Kampanye #SaveTessoNilo mencoba menarik perhatian yang mungkin lupa bahwa hilangnya Tesso Nilo adalah kehilangan bagi semua orang

Di jantung Provinsi Riau, sebuah orkestra alam yang dulunya megah kini terdengar parau. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), yang pernah dinobatkan sebagai salah satu pusat biodiversitas tertinggi di dunia, kini tengah berada di ambang sekarat. Dari luas awal yang mencapai lebih dari 81.000 hektare, rimba yang benar-benar tersisa sebagai hutan alami kini menyusut drastis hingga hanya sekitar 12.561 hektare—atau sekitar 15 persen dari total luasnya.

Kisah Tesso Nilo hari ini bukan lagi tentang rimbunnya kanopi hijau, melainkan tentang peta yang tercabik-cabik oleh hamparan monokultur kelapa sawit, permukiman, dan sengketa lahan yang tak kunjung usai.

Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) adalah “sang arsitek” di hutan ini. Mereka membuka jalur bagi satwa lain dan menyebarkan benih-benih pohon masa depan. Namun, saat rumah mereka dirampas dan digantikan oleh barisan sawit, sang arsitek dipaksa menjadi “gelandangan” di rumah sendiri.

Data menunjukkan betapa memilukannya nasib mereka. Sejak tahun 2015 hingga pertengahan 2025, sedikitnya 23 ekor gajah ditemukan mati di kawasan ini—akibat racun, jerat, hingga konflik terbuka dengan manusia. Bahkan, laporan terbaru menyebutkan adanya temuan ranjau yang sengaja dipasang di jalur-jalur jelajah mereka. Ketika gajah-gajah ini masuk ke perkebunan warga untuk mencari makan, mereka bukan lagi dianggap sebagai kekayaan alam, melainkan hama yang harus disingkirkan.

Salah satu simbol perjuangan ini adalah Ratu, gajah betina yang terus dipantau melalui kalung GPS (GPS Collar). Ratu bukan sekadar angka dalam statistik; ia adalah representasi dari harapan yang tersisa bagi keberlanjutan spesiesnya di tengah bentang alam yang kian sempit.

Gerakan digital #SaveTessoNilo

Di tengah kepungan eksploitasi, sebuah harapan muncul dari ruang digital. Kampanye #SaveTessoNilo mulai membanjiri jagat media sosial, mencoba menarik perhatian publik nasional yang mungkin lupa bahwa hilangnya Tesso Nilo adalah kehilangan bagi semua orang.

Gerakan ini bukan sekadar klik dan bagikan. Ini adalah bentuk kegelisahan generasi baru terhadap krisis iklim yang semakin nyata: panas ekstrem, banjir bandang yang kian sering terjadi di Riau, hingga ancaman kekeringan. Masyarakat mulai menyadari bahwa tanpa gajah dan hutan yang sehat, keseimbangan alam akan runtuh.

Aktivis lingkungan terus menyuarakan desakan agar gerakan digital ini tidak berhenti di layar ponsel, tetapi berlanjut menjadi perubahan kebijakan di lapangan.

“Satu collar, satu nyawa, satu harapan. Momentum #SaveTessoNilo yang viral saat ini harus diubah menjadi aksi nyata dan kebijakan permanen. Kita harus terus meramaikan isu ini, menahan nafas sambil menunggu pemerintah menunjukkan ketegasan yang sama besarnya dengan ancaman yang dihadapi Tesso Nilo. Pastikan, lima tahun dari sekarang, kisah Ratu adalah kisah keberhasilan, bukan kisah yang tersisa dari sebuah kepunahan yang kita diamkan,” ujar Besta Junandi, aktivis lingkungan dari Perkumpulan Elang.

Menurut Besta, pertempuran Tesso Nilo adalah cerminan dari hati nurani kolektif kita, bukan sekadar tentang statistik deforestasi atau angka kematian gajah. Ini tentang sebuah janji kepada Ratu dan keturunannya bahwa manusia tidak akan membiarkan rumah mereka lenyap demi sebidang perkebunan ilegal.

Penegakan hukum dan realitas sosial

Pemerintah sebenarnya mulai melakukan langkah konkret. Pada periode Mei hingga Juli 2025, upaya pembongkaran kebun sawit ilegal seluas 775 hektare telah dilakukan. Namun, tantangannya luar biasa kompleks. Di dalam kawasan lindung, telah berdiri infrastruktur permanen mulai dari tiang listrik, sekolah, hingga rumah ibadah yang ditinggali ribuan orang.

Negara kini dihadapkan pada pilihan sulit: menegakkan hukum secara kaku atau mencari jalan tengah restorasi yang tidak memicu konflik kemanusiaan baru. Meski demikian, bagi gajah-gajah di Tesso Nilo, waktu bukanlah kemewahan yang mereka miliki.

Menteri Kehutanan baru-baru ini menjanjikan restorasi besar-besaran untuk memberikan kembali “ruang bernapas” bagi Gajah Sumatra, Harimau, Tapir, dan Beruang Madu yang masih tersisa.

Tesso Nilo saat ini sedang berada di persimpangan jalan. Setiap dukungan, suara di media sosial, dan desakan publik adalah perpanjangan tangan harapan bagi sang raksasa hutan. Apakah ia akan tercatat dalam sejarah sebagai taman nasional yang hanya tinggal nama, atau menjadi monumen keberhasilan manusia dalam memperbaiki kesalahan masa lalu? Pilihan itu ada di tangan kita hari ini.

Jurnalisme lingkungan Indonesia butuh dukungan Anda. Bantu Ekuatorial.com terus menyajikan laporan krusial tentang alam dan isu iklim.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses