Perangkap jerat bagi gajah liar, fragmentasi hutan, serta konflik antara manusia dan satwa, masih menjadi ancaman bagi gajah sumatera.
Pada hari Rabu, 4 Desember 2025, tepat pukul 23.25 WIB, seekor gajah bernama Yulia yang berusia 12 tahun melahirkan anak pertamanya. Seekor bayi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) berkelamin betina dengan berat 64 kilogram lahir di Taman Nasional Way Kambas National Park (TNWK).
Saat populasi satwa seperti gajah sumatera berada di ambang tekanan berat, seperti deforestasi, perburuan, fragmentasi habitat, dan konflik manusia–satwa, kelahiran bayi gajah ini merupakan kabar menggembirakan dari usaha panjang mempertahankan spesies gajah sumatera.
Gajah sumatera merupakan spesies yang masuk ke dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), dengan kategori Kritis Terancam Punah (Critically Endangered-CR). Oleh karena itu, kelahiran anak gajah Yulia di TNWK disambut dengan sangat suka cita.
“Kondisi anak dan induknya sehat. Anak gajah sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri pada pukul 02.05 WIB,” kata Kepala Balai TNWK, MDH Zaidi.
Memasuki pagi hari setelah kelahirannya, anak gajah Yulia sudah terlihat aktif. Ia sudah bisa belajar menyusui dari induknya. “Sampai pukul 07.49 WIB, anak gajah terlihat terus berusaha menyusu. Dari pengukuran tinggi dan lingkar badan, beratnya diperkirakan 64 kilogram,” tambahnya.
Kelahiran dan Ancaman Habitat Gajah Sumatera
Kelahiran bayi gajah bukan yang pertama di Way Kambas. Sejak 2023 hingga 2024, setidaknya beberapa bayi telah lahir. Misalnya pada Februari 2024, seekor anak gajah betina lahir dari induk bernama Pleno dengan berat 69 kilogram. Kemudian pada November 2024, gajah bernama Riska juga melahirkan bayi gajah jantan seberat 108 kilogram.
Namun, ancaman nyata tetap mengintai habitat gajah sumatera sejak kelahirannya, seperti perangkap jerat bagi gajah liar, fragmentasi hutan, dan konflik antara manusia dan satwa. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi, gajah menjadi salah satu jenis satwa liar yang dilindungi di Indonesia.
Gajah sumatera merupakan subspesies dari gajah asia yang hidup di dataran rendah hutan Sumatera. Spesies gajah ini tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Gajah sumatera memiliki ciri khas khusus, yakni kuping yang lebih kecil dan berbentuk segitiga, kulit yang lebih terang, dan memiliki tonjolan di bagian atas kepala.
Rusaknya habitat alami gajah sumatera menyebabkan terjadinya konflik nyata berkepanjangan. Misalnya di Provinsi Aceh, diperkirakan hampir 80 persen habitat gajah sumatera berada di luar kawasan hutan konservasi. Mereka tersebar di hutan produksi dan juga areal penggunaan lain.
Pembukaan kawasan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan, dan kegiatan lain termasuk pertambangan di Kawasan Ekosistem Leuser maupun Ulu Masen, menyebabkan habitat gajah menyempit.
Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL], Dedi Yansyah, habitat alami yang terus tergerus mengakibatkan gajah yang sebelumnya hidup dalam kelompok besar, terpisah menjadi kelompok-kelompok kecil.
“Ini sangat memprihatinkan, karena ruang gerak mereka makin terbatas, sulit bersatu dalam kelompok lebih besar,” terangnya.
Melansir laman Green Network, menurut dokumen Rencana Tindakan Mendesak (RTM) 2020-2023, habitat gajah sumatera di Indonesia secara keseluruhan telah mengalami penyusutan hingga 80%, terutama di luar kawasan konservasi. Data Auriga Nusantara mencatat lebih dari separuh kantong habitat gajah di luar kawasan konservasi berada dalam area konsesi, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), tambang, dan sawit.
Pada tahun 2020, terdapat penyusutan habitat gajah seluas 1.359.456 hektare dibandingkan luas tahun 2007 seiring maraknya alih fungsi hutan untuk kepentingan industri. Di kawasan Bentang Alam Seblat, Bengkulu, luas tutupan sawit di dalam kawasan hutan telah meningkat dari 2.657 hektare pada tahun 2000 menjadi 9.884 hektare pada tahun 2020.
Dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007–2017, luas kantong habitat gajah Seblat yang dilaporkan mencapai 144.499 hektare. Namun saat ini, tidak semua wilayah itu dapat diakses oleh gajah karena sebagian telah dibebani oleh hak guna usaha (HGU).
Pada tahun 80-an, populasi gajah sumatera diperkirakan masih sekitar 4.800 ekor, lalu turun menjadi 2.400–2.800 ekor pada tahun 2007. Penyusutan terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya, dengan perkiraan jumlahnya yang tersisa hanya sekitar 924–1.359 ekor pada tahun 2021.
Upaya kolektif berbagai pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga dunia usaha, menjadi fondasi penting untuk memastikan bahwa satwa besar ini tetap hidup dan berkembang di habitat alaminya. Diperlukan langkah yang konsisten, penegakan hukum yang tegas, serta perlindungan kawasan hutan yang berkelanjutan, guna memastikan bahwa generasi mendatang masih dapat menyaksikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari kekayaan hayati Indonesia.
- Bayi gajah sumatera lahir dalam ancaman
- Suara masyarakat adat Asia Tenggara yang terus tersisih
- Santri mandiri, ubah sampah menjadi energi biogas
- Bukan sekadar tren, bangunan hijau pertaruhan terakhir melawan krisis iklim
- Menguji taji UU Anti-SLAPP pada kasus pejuang lingkungan Munif dan Dera
- Solusi berkelanjutan, membangun sekolah dari sampah plastik
