Kisah perempuan Dayak Seberuang di Silit adalah mikrokosmos dari perjuangan masyarakat adat di seluruh Nusantara.
Matahari belum sepenuhnya menembus kabut yang menyelimuti Dusun Silit pagi itu. Di tengah udara yang masih basah oleh sisa embun, keheningan hutan pecah oleh derap langkah kaki. Bukan derap mesin industri yang menderu, melainkan langkah-langkah tegap para perempuan Dayak Seberuang yang berbekal parang dan topi lebar.
Mereka adalah penjaga ritme kehidupan di Dusun Silit, Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Di wilayah yang jauh dari hiruk-pikuk akses pasar kota ini, 295 jiwa menggantungkan hidup pada kemurahan alam. Namun, bagi para perempuan Silit, alam bukan sekadar tempat mengambil hasil, melainkan mitra yang harus dijaga martabatnya.
Di tengah gempuran pertanian monokultur yang rakus lahan di Kalimantan Barat, masyarakat Silit memilih setia pada leluhur. Mereka mempraktikkan sistem ladang berpindah atau yang dikenal dengan istilah “gilir balik”.
Bagi orang luar, ini mungkin terlihat kuno. Namun, bagi ekosistem, ini adalah nafas. Lahan tidak dipaksa terus-menerus berproduksi hingga sakit. Ada masa jeda, ada waktu bagi tanah untuk memulihkan diri tanpa suntikan pupuk kimia. Sistem tumpang sari yang mereka terapkan memungkinkan padi tumbuh berdampingan dengan tanaman lain, menciptakan harmoni yang menjaga keseimbangan hara tanah.
Salah satu harta karun yang lahir dari tanah yang sehat ini adalah liak padi atau jahe ladang. Ukurannya mungil, jauh lebih kecil dari jahe gajah di pasar swalayan, namun aromanya menusuk tajam dan rasa pedasnya menggigit. Inilah “emas” kecil yang kini sedang dipoles oleh perempuan-perempuan Silit.
Transformasi dari dapur Inuk-Inuk
Perubahan besar bermula dari langkah kecil pada tahun 2022. Kelompok perempuan “Inuk-Inuk Beteras”—sebuah nama yang menyiratkan kekuatan komunal—mulai tidak sekadar menjual jahe mentah. Berkat pendampingan WALHI Kalimantan Barat, mereka belajar mengolah liak padi menjadi serbuk jahe instan bernilai tinggi.
Prosesnya adalah ujian kesabaran. Yuliana, Ketua Kelompok Inuk-Inuk Beteras, menceritakan bagaimana jahe yang telah ditanam selama delapan bulan harus dipanen, dibersihkan, ditumbuk, diperas, hingga sarinya dimasak berjam-jam secara manual. Tidak ada mesin canggih, hanya ketelatenan tangan yang mengaduk sari jahe dan gula hingga mengkristal.
“Harganya kini bisa mencapai Rp150 ribu per kilogram. Ini sangat membantu ekonomi keluarga kami,” kata Yuliana kepada Alfiyyah Ajeng Nurardita dari Kolase.ID.
Namun, inovasi ini bukan tanpa kerikil. Tantangan alam seperti pembusukan tanaman dan sulitnya akses pasar membuat produk premium ini belum bisa “terbang” jauh. Hingga kini, WALHI masih menjadi satu-satunya jembatan mereka ke dunia luar.
Anyaman yang terancam putus
Di sela-sela waktu menunggu panen, tangan-tangan terampil perempuan Silit beralih ke daun perupuk. Di beranda rumah, mereka menganyam jenguk (wadah bibit), tengkin (penjemur padi), hingga ragak dan tikar. Ini bukan sekadar kerajinan; ini adalah teknologi pangan tradisional yang memastikan panen tersimpan aman.
Namun, ada kecemasan yang tersirat di wajah Lusiana, salah satu pengrajin. Tradisi menganyam ini menghadapi ancaman yang lebih menakutkan daripada hama tanaman: krisis regenerasi.
“Semua orang tua di sini bisa menganyam, tapi anak muda tidak. Hampir tidak ada penerus,” keluhnya. Jika ini berlanjut, pengetahuan tentang bagaimana daun perupuk diubah menjadi alat bertahan hidup akan hilang terkubur zaman.
Kepala Desa Nanga Pari, Yohanes Miludi, mengakui peran vital para perempuan ini. Dukungan administratif telah diberikan, namun dukungan finansial yang konkret masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Desa terpencil ini membutuhkan lebih dari sekadar stempel; mereka butuh akses pasar, pelatihan berkelanjutan, dan infrastruktur yang memadai.
Kisah perempuan Dayak Seberuang di Silit adalah mikrokosmos dari perjuangan masyarakat adat di seluruh Nusantara. Mereka memiliki solusi untuk ketahanan pangan dan ekonomi hijau, namun seringkali terbentur tembok isolasi.
Hari ini, di ladang-ladang Silit, Yuliana dan kawan-kawannya tidak hanya menanam jahe atau menganyam tikar. Mereka sedang menenun harapan—berharap agar dunia luar melihat bahwa dari tangan perempuan di pedalaman, ekonomi berkelanjutan itu nyata, hidup, dan sedang berdenyut. Yang mereka butuhkan hanyalah jembatan untuk menyeberangkannya.
Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan Kolase.ID.
- Perempuan Dayak Seberuang menjaga ekonomi kampung di balik kabut Silit
- Solidaritas Papua menggugat absennya negara di bencana Sumatera
- Lagu ‘Tamiangku’ merekam pilu di tengah banjir yang menenggelamkan
- Menakar keadilan dalam transisi energi Indonesia
- Suhu Bumi melonjak, 2025 termasuk tahun terpanas sepanjang sejarah
- Runtuhnya Tongkonan Ka’pun Toraja, potret krisis pengakuan hak adat di Indonesia
