Gunung Gede Pangrango adalah menara air bagi Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, kini berada di persimpangan jalan: tetap lestari atau hancur atas nama ambisi energi.
Kabut tebal yang biasanya menyelimuti lereng Gunung Gede Pangrango kini tak lagi sekadar membawa hawa dingin yang menyejukkan. Bagi jutaan nyawa yang menggantungkan hidup di bawah kakinya, kabut itu kini membawa isyarat kecemasan yang mendalam. Di balik rimbunnya hutan hujan tropis yang menjadi benteng terakhir bagi Owa Jawa dan Macan Tutul, sebuah ancaman senyap namun masif sedang mengintai. Gunung yang selama ini berdiri gagah sebagai “Menara Air” bagi puluhan juta jiwa di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, kini berada di persimpangan jalan yang menentukan: tetap lestari atau hancur atas nama ambisi energi.
Status Gunung Gede Pangrango sebagai penyangga kehidupan kini terancam oleh penetapan proyek geothermal (panas bumi) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Meski berlabel energi terbarukan, rencana pengeboran eksplorasi di kawasan konservasi ini memicu kekhawatiran akan kerusakan hidrologis yang tak tergantikan. Jantung kehidupan regional ini dikhawatirkan akan berhenti berdetak jika mesin bor mulai menembus lapisan tanah yang rapuh, mengancam suplai air baku yang vital bagi metropolitan terbesar di Indonesia.
Ketegangan di kawasan penyangga memuncak pada pertengahan Juli 2025. Suasana damai di kaki gunung berubah drastis menjadi arena konfrontasi terbuka. Pemicunya adalah selembar surat undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang diterima warga pada awal bulan tersebut. Surat itu memanggil sejumlah warga penggarap lahan untuk proses “verifikasi”. Namun, bagi warga Desa Sukatani dan sekitarnya, undangan itu bukan sekadar administrasi, melainkan “kuda troya” yang akan membuka gerbang kehancuran ekosistem mereka.
Verifikasi tersebut menyasar area seluas 5,46 hektar di dalam kawasan TNGGP. Dalam dokumen resmi, area ini dilabeli sebagai wilayah kerja eksplorasi panas bumi. Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Penyelamat Gunung Gede Pangrango (APGP) mencium aroma bahaya yang menyengat. Mereka meyakini bahwa lahan seluas lima hektar lebih itu adalah titik krusial—sebuah pintu masuk bagi alat berat pengembang untuk mengacak-acak zona sensitif di perut gunung yang selama ini mereka jaga.
Puncak kemarahan warga tumpah pada Kamis, 17 Juli 2025. Ratusan warga memilih memboikot undangan verifikasi tersebut dan justru menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di depan Kantor TNGGP Cibodas. Mereka datang bukan untuk bernegosiasi soal ganti rugi, melainkan untuk menegaskan penolakan total. Suara lantang orator APGP memecah kesunyian Cibodas, menegaskan bahwa ruang hidup mereka tidak untuk diperdagangkan demi kepentingan korporasi.
“Kami datang bukan untuk memutihkan data ganti rugi atau menerima kompensasi. Kami datang untuk menolak proyek ini secara keseluruhan! Lahan ini adalah awal dari kehancuran sumber air dan ruang hidup kami,” seru salah satu orator APGP dengan penuh emosi. Pernyataan ini menjadi manifesto perlawanan warga yang menolak narasi bahwa proyek ini hanya sekadar penertiban kawasan konservasi sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 4 Tahun 2023.
Kecurigaan publik mengarah pada dugaan upaya terstruktur untuk mengosongkan lahan demi memuluskan jalan bagi PT Dayamas Geopatra Pangrango, anak perusahaan Grup Sinar Mas, yang disebut sebagai pelaksana proyek. Warga menilai klaim “penertiban” oleh pihak TNGGP hanyalah dalih untuk memulai tahapan operasional pengeboran. Bagi mereka, verifikasi lahan adalah langkah nyata dimulainya eksplorasi yang akan mengubah bentang alam selamanya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar ilmiah yang kuat. Fakta ekologis menunjukkan bahwa Gede Pangrango adalah zona dengan aktivitas seismik yang tinggi. Data yang dihimpun menunjukkan catatan mengerikan: dalam kurun waktu singkat antara Oktober hingga November 2024 saja, tercatat ada 216 kejadian gempa bumi di kawasan ini. Memaksakan pengeboran di wilayah dengan struktur geologi yang labil sama saja dengan mengundang bencana longsor dan percepatan kerusakan struktur tanah.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari rencana masa depan, melainkan dari realitas pahit yang sudah terjadi saat ini. Fakta mengejutkan terungkap bahwa benteng pertahanan ekologis Sukabumi sebenarnya sudah jebol. Zona penyangga (buffer zone) Gunung Gede Pangrango, yang seharusnya menjadi pelindung kawasan konservasi, kini tercatat dalam status “lahan sangat kritis”.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2023 yang dikaji oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, kerusakan alam di kaki Gunung Gede Pangrango telah membentang luas. Wilayah kerusakan ini mencakup Kecamatan Nagrak, Caringin, Kadudampit, hingga Sukalarang, meliputi kurang lebih sepuluh desa yang berbatasan langsung dengan hutan konservasi. Temuan ini menampar kesadaran kita bahwa daya dukung lingkungan di sana sudah di ambang kolaps.
Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, memberikan peringatan keras terkait kondisi ini. Ia menegaskan bahwa jika tidak ada perbaikan regulasi tata ruang dan pemulihan lingkungan, Jawa Barat menghadapi ancaman bencana yang mengerikan. Kerusakan di zona penyangga ini berarti hilangnya fungsi serapan air dan penahan erosi yang selama ini melindungi warga di hilir.
Dalam pernyataannya kepada Sukabumi Update, Siti Hannah Alaydrus mengatakan, “Kami mendesak pemerintah kabupaten, provinsi, dan pemangku kebijakan, melakukan evaluasi. Jika pemetaan regulasi ruang tidak segera diperbaiki dan pemulihan lingkungan tidak dilakukan, potensi bencana di Jawa Barat tidak kalah dari Sumatera. Kali ini korbannya bukan hanya alam, namun juga masyarakat, infrastruktur, dan ekosistem hidup kita.”
Pernyataan tersebut menyoroti betapa rentannya posisi masyarakat saat ini. Memasukkan proyek skala besar seperti geothermal ke dalam kawasan yang statusnya sudah “sangat kritis” dinilai sebagai tindakan bunuh diri ekologis. Walhi Jabar menyerukan penghentian setiap izin baru aktivitas ekstraktif, termasuk pariwisata masif dan pembangunan properti di zona penyangga, apalagi proyek panas bumi yang membutuhkan intervensi lahan yang signifikan.
Siti Hannah juga menambahkan analisis spesifik mengenai dampak proyek geothermal terhadap ketersediaan air. “Pengoperasian panas bumi itu pasti membutuhkan ekstraksi air yang banyak, tentu mengganggu akses air warga. Secara kapasitas alam pun akan mengambil air dari zona-zona penyangga. Intinya harus diaudit dan ditinjau ulang setiap izin lama di zona kritis berdasarkan data terbaru tahun 2023. Tetapkan kebijakan jangka panjang berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan, bunya hanya soal pertumbuhan ekonomi, agar bencana ekologis tidak terus terulang,” tegasnya.
Data menunjukkan skala kerusakan di Kabupaten Sukabumi sudah mencapai angka yang fantastis. Lebih dari 235 ribu hektare lahan dikategorikan kritis dan sangat kritis, tersebar di berbagai fungsi kawasan mulai dari areal penggunaan lain, hutan lindung, hingga hutan konservasi. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi dari retakan ekologis yang kini telah mencapai wilayah paling sensitif di lereng gunung.
Indikator nyata dari runtuhnya daya dukung lingkungan ini sudah terlihat di depan mata. Fenomena banjir kini melanda dataran tinggi seperti Salabintana dan Pondok Halimun, wilayah yang secara geografis seharusnya mustahil tergenang air. Anomali ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa hutan di lereng gunung sudah kehilangan kemampuannya sebagai spons raksasa penyerap air hujan.
Rangkaian bencana yang melanda Sukabumi sejak akhir 2024 hingga April 2025 dikonfirmasi bukan semata akibat cuaca ekstrem. Menurut Walhi, penyebab utamanya adalah akumulasi kerusakan ekologis akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali, mulai dari pertambangan, alih fungsi lahan, hingga proyek komersial yang mendesak ruang air.
Di tengah situasi “sangat kritis” inilah proyek geothermal hendak dipaksakan berjalan. Warga lokal dan aktivis lingkungan melihat ironi yang menyakitkan: pemerintah berupaya mengejar target bauran energi nasional, namun dengan cara mengorbankan satu-satunya benteng yang melindungi rakyat dari bencana hidrometeorologi. Risiko hilangnya sumber air bawah tanah akibat gangguan pada akuifer gunung adalah harga yang terlalu mahal, yang tidak bisa dibayar dengan berapa pun megawatt listrik yang dihasilkan.
Konflik horizontal di masyarakat mulai merebak, ketidakpercayaan terhadap pemerintah semakin dalam, dan alam mulai menunjukkan murkanya. Gunung Gede Pangrango kini bukan lagi sekadar objek wisata atau sumber inspirasi para pendaki, melainkan sebuah monumen peringatan tentang batas keserakahan manusia. “Menara air” itu kini retak, dan jika proyek ini terus melaju tanpa rem, kehancurannya mungkin hanya tinggal menunggu waktu.
Kini, nasib jutaan orang bergantung pada keberanian para pengambil kebijakan untuk menekan tombol jeda. Apakah mereka akan terus menutup mata pada data “lahan sangat kritis” dan jeritan warga? Ataukah mereka berani melakukan evaluasi menyeluruh demi menyelamatkan sisa-sisa ekosistem yang ada? Di kaki Gede Pangrango, masa depan ekologi pulau Jawa sedang dipertaruhkan, dan waktunya semakin sempit.
Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan SukabumiUpdate.Com
