Bagi warga Tambakrejo, kehadiran mangrove bukan sekadar soal data karbon atau siklus neodimium. Ini adalah soal kedaulatan ruang hidup

Di ufuk timur Semarang, tepatnya di pesisir Tambakrejo, aroma payau dan lumpur basah menyambut siapa pun yang melangkah ke bibir pantai. Di sana, barisan pohon dengan akar yang saling berkelindan berdiri tegak menantang Laut Jawa. Bagi warga setempat, pepohonan itu adalah harapan; bagi sains, mereka adalah keajaiban biokimia yang menjaga denyut nadi samudera.

Selama ini, narasi tentang mangrove sering kali berhenti pada fungsinya sebagai “benteng” pelindung dari abrasi atau “gudang” penyimpanan karbon yang masif. Memang benar, hutan mangrove Indonesia—yang mencakup lebih dari 20% luas mangrove dunia—mampu menyimpan karbon empat hingga lima kali lebih banyak daripada hutan daratan. Namun, sebuah temuan terbaru menunjukkan bahwa peran mereka jauh lebih dinamis dan vital daripada sekadar penyimpan pasif.

Penelitian dari GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research Kiel, Jerman, menyingkap tabir baru: mangrove berfungsi layaknya reaktor biokimia global. Mereka bukan hanya penyaring material dari daratan, melainkan mesin aktif yang memproses dan melepaskan unsur-unsur renik penting ke laut lepas.

Bayangkan sebuah sistem yang bekerja tanpa henti di bawah permukaan lumpur. Melalui proses pelarutan sedimen dan pertukaran air pori, mangrove di wilayah seperti Amazon melepaskan sekitar 8,4 juta gram neodimium terlarut setiap tahunnya. Angka ini mewakili 64% dari total masukan unsur tersebut di wilayah itu.

Dr. Antao Xu, penulis utama studi tersebut, menegaskan bahwa mangrove memainkan peran sentral dalam siklus global. Tak hanya neodimium, unsur penting lain seperti besi dan mangan juga dilepaskan secara selektif. Unsur-unsur inilah yang menjadi “nutrisi mikro” bagi pertumbuhan fitoplankton, fondasi utama dari seluruh rantai makanan di laut.

Tanpa pasokan “vitamin” dari mangrove ini, produktivitas laut dalam jangka panjang bisa terancam. Kontribusinya bahkan setara dengan debu atmosfer, yang selama ini dianggap oleh para ilmuwan sebagai penyumbang utama unsur laut global.

Nafas baru di Tambakrejo

Kembali ke pesisir Semarang, kecanggihan laboratorium alam ini diterjemahkan menjadi ketangguhan komunitas. Bagi Muhammad Yazid, Sekretaris Kelompok Peduli Lingkungan Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun (Camar), mangrove adalah solusi nyata atas krisis yang mereka hadapi setiap hari: penurunan muka tanah dan banjir rob yang kian ganas.

“Kita bisa merasakan pengurangan abrasi, walaupun belum signifikan,” ujar Yazid pelan, menatap rimbun hijau di depannya.

Bagi warga Tambakrejo, kehadiran mangrove bukan sekadar soal data karbon atau siklus neodimium. Ini adalah soal kedaulatan ruang hidup. Seiring dengan tumbuhnya hutan mini ini, ekosistem kecil mulai terbentuk. Kepiting-kepiting mulai kembali bersembunyi di sela akar, dan burung-burung air kembali singgah.

Lebih dari itu, kawasan yang kini mulai menghijau ini menarik perhatian publik. Tamu-tamu berdatangan untuk melihat langsung bagaimana warga berjuang menyelamatkan pesisir mereka. Kehadiran para pengunjung ini pun membawa berkah ekonomi; warga mulai bisa menjual produk olahan lokal, mengubah narasi bencana menjadi narasi pemberdayaan.

Kisah dari Tambakrejo dan temuan ilmiah dari Jerman memberikan kita pesan yang sama: mangrove adalah pahlawan tanpa jubah yang berdiri di atas lumpur. Ia melindungi daratan dari hantaman ombak, mendinginkan planet dengan menyerap karbon, dan pada saat yang sama, memberi makan penghuni samudera melalui rahasia biokimia di akarnya.

Namun, keberadaan sang penjaga ini tetap rapuh. Ancaman pembabatan hutan pesisir untuk kepentingan jangka pendek masih terus menghantui. Padahal, ketika satu hektare mangrove hilang, kita tidak hanya kehilangan benteng fisik, tetapi juga memutus siklus nutrisi yang menghidupi laut kita.

Melihat mangrove di Tambakrejo bukan lagi sekadar melihat barisan pohon bakau. Kita sedang melihat masa depan pesisir Indonesia—sebuah masa depan di mana sains dan kearifan lokal berpadu untuk menjaga agar laut tetap hidup dan daratan tetap ada.

Jurnalisme lingkungan Indonesia butuh dukungan Anda. Bantu Ekuatorial.com terus menyajikan laporan krusial tentang alam dan isu iklim.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses