Posted inOpini / Opini

Menakar keadilan dalam transisi energi Indonesia

Mengurai paradoks kebijakan energi Indonesia; produksi nikel, ketergantungan batubara, dan risiko ketidakadilan baru.

Saya memahami transisi energi yang berkeadilan (just transition) dalam konteks Indonesia sebagai proses transformasi energi dan ekonomi menuju sistem rendah karbon yang tidak hanya memerhatikan target emisi, tetapi juga secara aktif melindungi pekerja, komunitas lokal, dan kelompok rentan dari dampak negatif transisi tersebut. Just transition berarti mengurangi emisi sambil menjaga mata pencaharian, mendorong inklusi sosial, menciptakan pekerjaan layak, dan membuka jalur baru bagi pembangunan berkelanjutan

Pembahasan tentang just transition menjadi sangat penting saat ini karena Indonesia berada di persimpangan kritis. Sebagai produsen dan eksportir batubara terbesar ketiga dunia, sekaligus penghasil nikel terbesar global, Indonesia jelas menghadapi paradoks yang kompleks. Data Kementerian ESDM menunjukkan lebih dari 267.000 pekerja bekerja di industri pertambangan batubara, dengan sekitar 32.000 di antaranya bekerja di pembangkit listrik tenaga batubara. Risiko PHK massal akibat transisi energi perlu dimitigasi melalui pelatihan ulang dan skema jaminan sosial yang terintegrasi dalam regulasi baru.

Yang membuat diskusi ini lebih mendesak lagi adalah pendekatan pemerintah yang cenderung top-down. Indonesia masih terpaku pada pendekatan di mana Kementerian ESDM menyiapkan peta jalan tanpa melibatkan kelompok terdampak dan sepertinya berharap semuanya akan berjalan lancar dalam praktik. Berbeda dengan Jerman yang melibatkan komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan serikat pekerja melalui Coal Commission, atau Afrika Selatan dengan Presidential Climate Commission-nya, Indonesia belum memiliki mekanisme partisipasi yang inklusif. Sementara, saya memahami bahwa di lapangan para pekerja, masyarakat lokal, dan juga pemerintah daerah yang sumberdaya pembangunannya banyak berasal dari subsektor pertambangan batubara sudah mengalami kegelisahan akibat tidak diikutsertakan secara memadai dalam perbincangan.

Dilema batubara dan nikel
Tantangan terbesar dalam mengimplementasikan just transition di Indonesia, tentu saja, adalah ketergantungan ekonomi yang sangat dalam terhadap batubara. Pendapatan dari rantai nilai batubara merupakan bagian penting dari ekonomi Indonesia, dengan beberapa pemerintah daerah mengandalkan royalti dari operasi pertambangan hingga 40% dari anggaran mereka. Di Kalimantan Timur, batubara menyerap sekitar 11% dari angkatan kerja, menciptakan ketergantungan struktural yang sulit diputus. Belum lagi bila dihitung nilai ekonomi ikutan dari pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batubara.

Posisi Indonesia yang masih bergantung pada batubara di satu sisi, namun gencar mendorong nikel untuk baterai kendaraan listrik di sisi lainnya, mencerminkan kontradiksi kebijakan yang serius. Roadmap JETP Indonesia, yaitu Comprehensive Investment and Policy Plan, memiliki celah dan pengecualian besar untuk pembangkit listrik batubara captive off-grid, menyebutnya sebagai “kontributor transisi rendah karbon” karena perannya dalam mengolah nikel. Think tank energi Ember telah memeringatkan bahwa emisi dari pembangkit captive bisa melebihi batas sektor listrik Indonesia sebesar 290 juta ton CO2, sehingga membahayakan target NZE di tahun 2060 sekalipun. Padahal, target itu, sesuai petunjuk sains dan Persetujuan Paris, seperlunya dicapai selambatnya di tahun 2050.

Mengenai eksploitasi nikel, saya perlu menyatakan dengan tegas: eksploitasi nikel dalam bentuknya saat ini bukanlah bagian dari just transition, melainkan sangat kontradiktif dengan prinsip-prinsip keadilan iklim. Penelitian terhadap 7.721 desa di Sulawesi menunjukkan bahwa deforestasi di desa-desa pertambangan nikel hampir berlipat ganda antara 2011 dan 2018, dengan kesejahteraan lingkungan, standar hidup, dan hasil pendidikan mengalami penurunan pada tahap awal pertambangan—walaupun kemudian membawa peningkatan pendapatan untuk sebagian warga dan pemerintah daerah. Yang lebih penting lagi untuk diingat: bahwa walaupun ekosistem kendaraan listrik dinyatakan sebagai dalih peningkatan penambangan dan pengolahan nikel, sesungguhnya majoritas hasil produksi nikel Indonesia belumlah dimanfaatkan untuk itu, melainkan untuk material konstruksi seperti baja tahan karat.

Pertambangan dan pengolahan nikel menyebabkan deforestasi signifikan, polusi udara dan air, serta memancarkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar dari pembangkit batubara captive. Jadi, ironisnya, mineral yang diwacanakan dan dicita-citakan mendorong transisi energi global justru diproduksi dengan cara yang merusak lingkungan dan melanggar hak-hak masyarakat. Paradoks solusi energi bersih ini menciptakan degradasi lingkungan parah dan penggusuran komunitas di tingkat lokal, sementara bijih laterit nikel yang menyusun 60% cadangan Indonesia memerlukan high-pressure acid leaching (HPAL) yang sangat intensif energi dan terus didominasi oleh pembangkit listrik tenaga batubara.

Dampak sosial dan lingkungan
Risiko terbesar yang dihadapi pekerja tambang dalam transisi energi, bila dilakukan dengan serampangan, adalah PHK massal tanpa jaring pengaman sosial yang memadai. Friksi yang terkait dengan transisi dari pekerjaan pertambangan hulu sangat tinggi di Indonesia karena lokalisasi aktivitas pertambangan yang dapat meninggalkan seluruh komunitas dengan peluang kerja dan ekonomi yang terbatas setelah aktivitas pertambangan lokal berhenti. Tantangan temporal juga nyata: kehilangan pekerjaan bersifat langsung, sementara peluang kerja di industri rendah karbon yang baru mungkin masih memakan waktu bertahun-tahun untuk berkembang.

Negaralah yang perlu menanggung biaya sosial dari hilangnya pekerjaan di sektor batubara melalui beberapa mekanisme kritis. Pensiun dini pembangkit batubara perlu disertai program perlindungan sosial yang layak untuk pekerja yang terdampak: pelatihan ulang, jaminan pendapatan sementara, jaminan sosial, dan akses ke pekerjaan di sektor energi bersih. Pemerintah perlu melihat ini sebagai investasi sosial yang membangun energi terbarukan di atas fondasi keadilan, bukan PHK massal.

Di Indonesia, pekerjaan yang terkait dengan tenaga surya dan angin darat adalah dua pekerjaan per MW dan lima pekerjaan per MW, yang mencakup konstruksi dan pengembangan projek, serta operasi dan pemeliharaan berkelanjutan. Ini berarti transisi sektor energi kemungkinan akan menghasilkan penambahan lapangan kerja bersih di tingkat pembangkit listrik, dengan syarat program pelatihan terstruktur untuk pengalihan ketenagakerjaan itu benar-benar tersedia.

Di sisi nikel, mencegah transisi energi menciptakan ketidakadilan baru memerlukan tindakan segera dan komprehensif. Perusahaan pertambangan nikel perlu membuang seluruh jenis limbahnya dengan benar untuk meminimalkan polusi, serta memberikan kompensasi penuh dan adil kepada semua anggota komunitas, termasuk kepada masyarakat adat atas pemanfaatan tanah mereka, dan memastikan masyarakat adat dapat memberikan free, prior, and informed consent (FPIC) sesuai dengan standar dan kerangka internasional.

Di Cirebon, Jawa Barat, nelayan dan petani perlu mengubah profesi ketika lahan mereka digunakan untuk pembangkit batubara; kini banyak di antara mereka melaporkan ingin kembali ke pekerjaan mereka sebelumnya, tetapi tanah dan laut mereka tercemar dan terdegradasi akibat operasi pembangkit batubara bertahun-tahun, dan mata pencaharian tradisional tidak lagi layak. Ini menunjukkan bahwa tanpa rencana pemulihan pasca-operasi, transisi energi hanya akan meninggalkan warisan kerusakan.

