Hukum Indonesia sejatinya telah memiliki “penawar” untuk racun SLAPP, yang dikenal sebagai konsep Anti-SLAPP

Seharusnya, 11 Desember 2025 menjadi hari paling membahagiakan bagi Adetya Pramandira (Dera) dan Fathul Munif. Undangan telah disebar, persiapan akad nikah di Madiun pun telah matang. Namun, takdir berkata lain. Alih-alih bersanding di pelaminan, sepasang kekasih yang dikenal gigih sebagai aktivis lingkungan ini kini harus terpisah oleh tembok dingin sel tahanan—Dera di Polda Jawa Tengah, sementara Munif di Polrestabes Semarang.

Kisah cinta mereka yang tumbuh di tengah perjuangan advokasi—mulai dari mendampingi warga Wadas hingga petani di Jepara dan Kendal—kini menghadapi ujian terberat. Bukan karena restu orang tua, melainkan jerat hukum yang tiba-tiba membelenggu mereka hanya dua minggu sebelum hari pernikahan.

Prahara jelang hari bahagia

Penangkapan Dera (26) dan Munif (28) pada Kamis, 27 November 2025, menyentak banyak pihak. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran UU ITE dan penghasutan, terkait unggahan di media sosial mengenai aksi demonstrasi “Peringatan Darurat” pada Agustus 2025.

Proses hukum ini dinilai janggal oleh tim kuasa hukum dan rekan-rekan aktivis. Tanpa pernah dipanggil sebagai saksi sebelumnya, mereka langsung diciduk dan ditahan. “Penetapan tersangkanya 14 November, kemudian penangkapannya 27 November, dan dia enggak pernah diberi tahu ketersangkaan itu,” ujar Mahfud MD, anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, dalam pernyataannya pada Kamis, 4 Desember 2025.

Kasus ini bukan sekadar penegakan hukum biasa, melainkan lonceng peringatan tentang bagaimana hukum dapat digunakan untuk membungkam suara kritis, sebuah fenomena yang dikenal sebagai SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation.

Gelombang desakan pembebasan Munif dan Dera datang dari tingkat tertinggi. Tim Percepatan Reformasi Polri, yang dibentuk untuk membenahi institusi kepolisian, secara tegas meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membebaskan kedua aktivis tersebut.

Dalam keterangan pers pada Kamis, 4 Desember 2025, Mahfud MD menegaskan bahwa aktivis lingkungan hidup memiliki imunitas yang dijamin secara eksplisit oleh undang-undang. “Karena itu yang aktivis lingkungan tadi kita harapkan segera dibebaskan karena dia dilindungi eksplisit oleh undang-undang,” tegas Mahfud.

Senada dengan Mahfud, Ketua Tim Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, pada Jumat, 5 Desember 2025, mengingatkan kembali bunyi pasal perlindungan tersebut. “Setiap orang yang berjuang untuk lingkungan hidup yang baik tidak dapat dipidana. Itu bunyi undang-undangnya. Kami berharap mereka segera dibebaskan,” ujar Jimly.

Mengenal “hantu” bernama SLAPP

Kasus Munif dan Dera menjadi contoh nyata urgensi pemahaman tentang Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Merujuk pada dokumen Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), SLAPP adalah strategi untuk menghentikan atau menghukum warga negara yang menggunakan hak politik mereka.

Tujuan utama SLAPP bukanlah memenangkan perkara di pengadilan, melainkan untuk mengintimidasi, mengalihkan perhatian publik dari isu utama menjadi isu privat (pidana/perdata), serta melemahkan daya perlawanan masyarakat melalui kerugian finansial dan trauma psikologis.

Menurut dokumen ICEL, SLAPP memiliki karakteristik khas. Antara lain; berupa gugatan atau tuntutan balik yang ditujukan kepada individu atau organisasi non-pemerintah. Disebabkan oleh komunikasi atau advokasi masyarakat terhadap isu kepentingan publik. Serta bertujuan mengubah konflik publik menjadi personal, sehingga substansi perjuangan lingkungan menjadi kabur.

Dalam konteks Munif dan Dera, pola ini terlihat jelas. Fokus publik yang seharusnya pada aspirasi demokrasi dan lingkungan yang mereka suarakan, kini teralihkan menjadi kasus kriminalisasi individu.

Anti-SLAPP perisai pejuang lingkungan

Hukum Indonesia sejatinya telah memiliki “penawar” untuk racun SLAPP, yang dikenal sebagai konsep Anti-SLAPP. Dokumen ICEL menjelaskan bahwa perlindungan ini secara khusus diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Pasal tersebut berbunyi:

“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

Anti-SLAPP memberikan dampak krusial bagi aktivis lingkungan:

  1. Jaminan Rasa Aman. Aktivis tidak perlu takut dipidana saat menyuarakan kebenaran atau mengkritik kebijakan yang merusak lingkungan.
  2. Mekanisme Pembelaan Dini. Berdasarkan SK KMA Nomor 36 Tahun 2013, dalil Anti-SLAPP dapat digunakan sebagai eksepsi atau pembelaan yang harus diputuskan lebih dahulu dalam putusan sela, sehingga aktivis tidak perlu menjalani proses peradilan yang panjang dan melelahkan jika terbukti kasusnya adalah SLAPP.

Kini, nasib Munif dan Dera—serta masa depan kebebasan sipil di Indonesia—bergantung pada apakah aparat penegak hukum berani menerapkan pasal “sakti” ini. Jika reformasi Polri benar-benar dijalankan, membebaskan Munif dan Dera bukan hanya soal mengembalikan mereka ke pelaminan, tetapi juga mengembalikan marwah hukum sebagai pelindung, bukan pemukul.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses