Tidak semua nikel Indonesia jadi baterai kendaraan listrik yang “hijau”. 70-80% nikel global diperuntukkan bagi industri stainless steel.
Di atas kertas, peta jalan industri nikel Indonesia tampak berkilau, secerah ambisi negara ini untuk menjadi raja baterai kendaraan listrik dunia. Namun, jika kita menyingkap lapisan permukaan dari angka-angka pertumbuhan ekonomi yang fantastis itu, terhampar realitas yang jauh lebih kelam: sungai yang tercemar logam berat, kemiskinan yang paradoksal di tanah kaya tambang, hingga nyawa pekerja yang melayang.
Narasi besar tentang transisi energi dan dekarbonisasi yang didengungkan pemerintah kini menghadapi ujian berat. Apakah ambisi menekan emisi karbon ini benar-benar membawa keselamatan bagi bumi, atau sekadar memindahkan beban kerusakan dari atmosfer ke pundak masyarakat lokal?
Kegelisahan inilah yang menyeruak dalam dialog kebijakan bertajuk “Dekarbonisasi Industri Nikel yang Berkeadilan” yang dihelat oleh Koalisi ResponsiBank Indonesia di Jakarta, pertengahan Desember lalu. Forum ini bukan sekadar diskusi teknis, melainkan sebuah autopsi terhadap kebijakan hilirisasi yang dinilai “rabun jauh” terhadap aspek kemanusiaan dan ekologi.
Indonesia memang tengah berlari kencang. Peta jalan (roadmap) dekarbonisasi industri nikel yang dirancang Bappenas bersama WRI menargetkan penurunan emisi hingga 80,98% pada periode 2025–2045. Angka yang impresif secara statistik. Namun, Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Victoria Fanggidae, mengingatkan bahwa angka di atas kertas sering kali menutupi tangisan di lapangan.
“Kita memerlukan penguatan instrumen implementasi yang tidak hanya mengejar target karbon, tetapi juga keadilan,” tegas Victoria.
Bagi Victoria dan Koalisi ResponsiBank, pendekatan yang ada saat ini terlalu carbon-centric. Pemerintah sibuk menghitung berapa ton CO2 yang bisa dikurangi, namun alpa menghitung berapa hektare hutan adat yang hilang, berapa sumber air yang keruh, dan berapa konflik sosial yang meletup.
Dwi Rahayu Ningrum, Peneliti Pembangunan Berkelanjutan The PRAKARSA, mempertegas kritik tersebut melalui kertas kebijakan “Integrasi Aspek Sosial dalam Dekarbonisasi Nikel”. Ia menyebutkan bahwa roadmap dekarbonisasi harus bertransformasi.
“Roadmap perlu bertransformasi dari pendekatan carbon-centric menuju kerangka holistik yang menjadikan aspek sosial, ekologis, tata kelola, dan keadilan sebagai fondasi, bukan sekadar pelengkap,” ujar Dwi.
Kemiskinan di lumbung nikel
Salah satu sorotan paling tajam dalam diskusi tersebut adalah fenomena anomali ekonomi di wilayah tambang. Data menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di sentra nikel seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah melonjak drastis. Namun, ibarat pepatah “tikus mati di lumbung padi”, angka kemiskinan di daerah tersebut justru stagnan, bahkan meningkat.
“Ini adalah bukti nyata bahwa industri ini bersifat padat modal dan enclave, sehingga manfaat ekonominya tidak menetes ke masyarakat lokal,” papar Dwi. Industri nikel gagal menciptakan multiplier effect yang nyata bagi warga sekitar, sementara kekayaan alam mereka dikeruk habis-habisan.
Dampak ekologisnya pun tak kalah mengerikan. Dwi memaparkan temuan pencemaran Chromium VI dan arsenik di perairan, serta kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi. Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor kini menjadi tamu rutin di kawasan lingkar industri, menandakan krisis daya dukung lingkungan yang akut.
Lebih jauh, aspek keselamatan kerja (K3) berada dalam kondisi darurat. Dalam satu dekade terakhir, tercatat 164 insiden kecelakaan kerja dengan 135 korban jiwa. “Ini bukan sekadar human error, tapi sistemik,” tegasnya. Belum lagi beban ganda yang harus dipikul perempuan, mulai dari krisis air bersih hingga diskriminasi akses kerja.
Salah kaprah transisi energi
Ada sebuah kesalahpahaman besar yang perlu diluruskan: tidak semua nikel Indonesia berakhir di baterai kendaraan listrik yang “hijau”. Faktanya, 70-80% konsumsi nikel global masih diperuntukkan bagi industri stainless steel konvensional.
Dwi memperingatkan risiko carbon lock-in. Ketergantungan smelter pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive berbahan bakar batu bara di lokasi terpencil justru mengunci Indonesia pada pola emisi tinggi. Jika insentif fiskal digelontorkan secara serampangan tanpa melihat rantai pasok akhirnya, negara berisiko mensubsidi industri kotor atas nama transisi hijau.
Merespons kritik tersebut, Dedi dari Kementerian ESDM tak menampik bahwa tantangan terbesar dekarbonisasi ada pada smelter yang masih “kecanduan” batu bara. Ia mengklaim pemerintah sedang menyiapkan standar ESG (Environmental, Social, and Governance) nasional dan memperketat pengawasan, termasuk penggunaan teknologi drone.
“Biaya sosial telah diwajibkan dalam RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) dan bersifat mengikat, berbeda dengan CSR yang sukarela,” dalihnya.
Sementara itu, Meidy Katrin Lengkey, Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), mencoba mengalihkan sorotan ke hilir. Menurutnya, emisi terbesar justru terjadi pada produksi baterai, bukan hanya di tambang. Ia juga mengeluhkan standar ESG global yang dinilai tidak kontekstual, meski mengklaim anggotanya mulai beradaptasi dengan teknologi pemantauan berbasis IoT dan AI.
Jangan tinggalkan siapapun
Namun, klaim-klaim teknokratis tersebut seolah mentah ketika dibenturkan dengan temuan lapangan dari Andi Muttaqien (Satya Bumi). Di Pomalaa dan Pulau Kabaena, ia menyaksikan langsung bagaimana prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) diabaikan.
“ESG harus dipahami sebagai penghormatan HAM, bukan sekadar administratif,” tegas Andi.
Andreas Alfonsus Saragih dari LPEM FEB UI menutup diskusi dengan perspektif ekonomi yang lebih manusiawi. Ia mendesak agar biaya eksternalitas sosial-ekologis—kerusakan alam dan penderitaan warga—dimasukkan ke dalam kalkulasi ekonomi nikel. Tanpa itu, hitungan untung-rugi negara akan selalu bias.
Pada akhirnya, dekarbonisasi bukan sekadar soal mengganti energi fosil dengan energi terbarukan. Seperti yang disimpulkan oleh moderator diskusi, Dea Mawesti, “Tanpa keadilan, dekarbonisasi hanya akan memindahkan beban dari atmosfer ke pundak masyarakat yang paling rentan.”
Indonesia kini berada di persimpangan jalan: meneruskan ambisi nikel dengan cara-cara lama yang eksploitatif, atau berani mengambil jalan terjal menuju transisi yang benar-benar adil dan berkelanjutan. Pilihan ada di tangan pemangku kebijakan, sebelum “harta karun” nikel ini berubah menjadi kutukan ekologi yang permanen.
- Napas terakhir Tesso Nilo, bertahan di sela kepungan sawit
- Panggilan pulang Hamzah dan aroma kopi di ketinggian Kahayya
- Benarkah nikel kita hijau? Menggugat keadilan di balik baterai kendaraan Listrik
- Jebolnya benteng terakhir Gede Pangrango
- Bank Sampah Undana dukung gerakan kampus hijau
- Kala generasi muda mendata nafas liar Tebet Eco Park
