Jakarta, Ekuatorial – Perampasan lahan atau land grabbing marak terjadi tiap tahunnya di Indonesia. Andik Hardiyanto, Direktur Merdesa Institute mengatakan hingga tahun ini, belum ada tren penurunan perampasan lahan. Ia menyebutkan modus perampasan lahan utama di Indonesia dilakukan oleh aktor yang mengatasnamakan pembangunan mengatasi krisis pangan dan juga energi.

“Perusahaan membuka lahan dan hutan di atas hak atas masyarakat dengan berbagai macam modus yang merampas hak-hak masyarakat,” ujarnya dalam seminar Menjaga tanah air: kosolidasi nasional menghadapi land grabbing di Indonesia, di jakarta, Senin (1/12).

Ia menjelaskan, perampasan lahan merupakan persoalan hak asasi manusia. Pemerintah yang seharusnya menjamin dan melindungi hak masyarakat dikatakan seolah tidak perduli terhadap hak masyarakat. Ia juga mengatakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perampasan lahan mengalami stagnansi. Hal itu karena tidak adanya perlindungan atas individu dan masyarakat atas kepemilikan sumber daya alam.

“Selain itu tidak efektifnya pelaksanaan instrumen kebijakan dan kelembagaan pembelaan dan penegakkan HAM. Terakhir laporan pelanggaran HAM belum digunakan sebagai perubahan dan perbaikan kebijakan dalam masalah perampasan lahan,” paparnya.

Dominasi sektor swasta baik perusahaan lokal maupun asing juga ditengarai merupakan penyebab perampasan lahan. Belum lagi ia mengatakan dengan adanya dukungan finansial perusahaan yang baik, dibantu dengan regulasi pemerintah melalui pemberian perizinan menjadi kesatuan sistem yang saling mendukung perampasan lahan.

Adapun beberapa kegiatan yang termasuk land grabbing yaitu penggusuran, jual beli lahan yang tidak adil, pengantian kerugian yang minim, dan juga rencana pembangunan ekonomi.

Ia mengatakan, solusi untuk menghadapi persoalan ini yaitu dengan menata kelompok bisnis untuk bisa lebih memperhatikan hak-hak masyarakat. Selain itu perlu dibuat juga pedoman perusahaan untuk menjamin keberlangsungan hidup dan hak masyarakat lokal.

Dahniar Andriani, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa, mengatakan land grabbing di Indonesia banyak terjadi karena pemberian izin yang tidak transparan. Selain itu, terjadi pengabaian dan ketidakjelasan hak-hak masyarakat adat yang juga mendorong perampasan lahan terjadi. “Ironisnya, persoalan ini tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia,” tuturnya.

Ia menyebutkan, dari seluruh kasus perampasan lahan di Indonesia, perusahaan perkebunan menyebabkan terjadinya 147 konflik, kehutanan 80 konflik, dan agraria 29 konflik. Untuk itu ia merekomendasikan untuk segera dilakukannya pemeriksaan dan pendoumentasian konflik perampasan lahan. “Selain itu perlu dilakukan identifikasi dampak sosial ekonomi,” tambahnya.

Sony Partono, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membenarkan modus land grabbing yang terjadi di Indonesia. Ia mengatakan pernah menemui modus perusahaan dalam mendekati masyarakat lokal dengan memakai pakaian adat masyarakat setempat. Hal itu ditujukan untuk memperoleh penerimaan dari ketua adat. “Kalau ketua adat sudah menerima, segala kemungkinan sangat bisa terjadi terutama perampasan lahan,” terangnya.

Ia mengatakan persoalan land grabbing bukan hanya merampas hak atas tanah, tapi juga merampas sumber penghidupan, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat lokal.

Menghadapi persoalan ini, ia mengatakan hal ini akan diminimalisir oleh kementeriannya. Pasalnya Ibu menteri Siti Nurbaya, dikatakan olehnya memiliki garis kebijakan dalam pemberdayaan masyarakat. Selain itu, kementeriannnya juga dikatakan lebih terbuka terhadap kritik dan masukan persoalan yang terjadi. “Tujuan kementerian kami yang baru sudah tepat, Ibu menteri juga sudah memberlakukan moratorium perizinan untuk membatasi pembukaan lahan,” ungkapnya. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.