Wajah diplomasi Indonesia akan tercoreng jika menurunkan ambisi pengurangan dampak krisis iklim di saat dunia sedang memperkuatnya.

Di tengah krisis iklim global yang semakin nyata, dunia membutuhkan kepemimpinan, bukan kehati-hatian yang berujung pada stagnasi. Indonesia, sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan pusat keanekaragaman hayati global, memiliki tanggung jawab strategis untuk menjadi bagian dari solusi.
Namun, penundaan pengajuan dokumen iklim Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dan wacana penyesuaian target FOLU Net Sink 2030 ke arah yang kurang ambisius justru mengirim sinyal yang bertolak belakang dengan harapan global terhadap Indonesia.
Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan menanggapi pernyataan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang menyebut bahwa dokumen Second NDC harus “realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi”.
SNDC adalah versi terbaru dari kontribusi iklim nasional (NDC) yang wajib diperbarui setiap lima tahun sesuai amanat Perjanjian Paris. Tahun 2025 menjadi tonggak penting: seluruh negara harus mengajukan NDC baru yang ambisius, progresif dan sejalan dengan target untuk membatasi suhu global di bawah 1.5°C.
Namun, ambisi kolektif dari NDC yang ada saat ini masih akan membawa dunia ke jalur pemanasan 2.5–2.9°C—jauh dari batas aman 1.5°C. Tanpa peningkatan besar-besaran dalam SNDC tahun ini, dunia justru melaju menuju bencana.
Dalam pernyataannya kepada publik pada 16 Juni 2025 lalu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan bahwa SNDC harus disusun secara realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi. Ia juga menyatakan bahwa target yang terlalu ambisius dapat merusak wajah diplomasi Indonesia jika pada akhirnya tidak tercapai.
“Justru saat inilah dunia memerlukan negara-negara yang berani memimpin dengan ambisi tinggi. Komitmen besar yang didukung kebijakan konkret jauh lebih dihargai daripada kehati-hatian yang akhirnya memundurkan langkah kolektif global. Dan yang paling mencoreng wajah diplomasi Indonesia adalah jika kita menurunkan ambisi pada saat dunia sedang memperkuatnya,” tambah Nadia Hadad, di Jakarta, 18 Juni 2025.
“FOLU Net Sink 2030 adalah komitmen yang sudah mendapat pengakuan global. Melemahkannya hanya karena kekhawatiran tidak tercapai bukanlah bentuk kepemimpinan, melainkan kemunduran.”
Kunci mengurangi dampak krisis iklim
Pernyataan Raja Juli bahwa target net sink harus dipertimbangkan secara realistis dengan memperhatikan berbagai dinamika pembangunan nasional, seperti ketahanan pangan dan pengembangan bioenergi, memperkuat kekuatiran bahwa Indonesia berpotensi mundur dari ambisi yang telah dijanjikan. Padahal, menjaga hutan dan ekosistem adalah kunci utama dalam strategi mitigasi dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.
MADANI Berkelanjutan menegaskan bahwa SNDC harus menjadi tonggak penguatan arah pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan adil iklim. Penundaan hanya akan memperbesar resiko ekonomi, sosial, dan ekologis ke depan. Indonesia harus memperkuat, bukan melemahkan, posisi strategisnya di tengah panggung internasional, terutama sebagai negara pemilik hutan tropis terbesar ketiga dunia.
Tahun lalu, pada 29 Agustus 2024, 64 lembaga yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sipil untuk SNDC Berkeadilan telah menyerahkan dokumen rekomendasi SNDC kepada Pemerintah Indonesia, menjelang COP di Baku. Rekomendasi tersebut menekankan pentingnya ambisi yang selaras dengan sains, keadilan sosial, serta pelibatan aktif kelompok rentan dan masyarakat sipil dalam proses penyusunan.
Dalam release media saat itu, Nadia Hadad telah menegaskan, “Pemerintah harus membuka ruang partisipasi bermakna, melibatkan kelompok rentan dan masyarakat sipil agar SNDC mencerminkan kebutuhan rakyat, bukan sekadar akomodasi sektor industri. Kalau tidak, kita hanya akan punya dokumen yang rapi di atas kertas tapi gagal menjawab krisis.”
Kini pun, MADANI Berkelanjutan mendesak agar Pemerintah segera mengajukan SNDC yang ambisius dan berkeadilan untuk mengurangi dampak krisis iklim.
“Target FOLU Net Sink harus dipertahankan sebagai tulang punggung mitigasi, dan langkah-langkah adaptasi harus dijalankan secara inklusif, berpihak pada mereka yang paling terdampak. Tanpa keadilan, tidak ada transisi yang bisa diterima. Ambisi tinggi bukan bertentangan dengan realitas—melainkan satu-satunya jalan untuk memastikan masa depan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Nadia Hadad.