Posted inOpini / Opini

Solusi berkelanjutan, membangun sekolah dari sampah plastik

Di tengah krisis lingkungan ini, inovasi pemanfaatan sampah plastik menjadi material bangunan atau ecobrick hadir sebagai solusi

Di tengah krisis lingkungan ini, inovasi pemanfaatan sampah plastik menjadi material bangunan atau ecobrick hadir sebagai solusi

Sampah plastik kini telah menjadi ancaman serius bagi kelestarian lingkungan karena sifatnya sebagai material anorganik yang tidak dapat terurai secara alami atau non-biodegradable. Sebagai pencemar xenobiotik yang tidak dikenali oleh sistem biologis lingkungan, plastik berisiko terakumulasi di alam dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Berbagai jenis limbah seperti kantong belanja, botol air mineral, hingga popok bayi dapat menghalangi proses peresapan air ke dalam tanah. Di ekosistem laut, paparan sinar matahari menyebabkan plastik terfotodegradasi menjadi partikel mikro yang kemudian termakan oleh biota laut dan masuk ke dalam rantai makanan.

Urgensi penanganan masalah ini semakin nyata jika melihat data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang mencatat bahwa plastik menempati urutan kedua sebagai jenis sampah terbanyak di Indonesia setelah sisa makanan, dengan persentase mencapai 19,47%.

Di tengah krisis lingkungan ini, inovasi pemanfaatan sampah plastik menjadi material bangunan atau ecobrick hadir sebagai solusi revolusioner. Sebagaimana dijelaskan dalam ulasan mengenai Ecobrick oleh Waste4Change, metode ini mengubah sampah tak bernilai menjadi material fungsional.

Dalam konteks pembangunan sekolah modern, teknologi yang digunakan bukan sekadar memadatkan sampah ke dalam botol, melainkan melalui proses pabrikasi canggih. Limbah plastik jenis tertentu yang pipih dan tidak beracun dicairkan, kemudian dicetak menyerupai balok Lego yang saling mengunci (interlocking).

Teknik ini dijelaskan lebih lanjut dalam artikel Avoskin Beauty, yang menyoroti bahwa pembangunan satu ruang kelas dengan metode ini dapat menyerap sekitar 1 hingga 2 ton sampah plastik dari lingkungan.

Efektivitas teknologi ini bukan sekadar teori, melainkan telah terbukti melalui berbagai proyek pembangunan sekolah di daerah rawan bencana dan terpencil di Indonesia, khususnya yang diprakarsai oleh Happy Hearts Indonesia (HHI). Salah satu contoh konkret adalah pembangunan kembali SDN 2 Padak Guar di Lombok Timur.

Setelah tujuh tahun berjuang dengan fasilitas yang rusak akibat gempa, sekolah ini akhirnya memiliki ruang kelas baru yang dibangun menggunakan bata plastik daur ulang. Bangunan ini tidak hanya kokoh, tetapi juga menjadi simbol kebangkitan pendidikan pasca-bencana.

Selain itu, di wilayah Sumba Timur, TK Negeri Kalu Manandang juga telah berdiri megah sebagai “Block School” yang berhasil mencegah 2,2 ton sampah plastik mencemari lingkungan. Proyek-proyek ini membuktikan bahwa sampah plastik dapat dikonversi menjadi infrastruktur pendidikan yang layak, aman, dan estetik.

Jika dibandingkan dengan material konvensional seperti bata merah atau batako, penggunaan bata plastik (ecobrick/eco-block) menawarkan keunggulan efisiensi yang signifikan.

Konstruksi menggunakan bata plastik jauh lebih cepat karena sistem interlocking (seperti menyusun Lego) yang tidak memerlukan waktu pengeringan semen antar bata. Sebuah sekolah yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan dengan bata konvensional, dapat diselesaikan hanya dalam hitungan hari atau minggu dengan bata plastik.

Meskipun harga satuan bata plastik bisa jadi lebih tinggi dibandingkan bata merah biasa, biaya total proyek (RAB) sering kali lebih rendah atau kompetitif. Penghematan terbesar berasal dari pemangkasan biaya tenaga kerja (karena durasi kerja yang singkat) dan pengurangan penggunaan material perekat seperti semen dan pasir.

Secara struktural, bangunan ini jauh lebih ringan sehingga sangat aman untuk wilayah rawan gempa seperti Lombok dan Sumba. Selain itu, material ini memiliki sifat isolasi termal yang sangat baik; ruangan terasa sejuk di siang hari yang terik karena plastik tidak merambatkan panas secepat beton atau batu bata.

Mitigasi risiko residu dan mikroplastik
Salah satu kekhawatiran terbesar dalam penggunaan material berbasis plastik adalah potensi pelepasan mikroplastik dan residu kimia akibat degradasi. Kritik sering muncul bahwa plastik yang terpapar panas matahari akan rapuh dan melepaskan partikel berbahaya. Untuk menjawab risiko ini, teknologi pembangunan sekolah menggunakan ecobrick telah menerapkan standar keamanan ketat.

Proses pembuatan blok hanya menggunakan plastik daur ulang yang telah disortir dan dibersihkan, serta dipastikan bebas dari bahan beracun (non-toxic) sebelum dicetak. Dalam aplikasinya, dinding ecobrick sering kali dilapisi (diplester) atau dirancang sedemikian rupa agar tidak terpapar sinar UV secara langsung. Hal ini mencegah proses fotodegradasi—penyebab utama plastik pecah menjadi mikroplastik—sehingga struktur tetap utuh dan tidak mencemari udara atau tanah di sekitarnya.

Berbeda dengan sampah plastik lepas yang mudah terurai, blok plastik dicetak dengan kepadatan tinggi (densitas 0.33 g/ml hingga 0.7 g/ml), yang secara signifikan mengurangi luas permukaan yang dapat bereaksi dengan lingkungan, meminimalisir risiko pelepasan toksin.

Para ahli dan praktisi telah memberikan pandangan untuk menepis kritik terkait keamanan kesehatan material ini. Jimmy Hutasoit, Country Director Block Solutions Indonesia, menegaskan bahwa blok plastik yang digunakan telah tersertifikasi non-toksin dan aman untuk lingkungan pendidikan. Ia menjelaskan bahwa elastisitas blok ini justru memberikan keunggulan keselamatan yang tidak dimiliki bata konvensional, terutama di wilayah rawan gempa, karena massa bangunannya yang lebih ringan mengurangi gaya seismik saat terjadi guncangan.

Lebih lanjut, Happy Hearts Indonesia menjamin bahwa material ini memiliki daya tahan hingga 50 tahun dan telah lulus uji ketahanan api serta gempa, membuktikan bahwa dengan pengolahan yang tepat (bukan sekadar menumpuk sampah), plastik menjadi material yang stabil dan tidak membahayakan kesehatan siswa.

Secara keseluruhan, ecobrick telah membuktikan dirinya sebagai alternatif material masa depan yang efektif dan berkelanjutan. Namun, perlu dicatat bahwa dalam proses konstruksinya, pendampingan dari tenaga ahli tetap sangat diperlukan untuk menjamin keamanan dan kualitas struktur bangunan. Dengan demikian, ecobrick tidak hanya menjawab tantangan penumpukan sampah plastik di Indonesia, tetapi juga turut serta dalam memajukan fasilitas pendidikan nasional melalui cara yang cerdas dan ramah lingkungan.

Safira Aliza Rahma
Mahasiswa Fakultas Hukum, Unversitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses