Bantuan yang dibutuhkan korban bencana Sumatera belum terpenuhi. Ada kesenjangan besar antara skala kerusakan dengan respon Jakarta
Ribuan warga di Sumatera dan Aceh kini tengah bergelut dengan lumpur dan kehilangan. Bencana banjir bandang yang melanda wilayah ujung barat Indonesia tersebut telah meluluhlantakkan permukiman dan merenggut kenyamanan ribuan masyarakat sipil. Namun, di tengah jeritan para korban yang membutuhkan pertolongan, respon dari pemerintah pusat dinilai lambat dan minim empati.
Keheningan istana dalam merespons krisis ini memicu keprihatinan mendalam, bukan hanya dari warga setempat, melainkan dari saudara-saudara mereka di ujung timur Indonesia. Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Jadetabek menyuarakan kritik keras terhadap apa yang mereka sebut sebagai ketidakseriusan pemerintah pusat dalam menangani bencana ini.
Di lapangan, realitasnya jauh dari kata tertangani. Semifon Arikson Kambue, Ketua Ikatan Mahasiswa Papua, menegaskan bahwa bantuan yang sangat dibutuhkan masyarakat belum terpenuhi secara memadai. Ada kesenjangan besar antara skala kerusakan dengan respon Jakarta.
“Kami melihat bencana yang terjadi di Sumatera dan Aceh tidak ada penanganan khusus dari pemerintah pusat. Padahal di lapangan masyarakat masih banyak membutuhkan bantuan dari pemerintah,” ujar Semifon di di kantor LBH Jakarta, Sabtu (13/12/2025).
Pernyataan ini bukan sekadar kritik kosong. Ini adalah cerminan dari rasa frustrasi publik terhadap lambannya mesin birokrasi bekerja ketika nyawa rakyat menjadi taruhannya. Bagi para mahasiswa Papua ini, keterlambatan pencegahan, peringatan dini, hingga penanganan pascabencana yang berujung pada hilangnya nyawa dan harta benda, adalah bentuk nyata pengabaian negara terhadap hak asasi manusia warganya.
Bencana buatan manusia
Lebih dari sekadar fenomena alam, banjir bandang di Sumatera dan Aceh dipandang sebagai manifestasi dari kerusakan lingkungan yang sistemik. Edianus Alom, Wakil Ketua Mahasiswa Papua Jakarta, menyoroti bahwa bencana ini adalah konsekuensi dari “kejahatan ekologis” yang dilakukan demi kepentingan segelintir pihak.
Hutan yang gundul dan tanah yang dieksploitasi tak lagi mampu menahan air. Oleh karena itu, desakan agar Presiden segera menetapkan status Bencana Nasional bukan hanya soal administrasi, melainkan demi kemanusiaan dan percepatan pemulihan.
Solidaritas ini juga membawa tuntutan tegas: hentikan segera segala bentuk aktivitas pertambangan dan perkebunan yang tidak dibutuhkan rakyat. Aktivitas ekstraktif ini dinilai sebagai biang kerok yang akan terus memicu gelombang bencana yang lebih besar di masa depan.
Kepedulian ini juga didasari oleh nasib rekan-rekan mereka sesama mahasiswa Papua yang sedang menuntut ilmu di tanah Sumatera. Bencana ini turut berdampak pada kondisi mahasiswa Papua di tiga provinsi, yakni Aceh (Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa), Sumatera Utara (Medan), dan Sumatera Barat (Padang). Mereka mendesak Gubernur se-Tanah Papua dan pemerintah terkait untuk tidak menutup mata terhadap kondisi anak-anak Papua yang terdampak di sana.
Menuntut keadilan iklim
Suara dari Jakarta ini mengirimkan pesan yang jelas: deforestasi dan pengrusakan alam adalah pelanggaran HAM berat. Mereka bahkan menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili pelaku deforestasi sebagai penjahat kemanusiaan. Korban dari kerakusan ini bukan hanya generasi sekarang di Sumatera, tetapi juga masa depan Kalimantan, Sulawesi, hingga kampung halaman mereka di Papua.
Di tengah absennya kehadiran negara secara maksimal, elemen masyarakat sipil kini bersatu. Mereka menggugat dan menuntut pertanggungjawaban negara untuk segera memulihkan duka saudara-saudara di Sumatera dan Aceh. Sebab, membiarkan rakyat berjuang sendirian di tengah bencana adalah pengkhianatan terhadap mandat konstitusi.[Oscar Ugipa]
- Perempuan Dayak Seberuang menjaga ekonomi kampung di balik kabut Silit
- Solidaritas Papua menggugat absennya negara di bencana Sumatera
- Lagu ‘Tamiangku’ merekam pilu di tengah banjir yang menenggelamkan
- Menakar keadilan dalam transisi energi Indonesia
- Suhu Bumi melonjak, 2025 termasuk tahun terpanas sepanjang sejarah
- Runtuhnya Tongkonan Ka’pun Toraja, potret krisis pengakuan hak adat di Indonesia
