Warga Sumatera Selatan menyambangi gedung Pengadilan Tinggi Palembang untuk menyuarakan jeritan korban kabut asap yang tak didengar majelis hakim.

Sejumlah warga Sumatera Selatan menggelar aksi damai di depan Pengadilan Tinggi Palembang, menyusul pengajuan banding atas gugatan kabut asap. (Muhammad Hatta/Greenpeace)
Sejumlah warga Sumatera Selatan menggelar aksi damai di depan Pengadilan Tinggi Palembang, menyusul pengajuan banding atas gugatan kabut asap. (Muhammad Hatta/Greenpeace)

Semangat juang korban kabut asap di Sumatera Selatan masih belum padam. Sejumlah warga Sumatera Selatan menyambangi gedung Pengadilan Tinggi Palembang, 16 Juli 2025. Dalam keheningan, mereka menyuarakan jeritan korban kabut asap yang tak didengar majelis hakim lewat spanduk berbunyi Belum Merdeka dari Asap, Pulihkan Gambut Selamatkan Iklim dan Forest not Fires.

Dengan kostum pemadam kebakaran lengkap, peserta aksi juga mendatangi destinasi ikonik di Kota Palembang, Jembatan Ampera.

Aksi ini dilakukan menyusul pernyataan banding yang diajukan sebelas korban kabut asap Sumatera Selatan ke Pengadilan Tinggi Palembang. Bersama dengan Greenpeace Indonesia sebagai penggugat intervensi, upaya hukum lanjutan ini ditempuh sebagai bentuk perlawanan atas putusan NO yang diterbitkan oleh majelis hakim pekan lalu.

“Keputusan majelis hakim yang menyatakan bahwa gugatan kami tidak dapat diterima adalah tanda kalau mereka bahkan tidak sampai menyentuh intisari dari gugatan kami. Jadi hanya berhenti di persoalan formil saja. Padahal, gugatan ini adalah salah satu bentuk ikhtiar kami untuk dapat hidup di lingkungan yang bersih dan sehat,” tandas Rendy Zuliansyah, salah satu dari sebelas penggugat, dalam keterangan resmi.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, yang terdiri dari Oloan Exodus Hutabarat, Agung Ciptoadi, dan Eduward, memutus untuk tidak menerima gugatan terhadap tiga perusahaan kayu—PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries. Dalam memutus gugatan ini, majelis hakim menganggap bahwa gugatan sebelas korban kabut asap tidak jelas, karena tidak menuntut pemulihan.

Sementara itu, gugatan intervensi yang diajukan oleh Greenpeace Indonesia dianggap kurang pihak, lantaran tidak melibatkan pemerintah dalam tuntutan. Tim kuasa hukum penggugat menilai putusan hakim ini bermasalah dan menyalahi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 1 tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

“Penggugat telah menuntut restorasi lingkungan yang sebenarnya bagian dari pemulihan dalam petitum. Namun, majelis hakim masih menilai bahwa gugatan kami tidak jelas karena dianggap tidak mencantumkan permohonan pemulihan lingkungan. Kami menilai hakim telah menyalahi pasal 189 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon atau ultra petita,” ujar Sekar Banjaran Aji, mewakili tim kuasa hukum para penggugat.

Tim kuasa hukum juga berpendapat majelis hakim salah kaprah menganggap gugatan intervensi Greenpeace Indonesia kurang pihak. Perma Nomor 1 Tahun 2023 jelas menyatakan bahwa pemerintah tidak wajib menjadi pihak terkait dalam suatu kasus. Selain itu, hak untuk menarik pihak terkait dalam perkara strict liability (pertanggungjawaban mutlak tanpa kesalahan) itu tidak ada pada penggugat.

“Para tergugatlah yang harus memohonkan jika ada pihak terkait perkara. Jika hakim terus menerus salah menerapkan Perma Nomor 1 Tahun 2023, bagaimana korban pencemaran bisa menang menuntut para pencemar?” ujar Sekar.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses