Lonjakan suhu bumi tidak berasal dari satu penyebab tunggal. Emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil menambah jumlah gas rumah kaca
Akhir 2025 ditutup dengan catatan yang membebani banyak negara, termasuk Indonesia. Menurut pusat pemantau iklim internasional, tahun ini diperkirakan menjadi salah satu tahun terpanas di sepanjang sejarah modern. Laporan Copernicus menegaskan, selama Januari–November 2025 rata-rata suhu permukaan global mencapai sekitar 1,48°C di atas level pra-industri. Angka tersebut sama seperti rata-rata panas di tahun 2023 dan 2024.
Pernyataan serupa juga datang dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Dalam laporan keadaan iklim global, WMO mencatat bahwa 2015–2025 menjadi 11 tahun terpanas sejak pencatatan selama 176 tahun. Rata-rata suhu permukaan pada Januari–Agustus 2025 berada sekitar 1,42°C di atas tingkat pra-industri. Catatan ini menjadi indikator kuat bahwa pemanasan berlanjut dan fenomena cuaca ekstrem semakin sering dipengaruhi oleh akumulasi gas rumah kaca di atmosfer.
Indonesia sebagai negara kepulauan merasakan langsung efek perubahan ini. Pola cuaca yang tak menentu, gelombang panas temporer di beberapa wilayah, dan pergeseran musim, terbukti mengubah kalender tanam petani serta menekan kesehatan publik.
Memanasnya suhu Bumi
Lonjakan suhu global tidak berasal dari satu penyebab tunggal. Emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil menambah jumlah gas rumah kaca sehingga “memanaskan” suhu Bumi. Selain itu, fenomena alam seperti El Niño atau La Niña dan fluktuasi atmosfer regional dapat memperkuat atau meredam suhu pada jangka pendek.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, di tahun ini cuaca panas dengan suhu maksimum mencapai 37,6°C melanda berbagai wilayah Indonesia. Wilayah yang paling berdampak suhu tinggi meliputi sebagian besar Nusa Tenggara, Jawa bagian barat hingga timur, Kalimantan bagian barat dan tengah, Sulawesi bagian selatan dan tenggara, serta beberapa wilayah Papua.
Misalnya pada 12 Oktober 2025, suhu tertinggi tercatat sebesar 36,8°C di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Kupang (NTT), dan Majalengka (Jawa Barat). Kemudian, suhu sedikit menurun menjadi 36,6°C di Sabu Barat (NTT) pada 13 Oktober 2025.
Suhu kembali meningkat pada 14 Oktober 2025, berkisar antara 34–37°C. Beberapa wilayah seperti Kalimantan, Papua, Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan suhu maksimum 35–37°C. Wilayah Majalengka (Jawa Barat) dan Boven Digoel (Papua) juga menunjukkan peningkatan suhu hingga 37,6°C.
“Penyebab utama suhu panas ini adalah posisi gerak semu matahari yang pada bulan Oktober berada di selatan ekuator. Faktor lainnya adalah penguatan angin timuran atau Monsun Australia yang membawa massa udara kering dan hangat sehingga pembentukan awan minim serta radiasi matahari dapat mencapai permukaan bumi secara maksimal,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto, dikutip dari laman BMKG.
Dampak suhu yang semakin panas
Panasnya suhu Bumi memberikan dampak buruk bagi kehidupan sehari-hari. Misalnya, para pekerja lapangan dapat lebih mudah kelelahan dan rawan heat stress, petani yang mengalami gangguan fase tanaman akibat suhu dan kelembaban yang berubah, serta terjadinya lonjakan penggunaan listrik untuk pendingin ruangan yang berisiko gagal pasokan jika sistem distribusi tak siap.
Pakar pertanian, agro-meteorologi, dan perubahan iklim Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, menjelaskan bahwa selain mengurangi produktivitas, kenaikan suhu bumi juga berdampak pada kualitas hasil panen secara signifikan, yang dapat memengaruhi nilai ekonomi serta aspek gizi dari hasil pertanian.
Suhu tinggi dapat menyebabkan perubahan dalam pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, seperti penundaan atau percepatan berbunga, serta perubahan ukuran dan kualitas buah atau biji yang dihasilkan.
“Misalnya, beberapa tanaman mengalami pertumbuhan buah yang lebih kecil, kulit yang lebih tebal, atau tekstur yang lebih keras akibat suhu yang terlalu panas,” kata Bayu.
Lebih jauh, dampak kesehatan terkait melonjaknya suhu panas sudah terekam dalam studi-studi sebelumnya. Melansir dari laporan ResearchGate, periode panas ekstrem membuat rumah sakit mengalami kenaikan kunjungan darurat, termasuk kasus dehidrasi, heatstroke, dan perburukan penyakit kardiovaskular..
Respon cepat turunkan suhu
Fenomena ini harus mendapat respons cepat melalui kebijakan di tingkat nasional. Kombinasikan mitigasi jangka panjang juga harus segera diadaptasi untuk menekan emisi gas rumah kaca yang semakin urgensi.
Upaya yang dilakukan juga harus berbasis komunitas. Misalnya di daerah pesisir dan pedesaan, solusi teknis seperti embung, sumur resapan, dan sistem irigasi yang lebih efisien bisa meredam dampak panas pada pasokan air dan pertanian. Kemudian di wilayah perkotaan, penataan ruang dan pengurangan pulau panas perkotaan (urban heat island) melalui penghijauan dan desain bangunan yang lebih baik dapat mengurangi beban pendinginan.
Selain itu, penting juga dilakukan penyuluhan kesehatan dan perlindungan sosial untuk pekerja rentan selama periode panas ekstrem.
- Suhu Bumi melonjak, 2025 termasuk tahun terpanas sepanjang sejarah
- Runtuhnya Tongkonan Ka’pun Toraja, potret krisis pengakuan hak adat di Indonesia
- Upaya tiga dekade belum maksimal, ini strategi baru konservasi elang jawa
- Luka dan bayang-bayang bencana di Gunung Slamet
- Mendengar suara peringatan gunung di Hari Gunung Internasional
- Semangat energi terbarukan dari kampus: UIN Jakarta pasang PLTS atap, UPER bangun pusat riset keberlanjutan
