Jakarta, Ekuatorial – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengajukan uji materi terhadap Qanun No. 19 tahun 2013, tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dikeluarkan oleh pemerintah Aceh. “Hari ini kami sudah ajukan ke MA (mahkamah Agung-red). Pengajuan uji materi ini adalah upaya penyelamatan lingkungan hidup di Aceh di tengah gempuran pembangunan dan investasi dan perubahan wilayah aceh yang massif,” ujar Muhnur Satyahaprabu, Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi, Kamis (9/10).
Walhi menilai bahwa keluarnya Qanun ini tidak memenuhi tiga hal pokok. Pertama, Qanun RTRW Aceh bertentangan dengan azas pembentukan perundang-undangan. Kedua, bertentangan secara prosedural, dan terakhir bertentangan secara substansial dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. “Dasar yang sangat fundamental dan dilanggar pemerintah Aceh, yaitu prosedural pembuatan Qanun ini menyalahi prinsip negara hukum, dimana partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan diabaikan,” tegasnya.
Lebih lanjut Muhnur menjelaskan, sebenarnya sebelum proses penerbitan Qanun, pemerintah Aceh menerima masukan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk memasukkan beberapa hal terkait partisipasi masyarakat, tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup. “Namun dari 27 masukan yang diberikan Mendagri, tidak ada satupun masukan yang diterima dan Qanun justru diterbitkan dengan cepat. Kami menilai pemerintah Aceh terkesan terburu-buru dalam menertibkan peraturan ini, kami khawatir ada kepentingan yang dituju dalam masa-masa akhir kepemimpinan mereka,” papar Muhnur.
Belum lagi berdasarkan catatan Walhi, RTRW yang dikeluarkan oleh pemerintah Aceh setidaknya telah melanggar 21 peraturan. 21 peraturan yang dilanggar terdiri dari 10 UU, 4 PP, 1 Perpres, 1 Kepres, 2 Permendagri, 1 Permenhut, dan 2 PermenPU.
Parahnya lagi, Muhnur menambahkan pasca pembahasan dan persetujuan antara Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh desember 2013 lalu, timbul polemik baru yaitu tidak munculnya nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Hal ini sangat fatal sebenarnya, karena KEL tidak masuk dalam tata ruang, padahal pemerintah pusat sudah mengaturnya,” imbuhnya.
Sementara itu, Muhammad Nur, Direktur Walhi Aceh menjelaskan, dengan keluarnya Qanun tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah ini, sangat membuka peluang bagi industri ekstraktif untuk masuk ke Aceh. “Dalam RTRW baru ini terjadi pengurangan jumlah luas hutan aceh, yaitu seluas 145.982 hektar yang termasuk hutan lindung dan area konservasi menjadi area penggunaan lain seluas 79.179 hektar,” jelasnya.
Lebih lanjut Nur menerangkan dengan keluarnya Qanun ini, akan menimbulkan konflik tenurial baru terhadap masyarakat Aceh. Belum lagi masalah ekologis seperti banjir bandang akibat penggunaan tata lahan yang buruk. “Kami mencatat dari jumlah Pemasukan Asli Daerah (PAD) yang masuk, ternyata pemerintah Aceh sebenrnya rugi karena bencana ekologis misalnya banjir bandang misalnya dalam sekali kejadian bisa menimbulkan kerugian satu miliar rupiah,” jelasnya Nur.
“Qanun no 19 ini, mengabaikan peraturan wilayah kelola mukim sebagai wilayah hak masyarakat adat Aceh. Dalam seluruh peta yang pernah dikeluarkan pemerintah Aceh, hingga detik ini tidak ada satupun kabupaten yang mengusulkan masyarakat adat dalam rencana tata ruangnya,” tambah Nur.
Walhi berharap dengan adanya judicial review ini, Qanun terkait RTRW yang telah dikeluarkan bisa setidaknya direvisi karena sarat dengan pelanggaran. “Dalam proses gugatan ke Mahkamah Agung, nanti setelah 14 hari akan keluar nomor registrasi uji materinya. Sementara itu proses hingga keputusan MA nanti akan keluar setelah minimal 10 bulan,” tutup Muhnur. Januar Hakam