Tongkonan Ka’pun Toraja bukan sekadar hunian, melainkan simbol kekerabatan, roh leluhur, struktur sosial dan spiritual
Saat kayu-kayu tua Tongkonan Ka’pun Toraja berjatuhan, yang runtuh bukan hanya bangunan. Peristiwa itu mengungkap luka panjang masyarakat adat terhadap kebijakan agraria yang belum benar-benar memberi perlindungan, meski warisan budayanya menjadi bagian penting dari identitas bangsa.
Pada 5 Desember 2025, deru ekskavator menggema di Kelurahan Kurra, Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana Toraja. Di hadapan warga yang menangis dan berteriak, tiga rumah adat tongkonan termasuk Tongkonan Ka’pun yang diperkirakan telah berdiri selama sekitar tiga abad runtuh satu per satu. Lumbung-lumbung padi dan bangunan adat lain ikut diratakan. Eksekusi pengadilan mengiringi perobohan itu, dan sebelum alat berat bergerak, bentrokan sempat pecah antara aparat dan warga adat. Belasan orang dilaporkan luka.
Bagi komunitas adat Toraja, tongkonan bukan sekadar hunian, melainkan simbol kekerabatan, roh leluhur, struktur sosial dan spiritual. Di dalamnya tersimpan garis keturunan, kisah leluhur, tata nilai, dan ikatan komunal yang mempersatukan satu rumpun keluarga. Kehilangan tongkonan berarti tergerusnya memori, solidaritas, dan hak hidup masyarakat adat yang direnggut lewat keputusan legal formal.
Peristiwa ini adalah cermin tragis dari bagaimana konflik agraria di Indonesia terus menggulung masyarakat adat, meskipun keberadaan mereka seharusnya dilindungi oleh hukum.
Di ranah hukum agraria, sesungguhnya ada pengakuan tegas bahwa masyarakat adat berhak atas tanah ulayat. Undang-Undang Pokok Agraria 1960, khususnya Pasal 3, secara jelas menyatakan bahwa negara mengakui “hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
UUPA dirumuskan untuk meninggalkan warisan hukum kolonial yang menyingkirkan hak masyarakat adat dan memberi fondasi bagi sistem agraria nasional yang lebih adil. Namun aturan itu kerap berhenti sebagai teks di atas kertas. Dalam praktik, tidak ada mekanisme teknis yang kuat dan terstandarkan dari verifikasi hingga pendaftaran wilayah adat sehingga hak ulayat bergantung pada pengakuan administratif yang sering kali tak pernah datang.
Ketidakpastian hukum ini menjadikan masyarakat adat rentan terhadap klaim individu atau pihak luar yang memegang sertifikat hak milik atau izin konsesi. Tekanan pembangunan, ekspansi perkebunan, dan proyek-proyek yang memerlukan lahan menciptakan tumpang tindih kepentingan yang sering kali berujung pada pelanggaran terhadap hak komunal. Perobohan Tongkonan Ka’pun mencerminkan betapa sistem hukum gagal melindungi tanah adat, meski kerangka normatif seharusnya menjamin keberadaannya.
Dalam perspektif hukum adat dan hukum perdata, tanah bagi masyarakat Toraja bukanlah objek individual seperti lazimnya di mata hukum modern. Tanah adat, termasuk area sekitar tongkonan, dikuasai bersama berdasarkan garis kekerabatan dan dikelola untuk kepentingan komunal. Di sinilah benturan terbesar terjadi: ketika sertifikasi tanah perdata diterapkan atas tanah adat tanpa mengindahkan nilai komunal, hubungan sosial budaya yang telah berdiri ratusan tahun dapat terputus.
Penelitian tentang tanah tongkonan menunjukkan bahwa pemberian sertifikat hak milik pada individu tanpa mempertimbangkan adat dapat memecah hubungan hukum tradisional dan melemahkan solidaritas. Dalam konflik semacam ini, dokumen legal formal dapat memenangkan satu atau beberapa individu, sementara suara adat, sejarah keluarga, dan kepentingan komunal tersingkirkan.
Dalam konteks Toraja, sistem nilai Aluk Todolo telah mengatur struktur adat, pewarisan, dan pengelolaan tanah jauh sebelum hukum nasional terbentuk. Namun penyelesaian sengketa di pengadilan negara jarang mengakomodasi kerangka adat tersebut. Ketika sengketa waris muncul atau klaim eksternal terjadi, komunitas adat sering kali tidak memiliki bekal hukum formal untuk bertahan, sehingga keputusan pengadilan bisa mengalihkan kepemilikan tanah tanpa mempertimbangkan prinsip komunal yang telah berlangsung turun-temurun. Pada titik inilah sertifikasi perdata berpotensi menjadi alat pemecah komunitas adat.
