WALHI: kerentanan ekologis meningkat akibat deforestasi, eksploitasi, dan lemahnya respons negara terhadap peringatan dini serta perlindungan ruang hidup masyarakat.

Sejumlah kendaraan melintas jalur Tarutung-Sibolga di Dusun Sibalanga, Desa Sibalanga, Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Selatan, Senin (1/12). (Bidang Komunikasi Kebencanaan / Danung Arifin)
Sejumlah kendaraan melintas jalur Tarutung-Sibolga di Dusun Sibalanga, Desa Sibalanga, Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Selatan, Senin (1/12). (Bidang Komunikasi Kebencanaan / Danung Arifin)

Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25–27 November 2025 menimbulkan dampak besar: ratusan orang meninggal dan hilang, dan lebih dari 150 ribu orang mengungsi.

WALHI mencatat bahwa bencana ini dipicu oleh meningkatnya kerentanan ekologis akibat perubahan bentang ekosistem penting, terutama hutan, yang diperparah oleh krisis iklim. Pada 2016–2025, sekitar 1,4 juta hektare hutan di tiga provinsi tersebut hilang karena aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, serta izin PLTA dan PLTM.

Kerusakan DAS di tiga provinsi

Bencana di ketiga provinsi bersumber dari kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang hulu­nya berada di bentang hutan Bukit Barisan.

Di Sumatera Utara, wilayah paling terdampak berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru)—meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. Sepanjang 2016–2024, ekosistem ini kehilangan 72.938 hektare hutan akibat operasi 18 perusahaan.

Di Aceh, dari 954 DAS, 60% berada dalam Kawasan Hutan dan 20 di antaranya berstatus kritis. Kerusakan signifikan terjadi pada:

DAS Krueng Trumon (53.824 ha): 43% tutupan hutan hilang (2016–2022), kini tersisa 30.568 ha.

DAS Singkil (1.241,775 ha): tinggal 421,531 ha tutupan hutan pada 2022; hilang 820,243 ha dalam 10 tahun (66%).

DAS Jambo Aye (479.451 ha): kerusakan 44,71%.

DAS Peusangan (245.323 ha): kerusakan 75,04%.

DAS Krueng Tripa (313.799 ha): kerusakan 42,42%.

DAS Tamiang (494.988 ha): kerusakan 36,45%.

Di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin (12.802 ha) yang hulunya berada di Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan juga mengalami degradasi serius. Sepanjang 2001–2024, DAS ini kehilangan 780 hektare tutupan pohon, terutama di bagian hulu yang berfungsi menahan aliran permukaan dan mencegah banjir bandang.

Alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan

Ahmad Solihin, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, mengatakan banjir yang melumpuhkan sedikitnya 16 kabupaten di Aceh memberikan satu pesan keras, bahwa alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan manusia.

“Pemerintah gagal menghentikan kerusakan di hulu dan terjadi pembiaran, justru terpaku pada solusi tambal sulam di hilir seperti pembuatan tebing sungai dan normalisasi sungai,” katanya.

Riandra, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara, menyampaikan wilayah yang paling kritis adalah Tapanuli Tengah, Sibolga, dan Tapanuli Selatan.
“Semua aktivitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang,” katanya.

Andre Bustamar dari WALHI Sumatera Barat menegaskan, kerusakan lingkungan di Sumatera Barat—meliputi deforestasi, tambang emas ilegal, dan lemahnya penegakan hukum—memperburuk risiko bencana ekologis. Fenomena tunggul kayu yang hanyut mengindikasikan penebangan di kawasan hulu. Negara, melalui Pemerintah Provinsi Sumbar, dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab melindungi masyarakat dari risiko bencana.

Pernyataan WALHI Nasional

Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menyatakan dari fakta bencana ini bisa dilihat bahwa telah terjadi ekspoitasi alam.

Menurutnya negara telah menikmati keuntungan besar dari eksploitasi alam, saatnya mereka juga ditagih tanggung jawab untuk memulihkannya.

Gandar Mahojwala, Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta, menambahkan bahwa peringatan dini BMKG sudah jelas namun tidak ditindaklanjuti pemerintah. Ia menegaskan bahwa penyebab utama bencana bukan faktor alam semata, melainkan kerentanan yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Gandar mengatakan:

“Pemerintah juga perlu tegas untuk segera mengesahkan mekanisme Analisis Risiko Bencana… untuk memastikan bahwa tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang meningkatkan dan memungkinkan terjadinya bencana,” katanya.

Melva Harahap, Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis WALHI Nasional, menyoroti bahwa bencana ini membuat pranata kehidupan di tiga provinsi kolaps. Warga kehilangan rumah, keluarga, mata pencaharian, hingga akses terhadap layanan dasar. Ia menegaskan perlunya penetapan status bencana nasional untuk mempercepat penanganan, sembari mengingatkan pentingnya menuntut pertanggungjawaban korporasi.

“Tetapi hal yang harus diingat, penting bagi negara untuk menagih pertanggungjawaban korporasi, dan tidak menetapkan ini sebagai bencana alam, sebab penetapan itu akan berkonsekuensi pada gugurnya tanggungjawab korporasi”, tutup Melva.

WALHI menegaskan bahwa tanpa perubahan kebijakan iklim yang ambisius dan berbasis HAM, bencana ekologis akan terus berulang. Keputusan-keputusan dalam COP 30 yang mendorong solusi palsu dan mekanisme perdagangan karbon dinilai berpotensi memperparah krisis. Karena itu WALHI menyerukan transisi energi yang adil, berbasis perlindungan lingkungan dan hak masyarakat, sebagai satu-satunya cara mencegah kehancuran ekologis lebih besar di Indonesia.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses