Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemimpin dunia dalam ekonomi biru. Dengan merawat padang lamun.
Di bawah permukaan air yang tenang di pesisir Bintan, Kepulauan Riau, sebuah dunia lain sedang “bernapas”. Bukan terumbu karang yang berwarna-warni mencolok, melainkan hamparan hijau luas yang bergoyang lembut mengikuti irama arus. Ini adalah padang lamun (seagrass), ekosistem yang sering kali terlupakan, terselip di antara kemegahan mangrove dan pesona terumbu karang.
Namun, jangan biarkan penampilannya yang sederhana menipu Anda. Di balik kesunyiannya, padang lamun Indonesia memegang kunci ganda: sebagai benteng pertahanan iklim global dan lumbung pangan bagi jutaan nelayan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan, adalah rumah bagi salah satu hamparan lamun terluas di dunia. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), luas padang lamun di Indonesia yang telah tervalidasi mencapai 29.464 hektare, namun estimasi potensinya bisa mencapai 875.967 hektare.
“Lamun seringkali dianggap sebagai ‘anak tiri’ dalam konservasi laut dibandingkan karang dan mangrove. Padahal, peran ekologisnya sangat masif,” ujar Udhi Eko Hernawan, Peneliti Ahli Utama Oseanografi BRIN, dalam berbagai kesempatan publikasi ilmiahnya mengenai status padang lamun.
Berbeda dengan rumput laut (seaweed) yang merupakan alga, lamun adalah tumbuhan berbunga sejati (Angiospermae) yang hidup sepenuhnya di dalam air laut. Ia memiliki akar, rimpang (rhizoma), batang, daun, bunga, dan buah. Struktur akar yang kuat inilah yang mencengkeram dasar laut, menahan sedimen, dan menjernihkan air—sebuah layanan alam yang krusial bagi kesehatan terumbu karang di dekatnya.
Senjata rahasia melawan krisis iklim
Ketika dunia berlomba-lomba menanam pohon untuk menyerap karbon, kita mungkin melewatkan fakta bahwa penyerap karbon paling efisien justru berada di dalam air.
Padang lamun adalah salah satu penyerap karbon biru (blue carbon) terkuat di Bumi. Menurut laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) yang bertajuk “Out of the Blue: The Value of Seagrasses to the Environment and to People”, padang lamun dapat menyimpan karbon hingga 35 kali lebih cepat dibandingkan hutan hujan tropis.
Mekanismenya unik. Lamun tidak hanya menyimpan karbon dalam biomassa daunnya, tetapi juga memerangkap partikel kaya karbon di dalam sedimen (tanah) di antara akar-akarnya. Karbon ini bisa terkunci di sana selama ribuan tahun selama ekosistemnya tidak rusak.
Dr. Nurul Dhewani, peneliti lamun dari BRIN, dalam risetnya menekankan pentingnya valuasi ini. “Jika padang lamun rusak, karbon yang tersimpan selama berabad-abad itu akan terlepas kembali ke atmosfer menjadi gas rumah kaca, memperparah pemanasan global,” jelasnya. Dengan luasnya perairan Indonesia, kita sedang duduk di atas “tabungan karbon” raksasa yang nilainya tak terhingga bagi iklim dunia.
Sang Juara Iklim
di Dasar Laut
Mengapa Padang Lamun (Seagrass) lebih efektif daripada Hutan Tropis?
Kecepatan Penyerapan Karbon
Standar Penyerapan
Menyimpan karbon dalam sedimen
– UNEP Report
Potensi Indonesia
29.464
Hektare
Luas Tervalidasi (BRIN)
875rb+
Hektare
Estimasi Potensi Luas
Manfaat Ganda
Nilai Ekonomi Perikanan
Rumah bagi siklus hidup Rajungan & Ikan Komersial (Nursery Ground).
Benteng Iklim (Blue Carbon)
Mengunci karbon ribuan tahun di dalam sedimen dasar laut.
Ekowisata Dugong
Indikator kesehatan laut & daya tarik wisata di Bintan, Alor, & Raja Ampat.
Sumber Data: BRIN (2023) & UNEP “Out of the Blue” (2020) | Infografis oleh Ekuatorial
Bukan sekadar rumput
Di luar isu iklim, padang lamun adalah “kulkas” bagi masyarakat pesisir. Secara ekonomi, ekosistem ini adalah tempat pemijahan (nursery ground) bagi ikan-ikan komersial, kepiting rajungan, dan udang.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Ocean & Coastal Management memperkirakan bahwa satu hektare padang lamun dapat mendukung perikanan komersial senilai ribuan dolar per tahun. Di Indonesia, rajungan (Portunus pelagicus)—salah satu komoditas ekspor perikanan terbesar—sangat bergantung pada kesehatan padang lamun untuk siklus hidupnya.
“Nelayan tradisional tahu betul, jika lamun hilang, ikan dan kepiting juga hilang. Mereka tidak perlu pergi ke tengah laut yang berbahaya dan memakan biaya BBM tinggi jika padang lamun di pesisir terjaga,” ungkap Wawan Ridwan, seorang praktisi konservasi kelautan senior yang pernah menjabat di WWF Indonesia.
Selain perikanan, pariwisata berbasis lamun mulai menggeliat. Di Raja Ampat dan Alor, padang lamun menjadi destinasi wisata premium untuk melihat Dugong (Dugong dugon), mamalia laut karismatik yang menjadikan lamun sebagai satu-satunya sumber makanannya. Keberadaan Dugong menjadi indikator kesehatan padang lamun, sekaligus magnet devisa pariwisata.
Ancaman di depan mata
Sayangnya, “harta karun” ini sedang terancam. Data LIPI (sekarang BRIN) menunjukkan bahwa persentase tutupan lamun di Indonesia dalam kategori “kurang sehat” masih mendominasi di banyak lokasi.
Ekosistem padang lamun saat ini tengah menghadapi tekanan berat yang sebagian besar bersumber dari berbagai aktivitas manusia di wilayah pesisir. Salah satu ancaman utamanya adalah proyek reklamasi pantai demi pembangunan infrastruktur yang secara langsung menimbun habitat alami tumbuhan laut ini.
Selain itu, kondisi diperburuk oleh pencemaran dari limbah rumah tangga serta limpasan sisa pertanian yang memicu fenomena eutrofikasi. Proses ini mengakibatkan air laut menjadi sangat keruh, sehingga menghalangi penetrasi sinar matahari yang sangat krusial bagi lamun untuk melakukan proses fotosintesis.
Di dasar laut sendiri, kelestarian lamun kian terancam oleh praktik perikanan merusak, seperti penggunaan pukat harimau yang menyapu bersih segala kehidupan di jalur lintasannya.
Menanggapi situasi kritis tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, melalui berbagai pernyataan resmi kementerian, terus menegaskan komitmen kuat pemerintah dalam upaya perlindungan lingkungan. Dia menekankan bahwa pengelolaan padang lamun kini menjadi prioritas utama dalam penataan ruang laut serta strategi mitigasi perubahan iklim. Langkah strategis ini diambil sebagai bentuk nyata dukungan terhadap target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dalam menjaga kelestarian ekosistem laut demi masa depan.
Menjaga padang lamun bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Upaya konservasi tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Pelibatan masyarakat lokal melalui penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) yang dikelola secara adat telah terbukti efektif di Maluku dan Papua.
Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemimpin dunia dalam ekonomi biru. Dengan merawat padang lamun, kita tidak hanya menyelamatkan Dugong atau menjaga stok ikan bagi nelayan kecil, tetapi kita juga sedang memberikan napas panjang bagi bumi yang semakin panas.
Sudah saatnya kita melihat ke bawah permukaan laut, dan menyadari bahwa rumput yang bergoyang itu adalah penopang kehidupan kita di darat.
- Padang lamun, harta karun hijau di dasar samudra
- Mangrove lebih dari sekadar benteng hijau pesisir
- Menjinakkan ledakan sampah elektronik Indonesia
- Napas terakhir Tesso Nilo, bertahan di sela kepungan sawit
- Panggilan pulang Hamzah dan aroma kopi di ketinggian Kahayya
- Benarkah nikel kita hijau? Menggugat keadilan di balik baterai kendaraan Listrik
