Ketidakpastian ruang hidup dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka, membuat jutaan orang rentan terhadap krisis iklim.

Jakarta kini resmi mendapat predikat megacity terbesar dan terpadat di dunia. Status tersebut diberikan oleh PBB melalui World Urbanization Prospects 2025, yang menyebutkan bahwa sekitar 42 juta jiwa saat ini menyandarkan kehidupannya di Jakarta. Namun, jutaan orang ini juga yang justru paling rentan menanggung dampak terberat dari krisis iklim yang kini sedang terjadi, karena ketidakpastian ruang hidup dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka.

Permasalahan ini diperkuat oleh riset terbaru Greenpeace Indonesia bersama The SMERU Research Institute yang dirilis pada 15 Desember 2025, dengan memotret kondisi warga di tiga wilayah rentan, yaitu Bantar Gebang, Marunda, dan Pulau Pari. Tiga wilayah ini menjadi cermin kontras Jakarta megacity sebagai kota yang terus membesar, sementara ruang aman bagi sebagian warganya semakin mengecil.

Jeanny Sirait, Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia mengatakan, ketiga wilayah ini menghadapi masalah yang hampir serupa, di antaranya dominasi kepentingan ekonomi besar atas ruang hidup warganya yang menyempit, serta lemahnya tata kelola dan layanan dasar dari Pemerintah Provinsi Jakarta yang belum optimal.

“Masalah-masalah ini diperparah dengan krisis iklim dan lingkungan yang memperburuk kerentanan sosial dan ekonomi warga di ketiga wilayah ini,” ujar Jeanny, dalam keterangan resminya.

Pulau Pari melawan abrasi dan perubahan laut

Di Pulau Pari, garis pantai yang dulu stabil kini kian tergerus. Krisis iklim yang menjadi pemicu abrasi menyebabkan kenaikan permukaan air laut dan frekuensi banjir rob kini semakin sering terjadi. Lebih buruk lagi, tekanan ekologis mempersempit ruang hidup dan peluang ekonomi. Abrasi telah menggerus 7–10 meter daratan per tahun, kualitas air menurun akibat reklamasi dan limpasan limbah, hasil tangkapan ikan juga turun lebih dari 70%, sementara rob dan kerusakan ekosistem mengancam keberlanjutan pulau.

Kerentanan ini diperburuk oleh konflik lahan berkepanjangan yang menghambat pembangunan infrastruktur dasar sehingga banyak rumah tangga yang berbagi ruang tinggal. Layanan kesehatan, pendidikan, serta fasilitas publik juga masih minim dan bergantung pada swadaya masyarakat.

Sebagai respons dari permasalahan ini, warga Pulau Pari menginisiasi penanaman mangrove sebagai upaya untuk mengatasi abrasi, banjir rob, serta pemulihan habitat ikan dan ekosistem laut. Para nelayan di sana juga melakukan adaptasi perikanan tangkap dan budidaya untuk mengatasi turunnya volume tangkapan di tengah suhu laut yang semakin tinggi. 

Riset ini juga menegaskan bahwa meskipun masyarakat Pulau Pari memiliki inisiatif untuk beradaptasi, upaya mereka sering terhambat oleh model pembangunan eksploitatif yang tidak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan dan kebutuhan lokal. Pengakuan dan dukungan kebijakan yang jelas dari pemerintah daerah hingga pusat masih dibutuhkan untuk memperbesar dampak yang dihasilkan.

Ekonomi sirkular di gunung sampah Bantar Gebang

Meskipun secara administratif bukan bagian dari Jakarta, tetapi Bantar Gebang berada di garis depan terhadap dampak krisis lingkungan di kota besar. Area ini dikenal sebagai lokasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang menampung limbah Jakarta dan sekitarnya. Kondisi ini membuat warga yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung, hidup di lingkungan yang sangat terkontaminasi sampah dan polutan. 

Sulitnya akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan mendorong warga Bantar Gebang untuk mendirikan pusat pendidikan khusus bagi anak pemulung. Di tengah timbunan sampah yang terus menggunung, warga Bantar Gebang memegang peran penting dalam memilah dan mengurangi volume sampah.

Warga di sekitar TPST Bantar Gebang adaptif mengembangkan budidaya maggot untuk mengolah sampah organik, serta mengelola tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R) sebagai upaya pengelolaan sampah plastik dan material lain yang masih memiliki nilai ekonomi. 

Pendekatan ekonomi sirkular dengan mengolah sampah menjadi sumber daya memiliki potensi besar untuk direplikasi di wilayah lain yang menghadapi tekanan serupa. Namun, keberlanjutan inisiatif ini membutuhkan dukungan sistemik berupa regulasi dan akses pendanaan yang memadai.

Rusunawa Marunda dikepung polusi

Di sisi lain, Rusunawa Marunda yang berada di Jakarta Utara, menghadapi tantangan yang berbeda. Setiap hari warga dikepung oleh tingginya paparan polusi udara dari aktivitas industri ekstraktif di sekitarnya, termasuk debu batu bara. Kondisi ini berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup penduduk. Riset Greenpeace dan SMERU menunjukkan, warga rusunawa dihadapi ancaman gangguan pernapasan, penyakit kulit, dan masalah lain akibat paparan polutan yang terus menerus.

Di tengah kondisi ini, warga Rusunawa Marunda menginisiasi program-program lokal seperti pengelolaan greenhouse untuk ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi perempuan, guna mendukung ketahanan ekonomi keluarga di tengah minimnya lapangan kerja dan rendahnya pendapatan. Solusi ini tidak hanya menggantikan kebutuhan akan kebijakan struktural yang lebih baik, tetapi juga menawarkan mekanisme lokal untuk mengatasi sebagian besar tekanan sosial-ekonomi yang mereka hadapi.

“Pemprov Jakarta harus meningkatkan kualitas tata kelola yang partisipatif dan transparan, khususnya dalam kebijakan iklim, untuk mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik spesifik kelompok marjinal dan rentan seperti di Pulau Pari, Marunda, dan Bantargebang,” kata Peneliti SMERU, Annabel Noor Asyah.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses