“Kalau kita tebang pohon sekali saja, berapa banyak mikroorganisme yang hilang?”

Pertanyaan dilontarkan oleh Dr. Drs. Wibowo Mangunwardoyo, peneliti senior mikrobiologi di Universitas Indonesia, seraya memancing gambaran banyaknya mikroorganisme yang bisa musnah dari kegiatan perusakan lingkungan.

“Kalau misalnya satu pohon itu ada 60 spesies, kita bisa kehilangan semua potensinya. Maka jika suatu lahan dijadikan monokultur satu spesies saja, bayangkan berapa banyak spesies mikroorganisme yang hilang sebelum kita temukan,” sambut Dr. Wellyzar Sjamsuridzal, juga peneliti mikrobiologi Universitas Indonesia, menanggapi pertanyaan Dr. Wibowo pada acara Biodiversity Dialogue perayaan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional di Departemen Biologi, Universitas Indonesia, Kamis (22/5).

Dr. Welly, yang juga pengurus di Pusat Studi Genom Sumberdaya Biologis Indigenous Universitas Indonesia (CoE IBR-GS), melanjutkan bahwa tingkat keanekaragaman mikroorganisme di Indonesia, jika mencakup daratan dan lautan, merupakan yang tertinggi di dunia. Tingkat endemisitas mikroorganisme di Indonesia juga tinggi, mengikuti tingginya endemisitas hewan dan tumbuhan di Indonesia, yang menjadi habitatnya.

“Itu saja masih jauh dari eksplorasi. Prof. Mien A. Rifai dari LIPI pernah memprediksi, Indonesia sekurang-kurangnya memiliki mikroorganisme sekitar 200 ribu spesies, mungkin yang diketahui baru sekitar 1000-an,” paparnya.

Kekayaan itu, dinilai Dr. Welly masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia. Padahal, potensi dan prospek mikroorganisme besar sekali di masa depan. Ia memberikan contoh, misalnya untuk energi, ke depannya justru biofuel seharusnya dari mikroorganisme, bisa menggunakan yeast (sel ragi atau khamir), kapang, atau bakteri. Memang membutuhkan biaya dan investasi yang besar di awal, tapi untuk jangka panjang jauh lebih menguntungkan. Belum lagi keuntungan untuk lingkungan, tidak perlu mengubah lahan atau mengkonversi hutan menjadi lahan yang monokultur untuk bahan biosolar, langkah itu justru menghilangkan biodiversitas.

“Kalau kita menggunakan mikroorganisme sebagai agen untuk memproduksi biofuel, kita cukup menggunakan fermentor-fermentor saja. Nah, itu cukup berapa meter persegi. Sedangkan produksinya bisa banyak sekali,” lanjut Dr. Welly yang kemudian menyebutkan bahwa Brazil adalah contoh sukses negara yang berhasil mengembangkan dan mendistribusikan biofuel dari mikroorganisme.

Selain itu, potensi mikroorganisme dapat digunakan untuk menjaga ketahanan pangan. Contohnya, pembuatan pollen substitute untuk menggantikan bunga yang ketersediaannya tidak menentu karena perubahan iklim. Jadi, walaupun bunga tidak ada, madu tetap dapat diproduksi oleh lebah. Ini menggambarkan bahwa mikroorganisme dapat menghasilkan protein pengganti.

Mikroorganisme juga sangat baik korelasinya dengan nanotekonologi, Dr. Wibowo menambahkan, misalnya penggunaan enzim-enzim yang dihasilkan mikroorganisme untuk deteksi gula darah, kolesterol, atau bahkan logam berat. Mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan untuk produksi biokontrol dan biopestisida, sehingga lebih aman tanpa zat kimia buatan.

“Tantangan terbesarnya adalah kurang SDM yang berminat mengeksplorasi keanekaragaman mikroorganisme, selain perhatian dan dana untuk riset dan pengembangannya yang sangat belum ada dari pemerintah,” jawab Dr. Welly saat ditanya tantangan terbesar pengelolaan keanekaragaman mikroorganisme di Indonesia.

Menjadi Ladang Pencurian Materi Genetik

“Setiap mikroorganisme yang baru ditemukan, perlu diketahui oleh dunia,” ujar Dr. Welly. Ia menceritakan pengalamannya bersama lembaga Jepang selama 8 tahun mengeksplorasi mikroorganisme di hutan tropis Indonesia, dimana 40% dari hasil isolasi adalah spesies baru. Mikroorganisme yang baru itu perlu diketahui potensi ekonominya dan biasanya perusahaan asing yang tertarik dan belomba-lomba memanfaatkannya. Indonesia hanya dapat royalti saja dan itu tidak seberapa besar.

Dr. Welly memberikan gambaran betapa mudah kekayaan mikroorganisme Indonesia “dicuri” oleh pihak-pihak asing tanpa perlawanan. Contoh kasus yang paling gempar adalah flu burung, virus H5N1 yang hanya ada di Indonesia tersebut dibawa ke Amerika untuk diteliti dan dibuat vaksinnya. Begitu vaksinnya berhasil dibuat, Indonesia diminta membelinya.

Pencurian sumberdaya hayati atau biopiracy ini kerap dilakukan pihak asing dengan dalih penelitian dan investasi bisnis sampai turisme. “Mudah sekali, pergi saja ke suatu tempat, ambil tanahnya, airnya, dua bulan bisa produksi mikroorganisme banyak sekali,” tutur Dr. Wibowo yang prihatin Indonesia belum ada pemeriksaan ketat terkait biosecurity.

Antung Deddy Radiansyah, Asisten Deputi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup-KLH, mengakui bahwa memang sampai saat ini peraturan pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati baru ada sampai tingkat ekosistem dan spesies, belum ada hingga tingkat genetik. Padahal, ia mengakui kekayaan mikroorganisme di Indonesia luar biasa besar, misalnya 1 gram tanah gambut saja bisa mengandung 5 koloni mikroorganisme.

“Sejauh ini pencegahan biopiracy masih dengan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2006 yang mengatur bahwa peneliti asing harus mendapatkan izin jika ingin meneliti di Indonesia,” ujar Antung. Namun, ia menyadari bahwa pengawasannya masih jauh dari ideal. Pengawasan dan penjabaran dari pedoman teknis peraturan itu belum detil. “Jadi sangat membuka lebar kesempatan biopiracy,” ujar Antung saat diwawancara Ekuatorial (24/5).

Rancangan undang-undang pengelolaan sumberdaya genetik (RUU PSDG) sebetulnya sudah digarap sejak 2002 dan diajukan ke DPR pada 2003. Namun, oleh DPR sempat ditolak karena tidak dianggap prioritas. Antung menjelaskan bahwa sekarang, RUU itu sudah dinilai prioritas kembali dan relevan terhadap adanya Protokol Nagoya tentang Akses Sumberdaya Genetik dan Pembagian yang Adil dan Seimbang yang telah diratifikasi dalam UU No. 11 tahun 2013, sehingga RUU kembali digarap.

“Selain itu, diperkuat pula dengan RP JMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) KLH 2015-2019 yang berfokus pada keanekaragaman hayati sebagai modal pembangunan negara,” ucapnya. Oleh karena itu, lanjutnya, potensi keanekaragaman hayati akan dikembangkan untuk daya saing nasional ke depannya, termasuk kekayaan mikroorganisme.

Arief Yuwono, Deputi III Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLH, mengatakan bahwa penundaan yang pernah terjadi dalam proses RUU PSDG digunakan untuk memaksimalkan kualitas RUU. Berbagai konsultasi dilakukan dengan berbagai pihak, konsolidasi di tingkat internasional dan harmonisasi dengan peraturan-peraturan yang sudah ada.

“Sekarang kita sudah mulai tegaskan arahnya, kita tidak mau ada ruang kosong,” tegas Arief pada Ekuatorial (24/5). Ia menambahkan bahwa kini KLH sedang menyiapkan peraturan antara yang menjadi jembatan antara ratifikasi Protokol Nagoya dan RUU PSDG.

RUU PSDG nantinya akan mengatur pengawasan dan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya genetik, termasuk mikroorganisme, di Indonesia agar pembagian keuntungannya adil dan seimbang terhadap negara, masyarakat lokal dan pihak asing. Hal itu sesuai dengan tujuan utama Protokol Nagoya yang diresmikan pada 2011 di New York dan akan berlaku global secara penuh pada 2015 atau 2016 karena pada saat ini masih 30 negara dari 50 negara terikat yang sudah meratifikasinya.

“RUU PSDG ini paling cepat akan selesai tahun depan, 2015. Diharapkan undang-undang itu nanti bisa punya kualitas yang baik sesuai dengan tugas awalnya,” tutup Arief. Ratih Rimayanti