Konflik Tongkonan Ka’pun tidak hadir dalam ruang hampa. Ini merupakan bagian dari pola yang lebih besar: konflik agraria di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sistem regulasi sering tumpang tindih, sementara perlindungan terhadap hak ulayat hampir selalu terhambat karena ketiadaan mekanisme yang inklusif dan jelas. Hukum formal kerap diperlakukan sebagai satu-satunya rujukan, meski bagi masyarakat adat ruang hidup tidak bisa dipisahkan dari nilai spiritual, kekerabatan, dan keseimbangan dengan alam. Tekanan pembangunan yang mengejar efisiensi menyingkirkan fungsi sosial budaya tanah adat, menjadikan rumah adat dan wilayah adat rentan terhadap klaim legal formal yang tidak menyentuh akar persoalan.
Konflik seperti ini juga membawa implikasi lingkungan, sosial, dan budaya yang jauh lebih dalam. Tongkonan dan wilayah adat sekitarnya selama ratusan tahun menjadi pusat pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Di Toraja, lanskap adat seperti pekarangan, hutan kecil, bambu, dan kuburan tua dipelihara sebagai bagian dari jaringan kosmologi manusia–alam. Ketika struktur adat dihancurkan, hilang pula mekanisme pewarisan kearifan ekologis. Hubungan generasi muda dengan tanah adat melemah, membuka jalan bagi degradasi lingkungan, perubahan tata lahan, dan hilangnya praktik konservasi tradisional. Trauma kolektif akibat hilangnya rumah adat dapat memicu perpecahan sosial, migrasi, dan erosi identitas budaya.
Di tengah semua itu, celah besar antara hukum formal dan hukum hidup masyarakat adat semakin terasa. Meski konstitusi mengakui keberadaan masyarakat adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 implementasinya sangat bergantung pada kemauan politik, kebijakan teknis, dan pengakuan wilayah adat yang sering kali memerlukan proses panjang. Hukum nasional belum mampu berdamai secara utuh dengan hukum adat. Tanah komunal diperlakukan sebagai tanah perorangan dalam sistem administrasi pertanahan, menciptakan jurang besar antara norma negara dan nilai adat.
Faktor-faktor struktural membuat konflik seperti ini terus berulang. Warisan cara pandang kolonial yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Kepentingan ekonomi dan politik yang menjadikan lahan sebagai investasi. Lemahnya institusi verifikasi dan pendaftaran tanah adat, rendahnya literasi hukum di kalangan masyarakat adat, dan paradigma pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan fisik dibanding keberlanjutan sosial budaya. Semua itu menempatkan masyarakat adat pada posisi paling rentan dalam pusaran pembangunan nasional.
Untuk keluar dari lingkaran persoalan ini, negara perlu memperkuat mekanisme hukum bagi hak ulayat. Sebuah lembaga independen yang mampu memverifikasi, mendokumentasikan, dan meregistrasi wilayah adat secara partisipatif dan transparan menjadi kebutuhan mendesak. Harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional harus dibuat lebih lentur dan responsif terhadap realitas lokal, termasuk dalam pewarisan, jual-beli, dan penyelesaian sengketa.
Pelindungan tanah adat perlu ditempatkan dalam prinsip keadilan lingkungan dan budaya, bukan sekadar dalam logika administratif. Pemerintah daerah dan pusat dapat merancang perda pengakuan wilayah adat, mekanisme pendaftaran komunal, dan perlindungan rumah adat sebagai warisan budaya.
Di sisi lain, jurnalis lingkungan dan geojurnalisme memiliki peran penting dalam mengangkat konflik agraria sebagai isu kemanusiaan dan ekologis, bukan sekadar sengketa hukum. Liputan mendalam yang peka terhadap sejarah, ruang hidup, dan relasi manusia–alam dapat membangun empati publik dan mendorong advokasi kebijakan. Pendidikan hukum dan literasi adat bagi masyarakat adat juga menjadi kunci agar komunitas memiliki kekuatan memperjuangkan haknya.
Perobohan Tongkonan Ka’pun seharusnya tidak menjadi bab terakhir dari sebuah sejarah yang hilang, melainkan titik balik untuk menegaskan kembali arti tanah sebagai sumber identitas, martabat, dan keberlanjutan. Dalam setiap tongkonan yang berdiri, tersimpan relasi manusia dengan leluhur, dengan komunitas, dan dengan alam. Ketika rumah adat diratakan tanpa sensitivitas budaya dan hukum, yang runtuh bukan hanya bangunan, tetapi fondasi kehidupan itu sendiri.
Dari tragedi ini, ada harapan bahwa kesadaran baru dapat tumbuh: bahwa keadilan agraria bagi masyarakat adat adalah syarat bagi keberlanjutan lingkungan, kelestarian budaya, dan masa depan yang lebih manusiawi.
- Suhu Bumi melonjak, 2025 termasuk tahun terpanas sepanjang sejarah
- Runtuhnya Tongkonan Ka’pun Toraja, potret krisis pengakuan hak adat di Indonesia
- Upaya tiga dekade belum maksimal, ini strategi baru konservasi elang jawa
- Luka dan bayang-bayang bencana di Gunung Slamet
- Mendengar suara peringatan gunung di Hari Gunung Internasional
- Semangat energi terbarukan dari kampus: UIN Jakarta pasang PLTS atap, UPER bangun pusat riset keberlanjutan
