Menggali keterkaitan berbagai isu lingkungan dan bencana yang terjadi di Indonesia dari berbagai sisi dan didasarkan pada pengalaman

Saat ini mata kita tertuju pada saudara kita dan masyarakat yang berada di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat yang terdampak ”bencana” banjir bandang dan tanah longsor. Tetapi, izinkan saya menyebut bencana ini sebagai bencana antropogenik ketimbang bencana ekologis yang memang berangkat sebagai dampak dari berbagai kebijakan politis yang keliru di masa lalu hingga hari ini.
Siklon Senyar bertindak sebagai pemantik, sebuah peringatan keras yang seolah mengatakan jika kondisi alam memang tidak baik-baik saja. Tetapi, ketidakmampuan negara untuk merencanakan aksi mitigasi dan adaptasinya, pengurangan risiko bencana, kemudian juga berbagai kebijakan ngawur dan eksploitatif semata-mata untuk kepentingan ekonomi itu yang menjadi permasalahannya.
Untuk apa berbagai dokumen dan kajian seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan juga Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibuat jika pada akhirnya hanya disimpan rapi di ruang arsip saja dan kalah dengan berbagai kepentingan ekspoitatif yang destruktif? Sudah dipublikasikan di berbagai media sosial bahwa penyebab bencana kali ini adalah adanya konversi hutan dan degradasi lahan yang sangat masif dan bahkan luput dari pengawasan pemerintah daerah atau mungkin ada saja keterlibatan ”oknum” untuk memuluskan kegiatan eksploitatif tersebut.
Banyak sudah terjadi kasus di mana kepala daerah ditangkap karena kasus penyuapan untuk memuluskan izin konsesi, baik perkebunan sawit, hutan tanaman industri, maupun tambang. Pengusaha pun melakukan berbagai macam cara untuk ekspansi, meskipun dengan cara ilegal. Proses perizinan banyak dikangkangi, di sisi lain bentuk kontrol dan pengawasan pun longgar karena ada ”oknum” tadi.
Saya sendiri mengakui bukan orang yang anti sawit dan tambang, karena saya masih menggunakan produk-produk turunan sawit, bahkan sebagian bantuan yang disalurkan kepada korban bencana, seperti minyak goreng merupakan produk sawit. Sebagian peralatan di rumah saya juga berasal dari bahan tambang. Yang dikritisi bukan produk akhirnya, melainkan proses-proses maupun praktik ilegal yang hanya mementingkan keuntungan semata, lalai akan kewajiban pemulihan kawasan, dan merugikan masyarakat di sekitar kawasan konsesi.
Dari sisi perumusan kebijakan acap kali membuat masyarakat mengernyitkan dahi karena dilakukan secara sepihak, minim partisipasi publik dengan asas padiatapa, dan cenderung menguntungkan pengusaha ketimbang masyarakat lokal dan masyarakat adat, merusak ruang hidup mereka untuk mengeruk sumber daya alamnya hingga habis tanpa mau bertanggung jawab penuh. Ketika kebijakan itu berhubungan dengan ”keuntungan ekonomi” dan ”eksploitatif” maka perumusannya dapat berlangsung cepat sekali, seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba.
Akan tetapi, ketika kebijakan itu berhubungan dengan hak pengakuan masyarakat atas ruang hidupnya, tidak dianggap sebagai prioritas yang harus segera ditetapkan, seperti RUU Masyarakat Adat yang sudah belasan tahun tidak kunjung disahkan. Bahkan pernah ada ”ahli” bekerjasama dengan asosiasi perkebunan sawit untuk merekomendasikan sawit sebagai tanaman hutan. Apabila rekomendasi tersebut disetujui, maka akan terbuka peluang bagi pengusaha sawit ”nakal” untuk menanam setiap jengkal lahan dengan sawit di negeri ini dengan dalih ”reforestasi” dan pemanfaatan lahan terdegradasi yang seharusnya direstorasi kembali menjadi hutan alami. Untung saja rekomendasi tersebut ditolak dan sawit tetap dianggap sebagai tanaman perkebunan.
Dampak bencana yang terjadi kali ini dan yang telah terjadi sebelumnya tentu berakar dari berbagai kebijakan yang disusun karena hanya mengutamakan aspek ekonomi, ketimbang aspek sosial dan ekologis. Dosa tersebut tidak muncul begitu saja, sudah berkali-kali pemerintahan berganti, tetapi kebijakan eksploitatif ini masih dipertahankan sampai hari ini. Lagi-lagi, masyarakat yang harus menanggung dampaknya, sementara mungkin pelakunya sedang bersantai entah di mana menghitung uang yang dihasilkan.
Eksploitasi sumber daya alam Indonesia mulai masif sekitar tahun 1970-an dengan tujuan untuk mengakselarasi pertumbuhan APBN untuk pembangunan negara. ”Memang jalan tercepat bagi negara yang kaya sumber daya alam untuk dapat tumbuh dan berkembang dari sisi ekonomi adalah dengan menjual sumber daya alamnya, tetapi negara tersebut tidak akan pernah menjadi negara maju.” Begitulah kira-kira ucapan seorang dosen ketika saya masih berkuliah S2.
Saya kembali berpikir, benar juga jika kita kembali melihat bagaimana negara-negara Eropa dan Amerika dianggap sebagai negara maju karena teknologi dan inovasinya, sekaligus juga menguras habis sumber daya alam negara berkembang seperti Indonesia. Bodohnya kita adalah menjual bahan mentah dengan harga yang sangat murah karena biaya dampak sosial dan lingkungan tidak dihitung, setelah itu dikorupsi pula oleh orang-orang serakah. Alam dan lingkungan rusak, masyarakat dirugikan, belum lagi pendapatan yang diperoleh juga sangat sedikit ketimbang dampak sosioekologis yang dihasilkan.
Bukan berarti saya menolak penuh juga keberadaan perusahaan sawit, tambang, maupun usaha ekstraktif lainnya, karena kita perlu dengan produk-produk yang dihasilkan tersebut. Tetapi seyogyanya usaha ekstraktif tersebut wajib dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan adil, terutama pada aspek sosial dan ekologis.
Keseimbangan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi menjadi kunci untuk pengelolaan lingkungan dan lanskap yang berkelanjutan. Sudah saatnya semua pihak untuk sadar bahwa sumber daya alam dan lingkungan harus dikelola secara berkelanjutan, tidak semata-mata mengejar keuntungan ekonomi saja. Bencana yang terjadi adalah peringatan alam yang sudah didengungkan berkali-kali, namun mau sampai kapan manusia akan sadar bahwa ketika pohon terakhir ditebang dan sumber air terakhir mengering, mereka tidak dapat makan lembaran-lembaran uang yang sudah dikumpulkannya itu? Akankah kita menuju ke masa depan yang seperti itu?
Sandy Leo
Penulis adalah pemerhati lingkungan dan konservasionis yang dalam satu dekade terakhir telah menjelajah ke berbagai daerah di Indonesia, memperhatikan berbagai isu lingkungan yang terjadi dan berkontribusi menyusun upaya penyelesaiannya (best practices). Penulis merupakan lulusan dari progam sarjana biologi konservasi dan magister ilmu lingkungan yang keduanya ditempuh di Universitas Indonesia.
- Solusi berkelanjutan, membangun sekolah dari sampah plastik
- Beban sunyi yang dipikul perempuan korban bencana di Sumatera
- Lingkaran setan pengelolaan lingkungan di Indonesia
- FEB UGM dan Unismuh Makassar perkuat gerakan kampus hijau lewat pengelolaan sampah
- Dashboard “Searibu” kenalkan data pasang surut dan cuaca untuk wisata Kepulauan Seribu
- Tambang minyak ilegal menghantui Hutan Harapan