Berbagai program pembangunan dan perbaikan infrastruktur serta fasilitas dijalankan demi mensukseskan perhelatan ASIAN Games 2018 di Jakarta dan Pelambang. Namun permasalahan polusi udara, yang disebabkan oleh pembagunan, jumlah kendaraan dan kurang nya kesadaran penduduk, tetap menjadi tantangan besar tidak hanya bagi pemerintah kota, namun juga pemerintah pusat.
Opini
Oleh Heru Aditya Wardhana
Pak RT datang ke kompleks kami. Beliau meminta izin untuk menggambari tembok kompleks kami dengan tema Asian Games. Yang menggambar dari pihak kelurahan, yang bisa dipastikan adalah pasukan oranye. Kelurahan juga akan mengecat ulang tembok kompleks seperti sedia kala begitu Asian Games selesai.
Gambar menggambar ini tentu bukan ide dari pak RT. Beliau hanya menjalankan amanah dari RW. RW mendapat perintah dari Kelurahan.Kelurahan diinstruksikan Walikota. Walikota diarahkan Gubernur. Sedangkan Gubernur Jakarta bilang itu adalah inisiatif warga.
Demi memeriahkan Asian Games para warga kompleks setuju saja dengan permintaan pak RT itu. Meski para atlet dari berbagai negara tidak bakal melewati jalan perkampungan Cijantung dimana kompleks saya berada. Kegiatan mengecat ini merata di setiap wilayah Jakarta.
Saya beberapa kali melihat Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) atau lebih dikenal sebagai pasukan Oranye mengecat tembok. Tiang-tiang penyangga flyover Pasar Rebo pun tak luput dari gambar Asian Games. Di sosial media, beredar gambar yang diduga Gubernur Jakarta. Tapi okelah, inisiatif warga yang diwujudkan oleh pasukan Oranye ini bisa dimaknai sebagai semangat menyambut perhelatan olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade.
Berbagai persiapan terus dikebut demi suksesnya Asian Games. Beberapa program menuai kontroversi seperti pemasangan jaring di Kali Item. Demi mengurangi bau dan memperindah pandangan, pemerintah provinsi Jakarta memasang jaring di atas kali Sentiong yang karena begitu kelam airnya, sehingga dijuluki sebagai Kali Item. Beruntung pemerintah pusat turun tangan mengatasi permasalahan Kali Item. Semoga penampakan Kali Item lebih cerah.
Mempersiapkan event besar seperti Asian Games memang tidak bisa hanya diserahkan kepada pemprov Jakarta saja. Banyak permasalahan yang harus diselesaikan dengan kerjasama antara instansi dan lembaga. Salah satu masalah besar adalah tingkat polusi udara Jakarta yang begitu buruk.
Ketika mengetik artikel ini, saya melirik aplikasi Airvisual yang saya instal di telepon pintar, menunjukkan angka 151, tergolong Unhealthy. Tiga kali lipat dari batas aman di angka 50. Pada kategori Unhealthy, orang semestinya menutup jendela agar udara kotor tidak masuk ke rumah, mengenakan masker bila berada di luar ruang dan tidak berolahraga di luar ruang.
Salah satu titik parah tingkat polusi udara adalah Rawamangun yang menyentuh angka 168. Padahal di Rawamangun dan sekitarnya merupakan cluster dua dengan cabang olahraga yang dipertandingkan antara lain balap sepeda, softball, dan berkuda.
Aplikasi Airvisual juga menunjukkan Jakarta berada di urutan ketiga, kota paling tinggi tingkat polusi udara. Polutan udara mengandung sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) serta partikel sangat kecil PM10 dan PM2.5 yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Apalagi PM2.5 ukuran sepertigapuluh dari rambut, masuk dan mengendap di paru-paru serta beredar di pembuluh darah. Partikel ini bisa menyebabkan serangan jantung, stroke, kanker paru dan gangguan kesehatan lainnya. Bahkan bisa menyebabkan kematian dini, karena itu dijuluki Pembunuh dalam Senyap.

Polusi udara yang buruk ini sangat mempengaruhi kesehatan. Menurut studi yang dilakukan Universitas Indonesia, 60% warga Jakarta mengidap gangguan pernapasan akibat polusi udara. Berbagai penyakit yang timbul antara lain Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), jantung koroner, asma dan penyakit paru-paru.
Lalu bagaimana membersihkan udara Jakarta agar layak menjadi tuan rumah Asian Games dan sehat bagi para warganya?
Hemat saya, kita bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh pemerintah China ketika menjadi tuan rumah Olimpiade 2008. Saat itu, polusi udara di Beijing sangat parah. Langit Beijing setiap hari kelabu, tak pernah tampak biru. Udara sangat tidak sehat apalagi untuk dihirup para atlet yang tengah bertanding. Banyak tekanan kepada pemerintah China untuk membersihkan polusi udara di Beijing. Bahkan ada beberapa atlet yang menyatakan akan mogok bermain bila kondisi udara di Beijing masih buruk.
Menjawab tekanan tersebut, pemerintah China bekerja keras untuk menurunkan polusi udara di Beijing. Pada 2004, empat tahun sebelum Olimpiade berlangsung, sudah disusun program-program penanggulangan polusi udara. Dana sebesar $17.5 miliar dolar atau sekitar 240 triliun rupiah dialokasikan khusus untuk memerangi polusi udara di Beijing. Dengan dukungan dana yang besar banyak program yang dilakukan, termasuk Penanaman 28 juta Pohon di Beijing dan sekitar Beijing oleh pemerintah kita. Penanaman pohon ini dilakukan dua tahun sebelum pelaksanaan Olimpiade.
Lalu lintas adalah penyebab utama polusi udara. Karena itu Pemerintah Beijing mengurangi kendaraan yang beroperasi dengan cara penerapan ganjil genap plat nomor kendaraan yang melintas, melarang taksi dan bus beroperasi serta melarang 300.000 truk memasuki Beijing sejak tanggal 1 Juli, sebulan sebelum pembukaan Olimpiade.
Lebih dari tiga juta kendaraan yang setiap hari berlalu lalang di Beijing. Separuhnya tidak boleh melewati jalan selama Olimpiade berlangsung. Penerapan ganjil genap tidak hanya dilakukan di kota Beijing saja, namun meluas sampai ke kota Tianjin yang berjarak 130 kilometer dari Beijing. Tujuan utama penerapan ganjil genap ini bukan sekadar mengurangi kemacetan namun untuk menekan polutan yang keluar dari knalpot.
Bila kita bandingkan dengan penerapan ganjil genap di Jakarta, cukup berbeda. Tujuan ganjil genap di Jakarta lebih ditekankan untuk mengurangi kemacetan di jalan-jalan yang akan dilewati rombongan atlet Asian Games. Polisi menargetkan waktu tempuh para atlet dari bandara atau penginapan menuju ke arena bertanding tak melebihi 30 menit.
Memang ruas jalan yang terkena aturan ganjil genap menjadi lancar karena jumlah kendaraan yang melintasi turun drastis. Warga takut kena denda 500 ribu. Namun kemacetan di jalan alternatif malah semakin parah. Pengemudi kendaraan menjejali jalur-jalur alternatif untuk menuju tempat tujuan. Polutan hasil pembakaran mesin kendaraan pun terus mengepul, berkumpul dan menyesaki udara Jakarta. Dihirup tanpa pandang bulu. Masuk ke dalam tubuh manusia, siapapun dia. Besar kecil, tua muda, kaya miskin, buruh, polisi, pegawai kantoran termasuk para atlet.
Bila ingin mengurangi polusi udara, kebijakan ganjil genap ini bisa diperluas ke wilayah sekitar Jakarta seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor. Agar polutan udara yang berasal dari Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor juga berkurang sehingga kualitas udara menjadi lebih baik.

Pengaturan lalu lintas saja ternyata tidak cukup signifikan menurunkan polusi udara. Pemerintah Beijing mengambil langkah yang lebih jauh, merelokasi 200 pabrik di sekitar Beijing. Salah satu yang dipindah adalah Shougang Steel Factory yang merupakan pencemar paling tinggi. 60.000 pekerja pabrik baja Shougang pun harus mencari pekerjaan baru.
Tidak hanya memindahkan pabrik, pemerintah China juga menghentikan sementara operasi ratusan pabrik dan pembangkit listrik yang menggunakan batu bara yang mengepung Beijing. Operasi penghentian ini mencakup area Beijing, Tianjin bahkan sampai ke Tangshan yang berjarak 150 kilometer dari Beijing. Luasnya area ini karena polusi udara Beijing disebabkan polutan yang terbawa angin dari wilayah-wilayah sekitar Beijing.
Seluruh proyek kontruksi di Beijing juga dihentikan sementara. Proyek kontruksi merupakan salah satu penyumbang polusi udara, menimbulkan debu dan partikel-partikel lembut tapi berbahaya.
Pemerintah China juga mengalokasikan anggaran untuk hujan buatan. Hujan bisa menjadi instrumen yang efektif mengurangi polusi udara.
Posisi Jakarta mirip dengan Beijing. Kota metropolitan yang dikepung area industri di sekitar Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor. Ratusan cerobong asap setiap hari memuntahkan asap yang sarat polutan udara.
Salah satu pencemar terbesar adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang membakar batu bara. Menurut Greenpeace, Jakarta merupakan ibukota yang dikelilingi PLTU terbanyak di dunia dalam radius 100 kilometer. PLTU yang mengepung Jakarta antara lain di Muara Karang, Tanjung Priok, Cikarang, Merak dan Labuan.
Debu-debu kusam dari proyek infrastruktur yang tengah digenjot pemerintah terus menghambur ke langit Jakarta. Pembangunan jalur MRT, LRT, kereta cepat, jalan tol, flyover dan underpass banyak dikerjakan di seputaran Jakarta. Saya kerap menahan napas ketika melintasi kawasan proyek LRT di Pancoran. Debunya tebal apalagi sudah lama tidak turun hujan.
Event Asian Games ini semestinya bisa jadi titik awal keseriusan pemerintah untuk membersihkan udara Jakarta. Namun melihat kenyataan selama ini, rasanya harapan itu masih mengawang di langit Jakarta yang kelabu. Pemprov Jakarta lebih memilih menanam pohon plastik daripada pohon asli yang bisa menyegarkan udara. Dan Gubernur Jakarta lebih suka memerintahkan aparatnya untuk menggambar tembok daripada mengkaji perlu tidaknya penghentian sementara proyek kontruksi dan pabrik.
Bila tidak ada langkah yang lebih tegas dan konkrit, polusi udara bakal terus menghantui ibukota. Berharap turun hujan di bulan Agustus yang kemarau ini pun kiranya sulit terkabul. Kecuali Gubernur Jakarta bisa menemukan aparatnya yang berbakat sebagai pawang hujan.
Aditya Heru Wardhana adalah Direktur Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).
Polusi adalah masalah yang serius, memang. Ini menghalangi orang-orang đến nơi kami.