Dengan rating ESG yang membaik Pertamina berambisi jadi pemimpin transisi energi (Energy Transition Champion) di Asia Tenggara.
Di tengah desakan global agar industri bahan bakar fosil mempercepat dekarbonisasi, momen ulang tahun ke-68 PT Pertamina (Persero) pada 10 Desember 2025 menjadi penanda penting bagi arah baru raksasa energi pelat merah tersebut. Bukan sekadar perayaan seremonial, momentum ini ditandai dengan pengakuan internasional terhadap tata kelola keberlanjutan perusahaan, sebuah validasi krusial bagi ambisi Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Pertamina mencatat lompatan signifikan dalam rating ESG alias Environmental, Social, and Governance.
Lembaga pemeringkat MSCI menaikkan rating ESG Pertamina dari level BB menjadi BBB. Kenaikan ini bukan satu-satunya indikator; Sustainalytics, lembaga pemeringkat risiko ESG terkemuka lainnya, memberikan skor risiko 23,4 (Medium Risk) bagi Pertamina. Angka ini menempatkan BUMN tersebut di peringkat pertama dari 57 perusahaan dalam sub-industri minyak dan gas terintegrasi secara global.
Bagi sebuah perusahaan ekstraktif, pergeseran peringkat ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan cerminan dari transformasi fundamental dalam cara perusahaan mengelola dampak lingkungan dan risiko sosialnya.
Validasi transformasi hijau
Kenaikan peringkat ini datang di saat yang kritis, ketika investor global makin selektif menanamkan modal pada perusahaan yang memiliki peta jalan dekarbonisasi yang jelas. Vice President Corporate Communication Pertamina, Muhammad Baron, menilai pencapaian ini sebagai bukti bahwa strategi keberlanjutan yang dijalankan perusahaan berada di jalur yang benar.
“Peningkatan rating menjadi BBB adalah pengakuan internasional atas upaya Pertamina menjalankan bisnis yang lebih hijau, transparan, dan bertanggung jawab. Ini menjadi dorongan bagi kami untuk memperkuat kontribusi terhadap ketahanan energi nasional sekaligus mendukung target Net Zero Emission 2060,” ujar Baron.
Transformasi ini mencakup spektrum yang luas, mulai dari upaya menekan emisi karbon dalam operasional hulu hingga hilir, serta penguatan tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance).
Ketahanan dan keberlanjutan
Tantangan terbesar bagi Pertamina adalah menyeimbangkan dua mandat utama: menjaga ketahanan energi nasional di satu sisi, dan melakukan transisi energi di sisi lain. Dalam lanskap yang berubah cepat ini, Baron menekankan bahwa Pertamina tidak bisa lagi hanya terpaku pada cara-cara lama.
“Pertamina bergerak tidak hanya untuk memenuhi target bisnis, tetapi juga memastikan setiap langkah kami memperkuat ketahanan energi nasional. Implementasi ESG merupakan strategi Pertamina untuk meningkatkan daya saing di tengah perubahan global,” jelas Baron.
Ia menambahkan bahwa perusahaan kini telah memasuki fase akselerasi. Fokus utamanya meliputi dekarbonisasi operasi yang masif, pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), penerapan prinsip ekonomi sirkular (circularity), hingga pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah operasi.
“Pertamina berkomitmen mempercepat investasi hijau, memperluas implementasi energi baru terbarukan, dan memperkuat tata kelola perusahaan dengan mengedepankan GCG,” tegasnya.
Narasi transisi energi Pertamina tidak hanya berhenti di ruang rapat korporasi atau kilang minyak besar. Dampak dari kebijakan ESG ini juga diterjemahkan ke dalam program tapak yang menyentuh masyarakat akar rumput. Salah satu inisiatif kuncinya adalah Program Desa Energi Berdikari.
Hingga saat ini, Pertamina telah memfasilitasi pengembangan energi bersih di 252 desa di berbagai wilayah Indonesia. Program ini bertujuan mengurangi ketergantungan desa pada energi fosil sekaligus menggerakkan roda ekonomi lokal melalui energi terbarukan yang lebih terjangkau.
“Pertamina menjalankan operasional bisnis lebih hijau dan ramah lingkungan. Pada saat yang sama Pertamina menjalankan berbagai program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) untuk mendukung pelestarian lingkungan secara berkelanjutan sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat,” tutur Baron.
Langkah ini dinilai selaras dengan visi Asta Cita Pemerintah untuk membangun kemandirian energi dari level paling dasar.
“Pertamina memfasilitasi penggunaan energi terbarukan sehingga terbangun swasembada energi berbasis desa. Pertamina juga mendorong ekonomi masyarakat selaras dengan Asta Cita Pemerintah,” tambahnya.
Menuju “energy transition champion”
Dengan rating ESG yang membaik dan peta jalan yang semakin terarah, Pertamina berambisi mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin transisi energi (Energy Transition Champion) di Asia Tenggara.
Komitmen ini mengikat seluruh lini bisnis perusahaan untuk terus berinovasi dalam menekan jejak karbon, sembari tetap melayani kebutuhan energi publik. Baron menutup dengan menegaskan bahwa seluruh inisiatif ini adalah bagian dari strategi jangka panjang yang tidak terpisahkan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dengan status “Medium Risk” dan peringkat teratas di sub-industrinya, Pertamina kini memiliki modal kepercayaan lebih besar untuk menarik investasi hijau, sebuah elemen vital untuk membiayai transisi energi Indonesia yang mahal dan kompleks di tahun-tahun mendatang.
- Solidaritas Papua menggugat absennya negara di bencana Sumatera
- Lagu ‘Tamiangku’ merekam pilu di tengah banjir yang menenggelamkan
- Menakar keadilan dalam transisi energi Indonesia
- Suhu Bumi melonjak, 2025 termasuk tahun terpanas sepanjang sejarah
- Runtuhnya Tongkonan Ka’pun Toraja, potret krisis pengakuan hak adat di Indonesia
- Upaya tiga dekade belum maksimal, ini strategi baru konservasi elang jawa
