Fungsi hutan alami yang demikian kompleks, sulit ditiru oleh lahan monokultur seperti kebun kelapa sawit.
Penanggulangan pasca bencana besar yang terjadi di Sumatera pada akhir November 2025 lalu, saat ini masih jauh dari kata selesai. Tiga provinsi yang terkena dampak hingga kini belum bisa beraktivitas seperti semula. Kenaikan status bencana nasional yang disuarakan masyarakat agar bisa mendapat lebih banyak bantuan, masih sebatas harapan di sosial media.
Seperti yang umum diketahui oleh masyarakat, pembabatan hutan yang semena-mena menjadi pelaku utama bencana yang menimpa Sumatera. Peran hutan sebagai penahan air hujan alami dan rumah bagi berbagai macam satwa kini sudah banyak yang gundul. Tak sedikit pula hutan yang disulap menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Alhasil, curah hujan yang tinggi dan bertemu dengan kondisi tutupan lahan yang tidak lagi mampu menyerap air secara optimal, membuat banjir dan longsor tak bisa dihindari.
Meski sama-sama pohon, tetapi kelapa sawit tidak bisa menggantikan fungsi hutan. Hal yang sama juga ditegaskan oleh ahli Ekofisiologi Tumbuhan dari Institute Teknologi Bandung (ITB), Dr. Taufikurahman.
“Kebun kelapa sawit itu monokultur dengan jarak antar tanaman sekitar 9 meter. Ada ruang terbuka antar pohon dan akarnya serabut sehingga dangkal. Hal inilah yang menyebabkan sawit kurang bisa menahan air dan mengikat tanah,” ujar Taufikurahman menjelaskan perbedaan fungsi ekologis antara tanaman sawit dan hutan alami, dikutip dari laman resmi ITB.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, hutan alami memiliki sistem vegetasi yang bersifat berlapis dan kompleks. Hutan alami terdiri dari berbagai tingkat tajuk pohon, akar yang menembus jauh ke dalam tanah, serta lapisan serasah tebal yang berfungsi seperti spons alami. Struktur ini yang membuat hutan mampu menahan air hujan, memperlambat aliran air, dan memungkinkan infiltrasi ke dalam tanah.
“Tajuk pohon di hutan alami mampu menahan air hujan sehingga air turun perlahan dan meresap karena gravitasi sehingga mengurangi kecepatan air hujan saat sampai tanah,” imbuhnya.
Fungsi sawit tak setara hutan alami
Fungsi hutan alami yang demikian kompleks, sulit ditiru oleh lahan monokultur seperti kebun kelapa sawit. Akar sawit yang dangkal dan pola penanaman yang seragam, membuat tanah lebih mudah tergerus ketika hujan deras datang. Ruang terbuka di antara tanaman sawit turut mempercepat jatuhnya air hujan ke tanah tanpa hambatan, sehingga mengurangi kemampuan infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan yang membawa erosi.
Selain itu, keanekaragaman tumbuhan dan struktur vegetasi hutan alami memainkan peran penting dalam siklus nutrisi tanah. Hutan yang alami memiliki berbagai spesies yang berinteraksi secara ekologis, mendukung biota tanah, serta menjaga struktur tanah yang sehat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kebun sawit yang monokultur dan intensif karena menggunakan pupuk serta pestisida, yang justru mengganggu biota tanah alami.
Hutan memberikan kehidupan
Perbedaan fungsi ekologis ini tidak hanya soal penyerapan air. Hutan hujan tropis memberikan kehidupan karena memiliki kemampuan menyimpan cadangan karbon 4–10 kali lebih banyak dibandingkan lahan sawit. Penyimpanan ini termasuk karbon yang tersimpan dalam biomassa (batang, akar, daun) serta dalam tanah sebagai soil organic carbon yang sangat besar, di samping material organik seperti kayu lapuk yang lama terurai.
Hutan juga menyediakan habitat bagi ragam satwa seperti gajah, harimau, orangutan, monyet, dan burung, termasuk spesies-spesies lain yang sulit atau bahkan tidak bisa berkembang secara alami di ekosistem kebun sawit. Hal tersebut menegaskan fungsi hutan alami sebagai sumur biodiversitas yang tak tergantikan hanya dengan menanam satu jenis tanaman.
Tak hanya itu, dari perspektif geomorfologi dan hidrologi, hilangnya hutan alami berarti melenyapkan mekanisme penahan dan pengatur aliran air dalam ekosistem. Ketika hujan lebat turun di wilayah perbukitan yang telah mengalami konversi lahan, tanah yang kehilangan kemampuan menyerap air langsung menghasilkan aliran permukaan yang deras dan membawa material tanah ke hilir. Hal serupa juga menjadi faktor pendorong banjir dan longsor di Sumatera.
“Dalam jangka panjang, tekanan ekologis dari perubahan ini membuat wilayah rawan bencana semakin meluas, dan masyarakat di sekitarnya menghadapi risiko yang semakin besar,” jelas Taufikurahman.
Pemulihan hutan tidak instan
Ketika lahan hutan telah diganti menjadi kebun sawit atau digunakan untuk tambang, memulihkan fungsi ekologis yang hilang tidaklah instan. Proses restorasi ekologis memerlukan waktu bertahun-tahun, melibatkan inventarisasi spesies tanaman lokal, penyediaan bibit yang sesuai, dan pemulihan kualitas tanah yang sering mengalami degradasi.
Upaya pemulihan hutan juga memerlukan komitmen jangka panjang, tata kelola yang baik, dukungan pendanaan, serta pendidikan lingkungan yang kuat. Menurut Taufikurahman, pendidikan lingkungan hidup perlu diberikan kepada pejabat publik dan mahasiswa di berbagai disiplin ilmu, agar keputusan yang diambil di masa depan lebih mencerminkan pemahaman ekologis yang mendalam.
“Pejabat perlu memahami konsep dasar lingkungan agar tidak salah mengambil keputusan,” tegasnya.