Peta jalan just transition untuk Indonesia
Belajar dari banyak kasus di seluruh dunia, peta jalan just transition yang ideal untuk Indonesia perlu mencakup lima pilar utama: Pertama, pengambilan keputusan yang benar-benar inklusif dan partisipatif. Pemerintah perlu menerapkan keadilan rekognitif dengan mengakui bahwa komunitas terdampak, serikat pekerja, perempuan, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya memiliki pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang sah untuk berkontribusi pada proses transisi energi. Regulasi saat ini perlu memasukkan perwakilan dari komunitas lokal dan kelompok rentan ke dalam struktur tim kerja bersama.

Kedua, perlindungan sosial dan pelatihan ulang pekerja yang komprehensif. Ini mencakup menyediakan peluang kerja baru di sektor selain batubara dan menerapkan program pelatihan ulang, kejuruan, dan pendidikan untuk membantu para pekerja pembangkit batubara bisa beralih ke industri baru, serta memfasilitasi sistem dukungan sosial untuk pekerja dan keluarga mereka, termasuk konsultasi karier, layanan penempatan kerja, dan bantuan keuangan selama transisi. Ketiga, diversifikasi ekonomi berbasis komunitas. Indonesia bisa belajar di antaranya dari New Mexico di AS, yang selain dukungan untuk pekerja, juga memiliki dana khusus untuk suku-suku asli Amerika yang terdampak penghentian batubara untuk mendukung diversifikasi ekonomi, yang dimungkinkan oleh model bottom-up New Mexico yang mewajibkan komite lokal memimpin perencanaan transisi.

Keempat, pemulihan lingkungan dan keadilan restoratif. Analisis ICEL terhadap AMDAL enam pembangkit batubara di Sumatra, Jawa, dan Bali menemukan bahwa sebagian besar tidak menyebutkan perencanaan pasca-operasi atau langkah-langkah pemulihan lingkungan, dengan fokus terbatas yang menunjukkan AMDAL memerlakukan penutupan sebagai projek konstruksi, bukan sebagai peluang untuk pemulihan lingkungan dan keadilan iklim jangka panjang. Kelima, standar keberlanjutan/tanggung jawab sosial yang ketat untuk nikel. Diperlukan sertifikasi nikel yang bertanggung jawab yang dikaitkan dengan kuota ekspor, menciptakan insentif ekonomi untuk kinerja lingkungan yang lebih baik, serta uji tuntas hak asasi manusia wajib yang terintegrasi ke dalam proses izin pertambangan untuk memastikan hak-hak komunitas mendapat perlindungan memadai.

Kebijakan yang perlu segera diambil pemerintah termasuk: Merevisi Peraturan Menteri ESDM 10/2025 untuk memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat sipil dan pekerja dalam perencanaan transisi energi; Menghentikan izin semua pembangkit batubara captive baru dan melakukan audit komprehensif terhadap pipeline 20-30 GW pembangkit captive yang direncanakan; Membentuk Dana Transisi yang Adil dengan alokasi minimal 10% dari JETP untuk program pelatihan ulang, jaminan sosial, dan diversifikasi ekonomi komunitas.; Mewajibkan AMDAL dengan rencana pascatambang yang konkret, termasuk pemulihan ekosistem dan kompensasi untuk mata pencarian yang hilang sesuai standar internasional dari ICMM dan IRMA, dan; Menerapkan moratorium sementara pada izin pertambangan nikel baru sampai standar keberlanjutan/tanggung jawab sosial yang ketat dan mekanisme FPIC yang efektif terlembagakan.

Peran masyarakat sipil dan media massa sangatlah krusial. Masyarakat sipil sering perlu mengangkat isu dengan ‘berteriak’ untuk mendapatkan perhatian atas kekhawatiran mereka yang serius terkait tata kelola, sosial, dan lingkungan. Media massa perlu bergerak melampaui narasi polarisasi pro- versus anti-tambang dan memberikan liputan nuansa tentang dampak aktual di lapangan. Koalisi lintas-isu benar-benar perlu dibangun untuk menghubungkan para advokat iklim, serikat pekerja, kelompok hak asasi manusia, dan komunitas lokal untuk mendorong akuntabilitas pemerintah dan perusahaan yang benar-benar holistik.

Kesiapan Indonesia untuk transisi yang adil
Sejujurnya, saya perlu mengatakan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap melakukan transisi energi yang bukan hanya menjadi hijau tetapi juga dilakukan dengan adil. Beberapa indikator menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara praktik Indonesia dan gagasan just transition. Peluncuran draft CIPP JETP yang tertunda karena rencana Indonesia membangun sekitar 20 GW pembangkit batubara captive off-grid dalam dekade mendatang menunjukkan kontradiksi kebijakan yang mendasar. Ketika negara seperti berkomitmen untuk menghentikan batubara untuk listrik umum, mereka secara bersamaan mengizinkan ekspansi besar-besaran pembangkit batubara untuk industri nikel.

Namun, saya juga tak bisa menutup mata terhadap ada tanda-tanda harapan. JETP telah menciptakan momentum politik yang signifikan dan konvergensi nasional seputar peningkatan ambisi iklim, dengan proses yang terus berlanjut tanpa tanda-tanda bakal berhenti, meskipun semakin banyak tantangan yang terungkap. Tahun lalu hampir tidak ada pembicaraan tentang pembangkit batubara captive dalam wacana nasional, tetapi tahun ini semua orang membicarakan isu-isu ini dan bagaimana membuatnya berhasil, dan laporan JETP soal ini bakal diluncurkan setelah beberapa minggu lalu ada diskusi atas draftnya.

Kalau kemudian ditanyakan soal indikator keberhasilan just transition yang dapat diukur dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang, kira-kira jawabannya meliputi indiskator kuantitatif, kualitatif, dan sistemik sebagai berikut:

Indikator Kuantitatif: Pengurangan emisi sektor listrik on-grid mencapai target 250 MtCO2 pada 2030; Minimum 80% pekerja batubara yang terdampak pensiun dini pembangkit mendapat pelatihan ulang dan re-employment dalam 2 tahun; Peningkatan energi terbarukan menjadi minimal 44% untuk on-grid pada 2030; Nol pembangkit batubara captive baru yang menggunakan batubara setelah 2026, dan; Pengurangan deforestasi terkait pertambangan nikel minimal 80% dari tingkat saat ini.

Indikator Kualitatif: Mekanisme partisipasi bermakna dengan keterwakilan dari komunitas lokal dan kelompok rentan dalam setiap forum pengambilan keputusan transisi energi; Implementasi FPIC yang efektif di semua projek pertambangan baru, dengan bukti dokumentasi yang transparan; Pembentukan komite transisi di tingkat kabupaten/kota di semua wilayah pertambangan yang utama (Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, juga hampir seluruh provinsi di Sulawesi); Pengurangan signifikan dalam keluhan dan konflik terkait pertambangan, yang diukur melalui mekanisme penyelesaian keluhan yang independen, dan; Perbaikan indeks kesejahteraan komunitas tambang, termasuk kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan, selain peningkatan ekonomi.

Indikator Sistemik: Penerapan standar keberlanjutan/tanggung jawab sosial pertambangan yang mengikat dengan sanksi tegas untuk pelanggaran; Alokasi fiskal yang jelas dan transparan untuk program just transition di APBN dan APBD; Reformasi tata kelola yang mengurangi ‘pintu belakang’ antara industri ekstraktif dan politik, dan; Pembentukan dana transisi yang dikelola independen dengan partisipasi multi-pemangku kepentingan.

Kesiapan Indonesia untuk transisi yang adil akan ditentukan oleh keberanian politiknya untuk memilih antara kepentingan jangka pendek peningkatan pendapatan negara melalui industri ekstraktif versus kesejahteraan jangka panjang masyarakat dan lingkungannya. Sebagai orang yang ingin melihat just transition benar-benar bisa terwujud, saya percaya Indonesia memiliki semua elemen yang dibutuhkan yaitu sumberdaya alam, modal manusia, dan momentum internasional yang mendukung, tetapi yang masih kurang adalah kemauan politik di dalam negeri untuk menempatkan keadilan intra- dan antar-generasi di jantung transisi energinya. Tanpa ini, Indonesia berisiko hanya mengganti satu bentuk ketidakadilan, ketergantungan pada bahan bakar fosil, dengan yang lain, yaitu eksploitasi mineral atas nama transisi energi yang dilakukan dengan merusak.

Jalal, Penasihat Senior, Green Network Asia

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses