Posted inOpini / Opini

Menelisik kebijakan lingkungan Prof Koesnadi dalam bencana lingkungan

Prof Koesnadi menegaskan lingkungan bukan sekadar sumber daya yang boleh dieksploitasi, melainkan sistem kehidupan yang harus ditata secara harmonis

Adli Firlian Ilmi. Chief Coordinator GerakIklim Foundation


Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat sejak akhir November hingga awal Desember 2025 telah menjadi tragedi kemanusiaan terbesar dalam dekade ini. Data BNPB per 6 Desember 2025 mencatat 914 orang meninggal dunia — 359 jiwa di Aceh, 329 jiwa di Sumatera Utara, dan 226 jiwa di Sumatera Barat — dengan ratusan lainnya masih hilang dan puluhan ribu mengungsi. Ribuan hektare sawah tenggelam, jalan nasional putus total, jembatan ambruk, dan lahan pertanian yang baru saja pulih dari bencana sebelumnya kembali hancur.

Pakar hidrologi dan geologi dari berbagai perguruan tinggi serentak menyatakan bahwa curah hujan ekstrem hanyalah pemicu; akar masalahnya adalah kerusakan ekosistem hulu Daerah Aliran Sungai akibat deforestasi masif, perluasan sawit ilegal, dan penambangan tanpa rehabilitasi.

Di tengah duka yang begitu dalam ini, kita semakin merindukan kehadiran dan kejernihan pemikiran Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, bapak hukum lingkungan Indonesia yang justru telah memperingatkan semua ini sejak puluhan tahun silam melalui karya monumentalnya Hukum Tata Lingkungan.

Dalam buku yang pertama kali terbit tahun 1978 dan terus diperbarui hingga edisi terakhir sebelum beliau wafat itu, Prof Koesnadi dengan tegas mendefinisikan bahwa Hukum Tata Lingkungan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur penataan lingkungan hidup guna mencapai keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya.

Beliau menegaskan bahwa lingkungan bukan sekadar sumber daya yang boleh dieksploitasi, melainkan sistem kehidupan yang harus ditata secara harmonis agar fungsi ekologisnya tetap lestari bagi generasi kini dan nanti. Menurut Prof Koesnadi, penataan lingkungan yang selaras berarti setiap kegiatan pembangunan harus menghormati daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Hutan hulu bukan hanya penyimpan karbon, tapi juga pengikat tanah dan pengatur tata air. Jika keselarasan itu dirusak, maka bencana bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian. Beliau mengajarkan bahwa pencegahan kerusakan lingkungan jauh lebih murah dan mulia daripada pemulihan setelah bencana; bahwa AMDAL harus substantif, bukan sekadar prosedural; bahwa izin lingkungan harus mencakup kewajiban restorasi lahan kritis secara nyata; dan bahwa negara wajib menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Namun apa yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Prinsip-prinsip keselarasan yang diajarkan Prof Koesnadi dalam Hukum Tata Lingkungan itu telah kita abaikan total. Hutan lindung di hulu Batang Gadis, Batang Toru, Alas, Singkil, hingga lereng Marapi terus beralih fungsi menjadi kebun sawit dan tambang. Izinizin lingkungan diberikan tanpa mempedulikan daya dukung lingkungan.

Reboisasi hanya formalitas di atas kertas, sementara penegakan hukum pidana lingkungan tak pernah menyentuh korporasi besar. Akibatnya, ketika hujan deras datang, air tidak lagi tertahan oleh akar-akar pohon dan serasah hutan, melainkan langsung menjadi banjir bandang yang membawa serta lumpur, batu, dan kayu — sekaligus merenggut ratusan nyawa dalam hitungan jam.

Melestarikan nilai Prof Koesnadi hari ini berarti mengembalikan marwah Hukum Tata Lingkungan sebagai pedoman utama pembangunan. Artinya menolak segala bentuk relaksasi izin di kawasan hulu sungai, mewajibkan setiap izin usaha menyertakan restorasi lahan kritis minimal 30% dari luas konsesi, menerapkan tanggung jawab mutlak bagi setiap pencemar atau perusak ekosistem, serta menjadikan kerusakan lingkungan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia sebagai kejahatan luar biasa dengan sanksi yang setimpal.

Karena seperti yang selalu ditekankan Prof Koesnadi, lingkungan yang baik bukan sekadar hak asasi, melainkan prasyarat eksistensi peradaban itu sendiri. Sumatera sedang menangis dengan 914 jenazah yang terkubur lumpur, tapi tangisan itu seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua untuk kembali kepada ajaran Hukum Tata Lingkungan Prof Koesnadi “tatalah lingkungan sesuai keselarannya”, maka kehidupan akan selamat.

Jika kita masih membiarkan hutan hulu terus gundul demi keuntungan segelintir orang, maka bencana berikutnya bukan lagi “kapan”, melainkan “berapa ribu nyawa lagi yang harus kita korbankan”. Saatnya kita hidupkan kembali semangat Prof Koesnadi, karena hanya dengan keselarasan sejati antara manusia dan lingkungannya, kita masih punya masa depan.

Adli Firlian Ilmi. Chief Coordinator GerakIklim Foundation

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses