagai unggahan di media sosial baru-baru ini menyentak kesadaran publik. Dokumentasi visual yang beredar memperlihatkan betapa rapuhnya sabuk pengaman alami ini. Bukan karena ulah vulkanik sang gunung, melainkan akibat tangan manusia yang menjamah lerengnya melalui aktivitas tambang bekas dan kegiatan liar yang kian masif.
Jejak luka tak kunjung kering
Di kawasan Baseh, Kedungbanteng, dan Gandatapa, Baturraden, suara alam kini sering kali kalah oleh deru mesin. Aktivitas penambangan galian C—pasir dan batu—yang diduga ilegal telah mengubah wajah hutan lindung menjadi hamparan tanah terbuka yang rawan.
Bagi warga desa di kaki gunung, perubahan ini bukan sekadar statistik kerusakan lingkungan, melainkan ancaman nyawa. Sungai-sungai yang dulu berair jernih, sumber kehidupan bagi ribuan hektar sawah dan kebutuhan domestik, kini kerap berubah keruh saat hujan turun. Itu adalah sinyal pertama: tanah di atas sana sudah tidak sanggup lagi menahan air.
“Kami takut,” adalah kalimat yang sering terdengar dalam musyawarah warga desa. Ketakutan mereka beralasan. Bayang-bayang banjir bandang dan tanah longsor, seperti yang pernah meluluhlantakkan daerah lain di Indonesia akibat alih fungsi lahan, kini menghantui tidur mereka setiap kali awan gelap menggantung di puncak Slamet.
Ancaman tidak hanya datang dari aktivitas liar yang baru. Gunung Slamet juga masih menanggung beban dari “luka lama”—bekas proyek eksplorasi panas bumi (geothermal) yang sempat terhenti. Meski upaya reboisasi diklaim sedang berjalan, bekas pembukaan lahan (land clearing) di area hutan lindung, seperti yang pernah terjadi di wilayah yang berbatasan dengan Brebes dan Banyumas, meninggalkan struktur tanah yang labil.
Vegetasi asli yang hilang tidak bisa digantikan dalam semalam. Akar-akar pohon raksasa yang dulunya mencengkeram tanah kini tiada, digantikan oleh semak belukar atau tanaman muda yang belum cukup kuat menahan gerusan air hujan ekstrem. Kawasan bekas tambang ini menjadi titik-titik lemah yang sewaktu-waktu bisa memicu longsoran besar.
Tiga titik nadir di lereng Slamet
Berdasarkan laporan yang diserahkan Bupati Banyumas, Sadewo kepada Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, kerusakan ekologis di lereng selatan Gunung Slamet terpusat pada tiga “luka” utama. Dan masing-masing membawa ancamannya sendiri.
Pertama, jejak kegagalan proyek energi di Kecamatan Cilongok, tepatnya di perbatasan dengan Kecamatan Bumiayu, Brebes. Di sini, ambisi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) oleh PT Sejahtera Alam Energi (PT SAE) berakhir mangkrak. Meski proyek telah dihentikan, ia meninggalkan warisan berupa pembukaan lahan (land clearing) masif yang membuat hutan gundul. Kini, fokus di area tersebut telah bergeser menjadi reboisasi, sebuah upaya membalut luka yang membutuhkan waktu tahunan untuk pulih.
Kedua, konflik di Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng. Di wilayah dengan kontur perbukitan yang vital sebagai daerah tangkapan air ini, aktivitas tambang batu granit beroperasi di tengah penolakan keras warga. Masyarakat Baseh tak henti menyuarakan ketakutan mereka akan rusaknya sumber air dan ancaman longsor. Tekanan ini memaksa aktivitas tambang ditutup sementara, namun kecemasan belum sepenuhnya sirna.
Ketiga, pengerukan di Gandatapa, Kecamatan Baturraden. Di kawasan wisata yang sejuk ini, tambang pasir (galian C) turut menyumbang kerusakan, mengupas lapisan tanah yang seharusnya menjadi penyangga kestabilan lereng.
Dalam laporannya, Bupati Sadewo menegaskan status penanganan ketiga lokasi tersebut dengan lugas. “Cilongok sudah ditangani, Baseh dan Baturaden yang masih bermasalah,” ungkap Sadewo, menyoroti urgensi penyelesaian konflik di dua lokasi terakhir yang masih menjadi sengketa lingkungan.
Bom waktu bencana ekologis
Bagi warga desa di kaki Gunung Slamet, laporan administratif ini adalah cerminan dari ketakutan yang mereka hadapi setiap hari. Sungai-sungai yang dulu jernih kini kerap berubah keruh saat hujan, sinyal bahwa tanah di hulu tak lagi sanggup mengikat air dengan baik.
Kombinasi antara curah hujan tinggi, topografi curam, dan tanah yang “telanjang” di tiga lokasi tersebut adalah resep sempurna untuk bencana. Bayang-bayang banjir bandang, seperti yang ditakutkan warga akan menyamai tragedi di daerah lain, kini menghantui tidur mereka.
Gelombang protes warga yang menolak desing ekskavator di lereng Slamet akhirnya sampai ke telinga para pengambil kebijakan. Dan laporan Bupati Banyumas tersebut direspons cepat oleh Gubernur Ahmad Luthfi dengan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Pertambangan yang melibatkan aparat penegak hukum.
“Kita segera bentuk satgas penambangan yang isinya dinas kita, kepolisian, TNI, dan kejaksaan. Besok Dinas ESDM langsung buat surat ke Polda, Kodam, dan Kejaksaan,” tegas Luthfi.
Satgas ini diharapkan menjadi langkah konkret untuk menertibkan aktivitas tambang yang tidak sesuai aturan, mengawasi izin, dan memastikan penegakan hukum berjalan tanpa tebang pilih.
Langkah ini menjadi pertaruhan penting. Apakah negara mampu menghentikan eksploitasi di kawasan yang sedang berproses menjadi Taman Nasional ini?
Kabar Gunung Slamet sedang berproses menjadi Taman Nasional memberikan sedikit angin segar. Status Taman Nasional diharapkan menjadi perisai hukum yang lebih kuat untuk menghentikan segala bentuk eksploitasi ekstraktif di kawasan konservasi ini. Namun, bagi alam, janji administratif saja tidak cukup.
Potensi bencana di Gunung Slamet adalah bom waktu. Kombinasi antara curah hujan tinggi, topografi curam, dan tanah yang “telanjang” akibat tambang liar adalah resep sempurna untuk bencana ekologis.
Laporan dan dokumentasi warga yang viral bukan sekadar konten digital; itu adalah jeritan minta tolong dari alam. Menyelamatkan Gunung Slamet bukan hanya soal menutup lubang tambang, tetapi juga memulihkan martabat hutan sebagai penyangga kehidupan. Sebelum tanah itu benar-benar runtuh menimbun peradaban di bawahnya, tindakan nyata pemulihan harus dilakukan—sekarang, atau kita hanya akan menunggu waktu untuk menuliskan berita duka.
- Luka dan bayang-bayang bencana di Gunung Slamet
- Mendengar suara peringatan gunung di Hari Gunung Internasional
- Semangat energi terbarukan dari kampus: UIN Jakarta pasang PLTS atap, UPER bangun pusat riset keberlanjutan
- Panas geothermal berpotensi membakar hak hidup warga
- Dua hari terseret ombak, spesies ikan terbesar di dunia mati di Purworejo
- Kampus hijau bergerak: UNJ pacu transisi energi terbarukan, UPI perkuat edukasi pemilahan sampah
