Sekolah Adat Tunggu Tubang upaya membangun jembatan yang menghubungkan generasi muda adat Semende dengan akar leluhur.

Di jantung Komunitas Adat Muara Dua, Semende Ulu Nasal, Kabupaten Kaur, sebuah bangunan sederhana berdiri tegak, menjadi mercusuar harapan bagi identitas yang mulai terkikis. Sekolah adat yang diresmikan pada Sabtu (18/10/2025) ini dibangun secara bergotong-royong, dengan konstruksi kayu beratapkan kayu Sirap, berukuran 11×6 meter.

Bangunan itu dinamai “Tunggu Tubang”. Nama ini bukan sekadar label, melainkan identitas yang diangkat dari konsep leluhur Semende, yang memandatkan harta pusaka keluarga untuk dijaga dan diwariskan kepada anak perempuan.

Namun, di sekolah ini, yang diwariskan bukanlah tanah atau harta, melainkan sesuatu yang jauh lebih berharga: kekayaan pengetahuan, tradisi, dan budaya masyarakat Semende.

Gagasan mendirikan Sekolah Adat Tunggu Tubang muncul dari pertemuan kampung pada Juni 2025. Pertemuan yang melibatkan para tokoh adat, masyarakat, dan pemerintah desa itu diadakan untuk menjawab keresahan mendalam: rapuhnya identitas mereka sebagai masyarakat adat.

Ketua Lembaga Adat Muara Dua, Kuyin (82), mengungkapkan kekhawatiran utamanya adalah tidak adanya upaya mengintegrasikan praktik kehidupan masyarakat adat dalam institusi pendidikan formal, baik di SD, SMP, maupun SMA.

Akibatnya, banyak generasi muda adat yang tidak lagi mengenal identitas mereka, praktik kearifan lokal, pengetahuan lokal, dan tradisi budaya.

“Tidak ada generasi muda adat yang bisa menganyam. Menari adat, malu. Bermusik tradisional juga tidak mau. Jadi, sekolah-sekolah (formal) itu telah menjauhkan generasi muda adat dari tanah kelahiran, identitas, pengetahuan, tradisi dan budaya,” — Kuyin, Ketua Lembaga Adat Muara Dua, kepada LiveBengkulu.

Kurikulum dari alam dan leluhur

Sekolah Adat Tunggu Tubang hadir sebagai upaya membangun kembali jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar leluhur mereka.

Menurut Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaur, Agus Setiawan, pendirian sekolah ini adalah “jalan pulang”. Ini adalah cara agar generasi muda Semende dapat mengintegrasikan diri dengan tanah kelahiran dan identitas, sehingga mereka kembali terhubung dengan ingatan, nilai-nilai, dan penghormatan terhadap kampung leluhur.

“Sekolah adat adalah jalan kembali atau jalan pulang. Biar generasi muda tidak lagi malu, dan mungkin merendahkan kampung dan identitas mereka sendiri,” kata Agus.

Proses belajar mengajar di sekolah adat ini pun fleksibel dan terbuka. sekolah tidak memungut biaya kepada peserta belajarnya. Dan peserta belajar tidak dibatasi usia dengan waktu belajar ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara guru dan murid. Sekolah adat ini tidak mengenal seragam.

“Semangatnya melestarikan pengetahuan, tradisi, dan budaya orang Semende. Semua orang adalah guru, termasuk siapa pun boleh jadi murid,” tambah Kuyin.

Untuk tahap awal, sudah ada empat guru yang akan mengajar. Mata pelajaran yang disiapkan meliputi, ilmu beladiri Silat Kuntau dan menganyam. Kemudian seni musik dan sastra lisan Rejung Semende serta tari adat Semende.

Satu mata pelajaran yang juga siap diajarkan adalah belajar obat-obatan tradisional. Namun, karena membutuhkan praktik, saat ini tengah disiapkan wadah pembibitan tanaman. Rencananya, 100 tanaman obat di hutan akan ditanam kembali.

Perda pengakuan masyarakat adat

Inisiatif Komunitas Adat Muara Dua Semende Ulu Nasal ini menjadi bukti nyata bahwa keberadaan masyarakat adat di Kaur patut mendapat perhatian dan perlindungan dari pemerintah daerah.

Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi, menyatakan bahwa perlindungan tersebut harus diwujudkan dalam Peraturan Daerah (Perda) yang khusus mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Kaur.

Dengan adanya perlindungan hukum, segala kekayaan pengetahuan, wilayah adat, hak-hak tradisional, kelembagaan adat, dan kekayaan tradisi dan kebudayaan mereka dapat dilindungi.

“Sekolah Adat Tunggu Tubang harus jadi pemantik bahwa ini waktunya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat juga bisa disegerakan,” — Fahmi Arisandi, Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu.

Fahmi menambahkan, di Kaur terdapat beberapa komunitas adat yang memiliki ikatan sejarah panjang, seperti Semende di Padang Guci, Banding Agung, Muara Sahung, serta komunitas adat di pesisir dan bukit. Tanpa pengakuan dan perlindungan, mereka rentan hilang dan tergerus oleh investasi dan kebudayaan modern yang jauh dari nilai-nilai mereka.

Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Kaur, Mardianto, mengapresiasi inisiasi pembangunan Sekolah Adat Tunggu Tubang. Ia melihat langkah ini sebagai strategis untuk melindungi kekayaan dan pengetahuan masyarakat adat.

“Kami berharap sekolah adat juga didirikan di desa atau tempat lain,” kata Mardianto di hadapan ratusan warga dan tamu undangan. Ia pun berjanji akan membantu mendorong Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kaur. “Mari kita diskusikan (Perda), saya siap menjembatani,” pungkasnya.

Sastra lisan Rejung Semende

Dalam kurikulum Sekolah Adat Tunggu Tubang, yang bertujuan menjadi “jalan pulang” bagi generasi muda Semende, terdapat satu mata pelajaran yang berfungsi sebagai memori kolektif dan cermin etika komunitas: Sastra Lisan Rejung Semende. Pelajaran ini bukan sekadar menghafal syair; ia adalah upaya melestarikan jiwa dan ingatan leluhur Semende.

Rejung Semende, bersama dengan Gitar Gambus, merupakan kategori pelajaran Seni Musik dan Sastra Lisan yang siap diajarkan di sekolah adat tersebut. Kehadiran Rejung dalam kurikulum ini menunjukkan urgensi komunitas adat Muara Dua untuk memastikan narasi budaya mereka tidak terputus.

Apa Itu Rejung Semende? Secara umum, Rejung adalah salah satu bentuk sastra lisan tradisional yang tersebar luas di wilayah Sumatera Selatan (meliputi Besemah, Semende, hingga beberapa daerah di Bengkulu). Rejung biasanya berbentuk puisi naratif atau pantun panjang yang disampaikan secara lisan dan dilantunkan dengan irama tertentu.

Di Semende, Rejung memiliki fungsi yang vital dalam struktur sosial dan budaya:

  1. Media Komunikasi dan Nasihat: Rejung kerap berisi pesan moral, etika, dan hukum adat. Melalui lantunan syair, nilai-nilai luhur adat seperti gotong royong, penghormatan terhadap alam, dan kepatuhan terhadap sistem Tunggu Tubang dapat disampaikan secara indah dan mudah diingat.
  2. Ritual Adat: Rejung dilantunkan dalam berbagai acara penting, seperti upacara perkawinan, panen raya, dan ritual mendamaikan perselisihan. Ia menjadi pengantar atau penutup ritual yang memberikan kekuatan spiritual dan legitimasi adat.
  3. Hiburan dan Ekspresi: Rejung juga berfungsi sebagai media hiburan, sering diiringi dengan alat musik seperti Gitar Gambus, menciptakan harmoni yang memikat pendengar.
  4. Sejarah Lisan: Rejung dapat menjadi sumber sejarah dan silsilah keluarga, melestarikan ingatan tentang peristiwa masa lalu yang tidak tertulis.

Dalam konteks Sekolah Adat Tunggu Tubang, pengajaran Rejung Semende memiliki tujuan spesifik. Pertama, menghubungkan generasi muda adat dengan nilai. Mengingat keresahan utama pendirian sekolah adalah generasi muda yang teralienasi dari identitas, Rejung menjadi jembatan emosional untuk mereka kembali terhubung dengan nilai-nilai luhur dan perilaku hormat terhadap kampung leluhur.

Kedua, melestarikan keterampilan lisan. Di era digital, keterampilan menyampaikan dan menghayati sastra lisan semakin terancam. Pelajaran Rejung melatih peserta didik untuk menguasai irama, vokal, dan kedalaman makna sastra lisan mereka.

Kemudian yang ketiga,menguatkan identitas. Dengan belajar Rejung, generasi muda diharapkan tidak lagi malu, atau bahkan merendahkan, identitas mereka sendiri. Mereka akan memahami bahwa budaya mereka adalah kekayaan pengetahuan yang harus dijaga.

Pengajaran Rejung Semende di Sekolah Adat Tunggu Tubang adalah sebuah tindakan kedaulatan budaya—upaya mandiri masyarakat untuk memastikan warisan intelektual mereka terus hidup, melampaui keterbatasan sistem pendidikan formal yang gagal mengintegrasikan kearifan lokal.

Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan LiveBengkulu.Com.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses