Proses pembangunan proyek geothermal kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat yang terancam hak hidupnya.
Belum usai bangsa ini mengusap air mata para korban bencana besar di Sumatera, tetapi pemangku negara masih saja mengambil kebijakan yang tidak bijak bagi masyarakat dalam hal mengeksploitasi alam. Proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, hingga kini terus berjalan, meski mendapat banyak penolakan dari warga sekitar yang khawatir proyek ini akan meningkatkan risiko bencana di tempat tinggal mereka.
Di tengah krisis iklim yang cukup genting di Indonesia, perlindungan ekosistem alam seharusnya menjadi kebijakan prioritas. Alih-alih proyek nasional, eksploitasi alam yang mengenyampingkan hak asasi manusia nyatanya hanya memunculkan bencana. Pemerintah harus lebih peka, karena korban bukanlah sekadar angka yang muncul dalam laporan dan berita.
Geothermal pada dasarnya memanfaatkan panas dari dalam bumi yang kemudian diubah menjadi listrik. Namun, keberhasilan proyek ini sangat dipengaruhi oleh tata kelola yang kuat, kajian ilmiah yang ketat, dan keterlibatan publik yang baik. Tanpa itu semua, risiko yang melekat pada proses eksplorasi dan eksploitasi panas bumi dapat muncul ke permukaan dan menumbuhkan kekhawatiran besar bagi masyarakat.
“Pemerintah harus mencari sumber energi alternatif yang tidak merusak ekonomi rakyat, tidak membahayakan keselamatan warga, dan tidak mencederai ekosistem. Transisi energi tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan masyarakat,” tegas Pengampanye Renewable Energy Trend Asia, Beyrra Triasdian.
Ancaman nyata proyek geothermal
Proses pembangunan proyek geothermal kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat yang terancam hak hidupnya. Dalam laporannya, WALHI mencatat banyak kejadian mengenai intimidasi warga yang menolak, gempa bumi, pencemaran air tanah, gagal panen, hilangnya biodiversitas endemik, hingga kejadian tragis menewaskan warga setempat yang disebabkan gas beracun dari ledakan pipa, telah menjadi daftar gelap proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP).
Risiko paling dikenal dari kegiatan geothermal adalah potensi timbulnya getaran kecil atau micro-earthquake akibat pengeboran sumur dalam. Meskipun biasanya tidak membahayakan, getaran ini dapat menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi, terutama jika terjadi berulang.
Selain itu, sumber geothermal mengandung gas seperti hidrogen sulfida (H₂S) yang berbau menyengat. Dalam kondisi normal, fasilitas geothermal memiliki sistem penangkap gas yang baik. Tetapi apabila terjadi kegagalan atau kebocoran, gas ini dapat mengganggu kesehatan warga, memicu iritasi pernapasan, atau menurunkan kualitas udara. Risiko lainnya termasuk perubahan aliran air tanah, potensi kontaminasi air, dan polusi suara akibat aktivitas pengeboran dan pengujian sumur yang berlangsung siang-malam.
Di luar risiko teknis, justru yang sering menjadi sumber konflik adalah dampak sosial dan pelanggaran hak asasi manusia ketika pengelolaan proyek tidak memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat. Masyarakat sering kali tidak diberi ruang untuk memahami atau ikut menentukan arah pembangunan. Ketika konsultasi publik hanya dilakukan secara formalitas, informasi tidak disampaikan secara terbuka, atau pendapat warga diabaikan, masyarakat merasa hak mereka dirampas. Padahal hak untuk mengetahui dan hak untuk dilibatkan adalah bagian dari HAM dasar dalam setiap pembangunan.
Selain itu, konflik lahan menjadi salah satu masalah paling serius. Banyak wilayah panas bumi berada di daerah pertanian, pemukiman, atau bahkan kawasan adat. Jika pengadaan lahan dilakukan tanpa dialog yang setara, maka masyarakat bisa terdampak kehilangan tanah, mata pencaharian, bahkan identitas budaya. Ini dapat menjadi bentuk pelanggaran HAM struktural.
Dalam beberapa kasus, warga yang mencoba menyuarakan kekhawatiran tentang dampak lingkungan atau risiko kesehatan menghadapi tekanan sosial, bahkan kriminalisasi karena dianggap menghambat pembangunan. Ketika suara masyarakat dibungkam, proyek energi yang seharusnya menjadi solusi justru menjadi sumber ketidakadilan.
Akar dari semua risiko ini bukan terletak pada teknologinya, melainkan pada bagaimana proyek geothermal dijalankan. Jika dilakukan tanpa transparansi, tanpa kajian lingkungan yang ketat, dan tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama, maka dampaknya dapat sangat merugikan dan menggerus hak asasi masyarakat sekitar.
Suara warga Gunung Gede Pangrango
Selama beberapa tahun terakhir, warga di kaki Gunung Gede Pangrango dengan lantang bersuara untuk menolak proyek geothermal di dekat wilayah mereka. Penolakan terbaru disuarakan bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, pada 10 Desember 2025. Di depan Pendopo Bupati Cianjur, warga serempak membawa spanduk, surat pernyataan, serta satu tuntutan yang sama: hak untuk hidup aman di tanah sendiri, dan hak atas lingkungan yang sehat.
Bagi warga sekitar, rencana pembangunan proyek geothermal di kawasan Gunung Gede Pangrango tidak hanya urusan energi, tetapi soal masa depan desa, keselamatan keluarga mereka, serta ruang hidup yang layak.
“Ini bukan sekadar proyek. Ini menyangkut hak hidup kami. Gunung itu (Gede Pangrango) sumber air kami, tempat kami bergantung sebagai petani. Kalau rusak, kami kehilangan masa depan,” kata Ulis Safitri, warga Sukatani yang hari itu turut berorasi.
Keputusan Menteri ESDM No. 2778 Tahun 2014 menetapkan lebih dari 92 ribu hektar kawasan Gunung Gede Pangrango ditetapkan sebagai wilayah kerja panas bumi. Di dalamnya termasuk hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan konservasi, wilayah yang secara ekologis menjadi pusat penyimpanan air dan habitat penting flora-fauna endemik.
Pembangunan geothermal di kawasan berkarakter geologi aktif seperti ini membawa risiko tambahan. Lereng Gede Pangrango berada di dekat sesar aktif Cugenang, di mana injeksi fluida panas bumi pada pengeboran dapat memicu pergerakan sesar minor. Warga pun masih mengingat dengan jelas runtuhan rumah, sekolah, dan jalan yang terkena dampak gempa beberapa tahun lalu.
“Rumah kami hancur karena gempa itu. Sekarang gunung yang sama mau dibor. Bagaimana nasib kami kalau bencananya lebih parah? Keselamatan kami bukan angka di laporan proyek,” keluh Sarah, seorang mahasiswa sekaligus warga Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Geothermal memang peluang besar bagi masa depan energi Indonesia. Tetapi peluang itu hanya dapat diwujudkan jika keamanannya dijamin, hak masyarakat dihormati, dan tata kelola dilakukan dengan integritas tinggi. Energi bersih seharusnya tidak hanya membersihkan bumi dari emisi, tetapi juga memuliakan manusia yang hidup di sekitarnya.
- Luka dan bayang-bayang bencana di Gunung Slamet
- Mendengar suara peringatan gunung di Hari Gunung Internasional
- Semangat energi terbarukan dari kampus: UIN Jakarta pasang PLTS atap, UPER bangun pusat riset keberlanjutan
- Panas geothermal berpotensi membakar hak hidup warga
- Dua hari terseret ombak, spesies ikan terbesar di dunia mati di Purworejo
- Kampus hijau bergerak: UNJ pacu transisi energi terbarukan, UPI perkuat edukasi pemilahan sampah
