Sengketa ini lebih kompleks dibanding sekadar konflik kepemilikan tanah biasa. Penggugat mengklaim hak atas tanah adat melalui jalur hukum formal.
Di selatan pulau Sulawesi, kehidupan masyarakat adat Ammatoa Kajang menggenggam ritmenya sendiri. Di bawah rindangnya kanopi hutan adat, nilai-nilai tradisi terus dijaga keteduhannya oleh masyarakat setempat. Hukum lisan nenek moyang yang dikenal sebagai Pasang ri Kajang, mengatur hubungan manusia dengan hutan, tanah, dan leluhur mereka selama berabad-abad. Namun, komunitas adat yang dikenal sebagai penjaga hutan terbaik di dunia ini menghadapi ujian baru: persoalan hukum di bangku pengadilan.
Kasus ini muncul ketika Ammatoa, sebutan bagi Ketua Adat Suku Kajang, digugat oleh satu keluarga yang mengklaim hak atas sebidang tanah adat, tanah yang selama ini diakui sebagai bagian dari wilayah adat yang dilindungi hukum adat dan negara.
Gugatan tersebut terdaftar sebagai perkara perdata di Pengadilan Negeri Bulukumba dengan nomor registrasi 9/Pdt.G/2025/PN.BLK, sebagai konflik hukum yang kini tengah bergulir antara Mappi dan rekan-rekannya sebagai Penggugat melawan Puto Palasa selaku Ketua Adat Ammatoa Kajang sebagai Tergugat. Berdasarkan data yang tercatat dalam daftar jadwal sidang yang tersedia di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Bulukumba, masalah ini termasuk perkara kategori Perdata (Pdt.G) yang masih dalam tahap pemeriksaan objek sengketa.
Gugatan tanah adat
Sengketa dimulai saat klaim penguasaan atas sebidang tanah yang berada di Dusun Bantalang, Desa Pattiroang, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Tanah seluas sekitar 17.588 meter persegi itu dahulu dikuasai oleh Baco Bin Lambeng, orang tua para penggugat.
Setelah Baco Bin Lambeng wafat, Ammatoa sebagai pemimpin adat menetapkan bahwa tanah tersebut termasuk wilayah ulayat atau tanah adat Ammatoa Kajang, sehingga menurut hukum adat setempat tidak bisa diklaim sebagai kepemilikan pribadi.
Sengketa ini memiliki latar yang lebih kompleks dibanding sekadar konflik kepemilikan tanah biasa. Para penggugat mengklaim hak atas tanah tersebut dan menuntut haknya melalui jalur hukum formal.
Sementara Ammatoa selaku tergugat, melalui kuasa hukumnya, menolak klaim itu dengan alasan tanah tersebut merupakan bagian integral dari hutan adat yang sudah diakui secara hukum negara berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016) yang menetapkan kawasan ini sebagai hutan adat yang tidak boleh diganggu gugat.
“Kita baru lihat banjir bandang dan longsor di Sumatera akibat alih fungsi hutan. Apakah kita ingin bencana serupa menimpa Bulukumba?” kata Kuasa Hukum Ammatoa, Juhardianti, menautkan persoalan lokal ini dengan persoalan nasional terkait lingkungan hidup.
Bagi warga Kajang, kasus ini lebih dari sekadar sengketa tanah, tetapi sebagai ujian terhadap bagaimana hukum nasional memandang dan memperlakukan hak masyarakat adat yang telah diakui secara formal. Logika hukum perdata juga diuji dalam memposisikan nilai-nilai tradisi yang selama ini menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat adat Ammatoa Kajang khawatir keputusan hukum ini bisa berdampak pada masa depan hutan, sungai, serta keseimbangan ekologi yang telah dijaga dengan integritas adat selama puluhan generasi.
Pihak pengadilan sebenarnya sudah melakukan upaya mediasi. Namun tidak membuahkan hasil karena Ammatoa sebagai tergugat tidak diperkenankan meninggalkan kawasan adat, dan aturan adat yang berlaku juga melarang penggunaan teknologi informasi dalam komunikasi, sehingga mekanisme mediasi elektronik seperti yang diatur dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2022 tidak bisa terlaksana. Atas dasar itulah perkara ini berlanjut ke tahap pembuktian di bawah pengawasan majelis hakim.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba juga telah berupaya turun tangan. Pemda mengajukan Permohonan Pihak Intervensi untuk berdiri di sisi Ammatoa sebagai bentuk dukungan yang bukan hanya politik, tapi kewajiban moral dan hukum. Tetapi Majelis Hakim PN Bulukumba menolak permohonan tersebut melalui putusan sela. Pengadilan menganggap status pihak luar harus diputuskan secara formal dan tidak otomatis dikaitkan dengan dukungan administratif.
Secara hukum, perkara ini menghadirkan kompleksitas karena menyentuh dua kerangka hukum berbeda, yakni hukum adat komunitas Ammatoa Kajang yang telah diakui melalui peraturan daerah dan keputusan Menteri LHK, serta hukum perdata nasional yang memberi ruang bagi siapa pun untuk mengajukan klaim hak atas tanah melalui jalur peradilan.
Hingga kini perkara tersebut masih berjalan dan berada pada tahap pembuktian. Publik dan berbagai pihak yang berkepentingan masih menunggu agenda sidang lanjutan di mana kedua pihak akan memaparkan bukti dan argumen masing-masing, sebelum majelis hakim mengeluarkan putusan yang akan menentukan arah hukum atas sengketa tanah adat yang selama ini dijaga ratusan tahun oleh masyarakat Ammatoa Kajang.
Kasus ini turut menjadi refleksi tentang bagaimana negara, hukum, dan masyarakat adat harus menemukan titik temu agar hak tradisional yang ramah lingkungan dihormati dalam kerangka hukum nasional, tanpa harus menjadikan penjaga hutan disudutkan oleh proses hukum yang seharusnya melindungi mereka.
- Pengolahan air limbah dan sampah domestik jadi isu mendesak lingkungan kampus
- Nasib hutan adat Ammatoa Kajang di bangku pengadilan
- COP30 Brasil, antara kemajuan nyata dan janji yang mengambang
- Mahasiswa Unesa sulap limbah plastik jadi produk bernilai ekonomi
- Kepakan sayap Elang Jawa dan era konservasi berbasis teknologi
- Sekolah Adat Tunggu Tubang, jalan pulang generasi muda Adat Semende
