Standar bangunan hijau bukan lagi sekadar tren gaya hidup elit, melainkan mandat hukum yang mengikat

Di sebuah ruang pertemuan di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 4 Desember 2025, suasana siang itu terasa berbeda dari konferensi pers biasa. Puluhan editor dari berbagai media berkumpul, bukan untuk mengejar berita sela yang cepat basi, melainkan untuk menata ulang sebuah narasi besar yang selama ini luput dari radar utama: bagaimana cara kita tinggal dan bekerja ternyata sedang membunuh bumi perlahan-lahan.

Acara tersebut, sebuah Editors’ Meeting yang diinisiasi oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bersama Global Buildings Performance Network (GBPN), membawa tajuk yang panjang namun mendesak: “Menuju Akses terhadap Bangunan Sehat, Terjangkau, Hemat Energi, dan Rendah Karbon di Indonesia”.

Di tengah deru mesin pendingin udara hotel yang ironisnya menjadi bagian dari masalah yang dibahas, para jurnalis ini diajak menyelami realitas bahwa sektor bangunan kini menyumbang 39 persen emisi karbon global dan melahap 60 persen total konsumsi listrik di Indonesia.

“Sektor bangunan menyimpan peluang besar sebagai motor penurunan emisi,” ungkap Direktur GBPN, Farida Lasida Adji dalam forum tersebut. Ia menekankan bahwa isu ini bukan sekadar soal teknis arsitektur, melainkan soal keberlanjutan hidup manusia di tengah urbanisasi yang kian tak terkendali.

Dari sekadar tanaman merambat jadi mandat negara

Diskusi di Menteng hari itu seolah menjadi flashback atas perjalanan panjang transformasi beton di Nusantara. Satu dekade lalu, istilah “bangunan hijau” di Indonesia masih terdengar asing, sering kali disalahartikan sekadar menanam tanaman merambat di dinding atau menaruh pot bunga di lobi kantor. Kala itu, pemahaman teknis mengenai efisiensi energi dan konservasi air masih sangat minim.

Namun, narasi itu telah berubah drastis. Revolusi diam-diam sedang berlangsung, bukan dipimpin oleh demonstran jalanan, melainkan oleh kolaborasi arsitek, birokrat, hingga ketua RT. Titik baliknya terjadi ketika Green Building Council Indonesia (GBCI) melahirkan Greenship, sebuah perangkat penilaian khas Indonesia yang menolak mentah-mentah standar barat yang tidak relevan dengan iklim tropis lembab kita.

Kini, negara telah hadir lebih tegas. Melalui Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021, standar bangunan hijau bukan lagi sekadar tren gaya hidup elit, melainkan mandat hukum yang mengikat. Peraturan ini memaksa pengembang untuk tidak hanya memikirkan estetika, tetapi juga orientasi bangunan terhadap matahari dan pengelolaan limbah konstruksi sejak di atas meja gambar.

Dalam paparannya di hadapan para editor, Direktur GBPN, Farida Lasida Adji, menyoroti momentum bersejarah yang baru saja terjadi: peluncuran Peta Jalan Nasional Penyelenggaraan Bangunan Gedung Hijau. Peta jalan ini adalah buah dari diplomasi rumit yang menyatukan tiga raksasa birokrasi—Kementerian PUPR, ESDM, dan Kemendagri—yang akhirnya menanggalkan ego sektoral demi target dekarbonisasi.

Mematahkan mitos mahal

Salah satu poin krusial yang dibedah dalam pertemuan tersebut adalah stigma bahwa bangunan hijau itu mahal. Mitos ini telah lama menjadi penghalang adopsi massal. Namun, data empiris berbicara lain. Kenaikan biaya konstruksi untuk memenuhi standar hijau ternyata hanya berkisar antara 1 hingga 3 persen saja.

“Manfaat bangunan hijau jauh melebihi kenaikan biaya konstruksinya,” tegas Farida Lasida Adji, merujuk pada penghematan tagihan listrik dan air yang mampu mengembalikan modal awal dalam waktu kurang dari tiga tahun. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, ini bukan sekadar janji lingkungan abstrak, melainkan bonus ekonomi nyata yang meringankan beban bulanan.

Pasar properti Jakarta pun mulai bereaksi. Fenomena Green Premium menunjukkan bahwa penyewa korporat kini bersedia membayar lebih untuk gedung bersertifikasi hijau demi memenuhi target keberlanjutan global mereka. Sebaliknya, gedung-gedung tua yang boros energi mulai menghadapi Brown Discount, terpaksa menurunkan harga sewa atau berisiko menjadi aset terlantar yang ditinggalkan penyewa.

Dari SCBD hingga Gang di Samarinda

Jika kita ingin melihat puncak teknologi hijau, tengoklah ke langit Jakarta. Gedung seperti Sequis Tower di SCBD telah membuktikan bahwa fasad bangunan bisa “menari” dengan matahari, menggunakan sirip peneduh untuk memblokir panas namun tetap meneruskan cahaya. Atau Wisma BCA Foresta di BSD, yang beroperasi layaknya organisme pintar dengan otak digital yang mengatur nyala-mati energi berdasarkan sensor okupansi.

Namun, kisah paling menyentuh justru datang dari ribuan kilometer jauhnya, di tepian Sungai Mahakam. Di Samarinda, revolusi bangunan hijau tidak terjadi di menara kaca, melainkan di parit-parit drainase dan pekarangan warga.

Melalui program Probebaya, Pemerintah Kota Samarinda memberikan dana 100 juta rupiah per RT yang dikelola langsung oleh warga. Di RT 43 Kelurahan Sempaja Timur, di bawah pimpinan Muhammad Taufik Syam, dana ini tidak habis untuk mengecor jalan semata. Warga mengubah kotoran ternak yang mencemari sungai menjadi pupuk kompos bernilai ekonomi dan membangun drainase swadaya. Ini adalah bukti bahwa konsep green neighborhood bisa tumbuh subur dari inisiatif akar rumput, tanpa harus menunggu instruksi dari Jakarta.

Kembali ke ruang pertemuan di Jakarta, Sekjen SIEJ, Fira Abdurachman mengingatkan para editor bahwa peran media sangat vital dalam mengawal transisi ini. Jurnalisme tidak boleh hanya terjebak pada jargon teknis, tetapi harus mampu menerjemahkan urgensi efisiensi energi menjadi cerita yang relevan bagi publik.

Pertemuan ini bukan sekadar seremonial. Dengan target pengurangan emisi sektor bangunan sebesar 36 juta ton CO2 pada tahun 2030, Indonesia sedang berpacu dengan waktu. Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sedang dibangun dengan konsep “Kota Hutan” menjadi pertaruhan besar berikutnya—sebuah eksperimen apakah kita mampu membangun kota dari nol tanpa membebani alam.

Saat diskusi berakhir sore itu, satu pesan tersisa jelas bagi para awak media: setiap adukan semen dan setiap kebijakan yang diteken hari ini akan menentukan nasib iklim Indonesia. Dan tugas media adalah memastikan bahwa publik tidak buta terhadap pertaruhan masa depan ini.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses