Limbah pesantren ditangani secara mandiri dan berkelanjutan. Dari sampah menjadi energi.
Di dinding sebuah pondok pesantren di Bantul, Yogyakarta, tertulis kalimat sederhana dari KH Ali Maksum, “Nek ora gelem ngeresiki, ojo ngeregeti” yang berarti “kalau tak mau membersihkan, jangan mengotori”. Bagi pengurus dan satri Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum, petuah ini bukan sekadar kata-kata, melainkan fondasi moral yang membangkitkan kesadaran kolektif, sekaligus menjadi semangat untuk menanamkan budaya cinta kebersihan dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Sejak 12 Juli 2023, Pondok Pesantren Ali Maksum memulai gerakan bernama Krapyak Peduli Sampah, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk menangani limbah pesantren secara mandiri dan berkelanjutan. Ide ini membawa semangat untuk mengubah sampah dari sebuah beban, menjadi sumber daya.
“Sampah bisa menjadi emas, jika kita mengubah mindset kita,” kata Direktur Krapyak Peduli Sampah, Andika Muhammad Nuur.
Masalah lingkungan berupa darurat sampah masih menghantui Yogyakarta hingga saat ini. Sampah-sampah terus menggunung hampir di semua depo. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta mencatat, produksi sampah harian di kota ini mencapai 300 ton per hari. Sementara Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan di Kabupaten Bantul sudah mengalami kelebihan kapasitas dengan jatah pembuangan hanya 600 ton per bulan.
Sebelum gerakan Krapyak Peduli Sampah dijalankan, Pondok Pesantren Ali Maksum harus merogoh kantong hingga Rp12 juta setiap bulan, guna membuang 12 ton sampah yang dihasilkan setiap harinya.
“Penumpukan sampah adalah penyakit. Maka dari itu, kami memiliki prinsip Sampah Hari Ini, Selesai Hari Ini. Dari prinsip itu kami mencoba menyelesaikan permasalahan sampah,” ujar Andika.
Kini program 3R (reduce-reuse-recycle) dijalankan secara disiplin. Para santri dengan cekatan memilah dan mengolah sendiri sampah-sampahnya. Alhasil, volume yang harus dibuang menyusut drastis dari 2 ton menjadi hanya sekitar 100 kilogram per hari.
Ada 20-30 macam pemilahan sampah yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Krapyak, di antaranya plastik transparan, kresek, plastik keras, mika, botol plastik, botol kaca, gelas plastik, alumunium, besi, styrofoam, tisu, kertas putih, kaleng, kertas minyak, alat mandi, baju bekas, sandal, karton, kardus, hingga sampah organik lainnya.
Sampah organik diolah dalam biodigester sehingga menghasilkan biogas. Energi ini kemudian digunakan oleh Pondok Pesantren Krapyak untuk memasak di dapur pondok. Limbah padat dan cair dari proses ini pun turut diolah menjadi pupuk organik dan media tanam.
Sementara sampah plastik dan material anorganik tidak dibuang sia-sia, karena dapat diolah menjadi ecobrick, paving block, kursi, sandal, hingga produk kreatif lain yang bisa dijual. Bahkan, Pondok Pesantren Krapyak mencatat pendapatan dari daur ulang sampah bisa mencapai Rp10 juta per bulan.
Dengan sistem ini, pondok tak cuma menghemat ongkos pembuangan, tetapi juga merintis ekonomi sirkular berbasis komunitas. Sampah bukan lagi limbah, melainkan “komoditas” bernilai.
Sampah membangun ekonomi dan tanggung jawab sosial
Melalui Krapyak Peduli Sampah, pondok pesantren Ali Maksum memberi lebih dari sekadar pelajaran agama. Santri belajar tentang tanggung jawab terhadap alam, prinsip keberlanjutan, dan nilai kerja keras. Mereka mendapat pelatihan nyata mengelola sampah, dari nilai kebersihan, keterampilan teknis (pengolahan biogas, daur ulang plastik), hingga tata kelola usaha kecil berbasis limbah.
Pondok Pesantren Krapyak menunjukkan bahwa krisis sampah yang sering dibicarakan sebagai masalah bagi banyak kota di Indonesia, bisa dijawab dari komunitas terkecil. Melaui tekad, kedisiplinan, dan kreativitas, sesuatu yang dianggap sampah bisa disulap menjadi energi , pupuk, produk bernilai, bahkan sumber penghasilan.
- Suara masyarakat adat Asia Tenggara yang terus tersisih
- Santri mandiri, ubah sampah menjadi energi biogas
- Bukan sekadar tren, bangunan hijau pertaruhan terakhir melawan krisis iklim
- Menguji taji UU Anti-SLAPP pada kasus pejuang lingkungan Munif dan Dera
- Solusi berkelanjutan, membangun sekolah dari sampah plastik
- Beban sunyi yang dipikul perempuan korban bencana di Sumatera
