Strategi baru perlu disusun untuk perlindungan elang jawa yang lebih efektif, selain sekadar memantau jumlah burung di alam.

Populasi elang jawa (Nisaetus bartelsi) hingga kini masih berstatus “genting” dalam daftar merah Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN). Selama tiga dekade terakhir banyak pihak sudah berupaya untuk melakukan konservasi. Namun belum mampu memberikan hasil yang maksimal, karena spesies yang identik dengan representasi lambang Garuda ini jumlahnya masih terus menurun.

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE), Raptor Indonesia, dan Burung Indonesia, duduk bersama dalam lokakarya yang berlangsung di IPB Convention Center, Bogor, pada 11-12 Desember 2025. Pertemuan ini bukan sekadar untuk mengulang cerita konservasi lama, tetapi untuk menilai ulang upaya berkelanjutan demi kelangsungan hidup elang jawa.

Di tengah persentase hutan yang semakin terfragmentasi dan tekanan manusia yang terus meningkat, dibutuhkan strategi baru perlindungan elang jawa yang lebih efektif, selain sekadar memantau jumlah burung di alam.

“Elang Jawa sudah ditetapkan melalui keputusan presiden sebagai satwa langka nasional dan simbol negara. Perlindungannya juga diatur dalam Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018,” tegas Nunu Anugrah, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Ditjen KSDAE, dalam lokakarya tersebut.

Populasi elang jawa masih rentan

Berbagai survei yang telah dilakukan memperlihatkan angka populasi elang jawa belum menunjukkan tanda pulih. Jumlah elang jawa dewasa di alam saat ini diperkirakan berkisar 2.500 individu, dan penurunannya masih menjadi perhatian serius para konservasionis.

Data lain dari riset konservasi menunjukkan bahwa total populasi diperkirakan hanya sekitar 511 pasang yang tersebar di 74 kantong habitat di Pulau Jawa. Namun, dengan kondisi habitat yang semakin terfragmentasi akibat perburuan, perubahan iklim, dan tekanan aktivitas manusia.

Sejak statusnya dinyatakan sebagai satwa langka nasional, upaya rehabilitasi dan pelepasliaran telah rutin dilakukan di berbagai taman nasional. Misalnya pada bulan Mei lalu, dua Elang Jawa dilepas kembali ke alam di kawasan Kamojang, Jawa Barat, sebagai upaya pemulihan ekosistem yang lebih luas.

Menyusun ulang strategi konservasi

Lokakarya yang diselenggarakan di Bogor itu bukan hanya menjadi ajang pengumpulan data, tetapi juga titik awal penyusunan Laporan Nasional Status Elang Jawa, dokumen yang akan diajukan ke IUCN untuk penilaian ulang status konservasi burung ini di tingkat global. Strategi baru yang disusun akan menggantikan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Elang Jawa 2013–2022, sekaligus merangkum pengalaman tiga dekade yang telah dijalankan.

Salah satu pendekatan yang dibahas adalah Population and Habitat Viability Analysis (PHVA), metode ilmiah yang memperhitungkan data populasi dan habitat untuk memproyeksikan kelangsungan hidup spesies dalam jangka panjang.

Penyusunan SRAK Elang Jawa 2026–2035 tidak dirampungkan saat lokakarya dan akan dilanjutkan pada semester pertama 2026. Diharapkan strategi ke depan akan berfokus pada perlindungan habitat lebih luas, pemetaan kantong populasi yang lebih akurat, dan perbaikan sistem peringatan dini terhadap ancaman seperti perburuan dan perdagangan ilegal.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses